Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.
Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.
Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.
Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Satu Bulan
Pagi hari menyapa dengan cahaya mentari yang masuk melalui celah gorden tipis di kamar Alendra. Burung-burung di luar berkicau riang, tapi suara itu sama sekali tak mampu mengusir beratnya hati yang dipikul Alendra. Gadis itu terbangun dengan mata sembab, kepala terasa berat, dan tubuhnya lemas seperti tak punya tenaga.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap bayangan dirinya di cermin yang tergantung di dinding. Rambutnya kusut, wajahnya pucat, dan sorot matanya kosong. Seakan-akan dirinya yang dulu—ceria, penuh semangat, selalu bisa tersenyum meski hidup sederhana—telah lenyap dalam semalam.
Tangannya perlahan menyentuh lehernya, lalu turun ke dadanya, seolah mencoba menghapus sisa-sisa mimpi buruk yang nyata itu. Tapi semakin ia mencoba melupakan, semakin jelas pula perasaan hancur itu menghantam dirinya.
“Aku kotor…” bisiknya lirih. Air matanya kembali jatuh, tak mampu ia bendung lagi.
Ia buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangan agar tangisnya tak terdengar orangtuanya. Hatinya teriris membayangkan bila ibunya, Larissa, atau ayahnya, Ardian, tahu apa yang telah terjadi padanya semalam. Bukan hanya malu, tapi juga takut. Takut dianggap tak berhati-hati, takut disalahkan, takut orangtuanya kecewa.
Dari luar kamar, suara ibunya terdengar memanggil lembut.
“Alendra sayang, ayo sarapan dulu. Ayah sebentar lagi berangkat dagang.”
Alendra cepat-cepat menyeka air matanya, mencoba merapikan wajahnya agar tidak terlihat jelas bekas tangisannya. Ia berdiri, menarik napas panjang, lalu membuka pintu kamar dengan senyum tipis yang dipaksakan.
“Iya, Bu.”
Di meja makan, Larissa sudah menyiapkan nasi goreng sederhana dengan telur dadar. Ardian duduk sambil membaca koran, sesekali menyesap kopi. Kemudian Ezriel adiknya juga sudah siap. Pemandangan itu biasanya membuat hati Alendra hangat—keluarga kecil yang sederhana, tapi penuh kasih. Namun pagi ini, semua terasa berbeda. Seakan ada jarak yang memisahkannya dari orangtuanya, dinding tak kasat mata yang dibangun dari rasa takut dan trauma.
“Kamu nggak apa-apa kan, Nak?” tanya Larissa pelan sambil menatap wajah putrinya yang tampak lesu.
Alendra berusaha tersenyum. “Iya, Bu. Cuma capek aja.”
“Kalau capek jangan dipaksain kerja, Sayang,” sahut Ardian tanpa menoleh, suaranya tegas tapi penuh perhatian.
“Kalau capek jangan dipaksain kerja, Sayang,” sahut Ardian tanpa menoleh, suaranya tegas tapi penuh perhatian. “Kamu masih sekolah. Ayah bisa kok kerja lebih keras. Kamu cukup belajar, biar jadi orang sukses nanti.”
Alendra hanya menunduk, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh lagi. Kata-kata ayahnya menambah beban di dadanya. Bagaimana bisa ia membalas semua kasih sayang itu, sementara dirinya merasa sudah ternodai?
“Iya, Yah… Alendra ngerti,” jawabnya pelan, hampir berbisik.
Larissa menepuk lembut tangan putrinya. “Makan dulu yang banyak, Nak. Jangan sampai sakit.”
Alendra mengangguk, menyendok sedikit nasi goreng meski perutnya terasa mual. Ia mencoba menelan makanan itu, meski rasanya hambar dan pahit di lidah. Sesekali ia melirik adiknya, Ezriel, yang dengan lahap mengunyah sambil sesekali berceloteh tentang sekolah.
“Kak, hari ini aku ada ulangan matematika. Doain aku dapet nilai bagus ya!” kata Ezriel semangat.
Alendra terpaksa tersenyum tipis. “Pasti bisa, kamu kan pinter.”
Setelah selesai sarapan, Larissa membereskan meja, sementara Ardian sudah bersiap pergi berdagang di pasar. Alendra mengambil tas sekolahnya lalu menggandeng Ezriel.
“Ayo, Kak antar ke sekolah,” katanya lembut pada adiknya.
Ezriel mengangguk senang. Mereka keluar rumah, dan di halaman sudah terparkir sepeda onthel kesayangan Alendra. Sepeda itu sederhana, warnanya biru agak kusam, tapi penuh kenangan. Dengan sepeda itu ia pergi sekolah setiap hari, bahkan kadang dipakai mengantar ibunya belanja.
“Naik sini, duduk di boncengan ya,” ucap Alendra sambil menepuk jok belakang.
Ezriel naik dengan riang, membawa tasnya di pangkuan. “Hati-hati ya, Kak.”
Alendra mengayuh pedal perlahan, roda sepeda berderit halus. Jalanan kampung pagi itu masih sepi, hanya ada pedagang keliling dan beberapa anak sekolah lain yang berjalan kaki. Udara pagi terasa sejuk, tapi di dalam hati Alendra justru semakin sesak.
Ia menunduk sedikit, mengayuh sepeda sambil menahan perasaan yang bergolak. Setiap kali mendengar suara tawa adiknya di belakang, hatinya terasa ditusuk. Ia ingin melindungi Ezriel dari semua hal buruk di dunia, tapi dirinya sendiri kini merasa begitu rapuh.
“Kak, kencengin dikit dong, biar cepet sampai!” seru Ezriel sambil tertawa kecil.
Alendra mengangguk, memaksa seulas senyum. “Iya, siap, Tuan Kecil.”
Ia menambah kayuhan, membuat sepeda melaju lebih cepat. Rambutnya tergerai tertiup angin, dan dari luar mungkin ia terlihat seperti gadis biasa yang ceria mengantar adiknya sekolah. Padahal di dalam, ia sedang berusaha mati-matian menahan rasa sakit yang nyaris meledakkan dadanya.
Sesampainya di depan sekolah dasar, Ezriel turun dengan cepat. “Makasih ya, Kak! Pulang jangan lupa beliin Eskrim!” katanya riang.
Alendra hanya mengangguk sambil tersenyum. “Iya. Semangat belajar ya.”
Ezriel masuk ke gerbang sekolah, lalu berlari kecil menuju teman-temannya. Alendra memperhatikan punggung kecil itu sampai menghilang di balik kerumunan. Baru setelah itu, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum kembali mengayuh sepedanya menuju sekolah menengah tempatnya belajar.
Namun langkah sepedanya terasa berat. Bukan karena jalannya menanjak, tapi karena hatinya seolah penuh batu besar yang tak bisa ia lepaskan.
Satu bulan telah berlalu sejak malam kelam yang mengubah hidup Alendra.
Hari-harinya berjalan seperti biasa, seakan tidak pernah ada badai yang menimpa. Senyumnya tetap ia hadirkan untuk kedua orang tuanya, tawanya masih terdengar ketika bercanda dengan adiknya, Ezriel, dan langkah kakinya tetap ringan saat mengayuh sepeda menuju sekolah. Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa di balik wajah manis itu, ia menyimpan luka yang dalam. Luka yang ia kunci rapat-rapat di hatinya.
Ia tidak ingin ibunya khawatir, tidak ingin ayahnya merasa gagal melindungi, dan tidak ingin beasiswanya di sekolah tercabut karena ketidakhadiran. Maka setiap pagi, Alendra belajar menguatkan dirinya. Ia berpura-pura tidak terjadi apa-apa, meski setiap malam ia menangis dalam diam.
Pagi itu, cahaya matahari sudah meninggi ketika Alendra terbangun. Kepalanya terasa berat, tubuhnya lemas, dan perutnya sedikit mual. Ia menatap jam dinding dengan panik.
“Ya Allah… udah jam segini,” desahnya.
Dengan terburu-buru, ia bangkit dari ranjang, berusaha menepis rasa pusing yang masih mendera. Tubuhnya sempoyongan, tapi ia paksa untuk segera bersiap. Ia tahu betul, satu hari saja ia tidak masuk sekolah, konsekuensinya bisa besar. Beasiswa yang ia perjuangkan mati-matian bisa saja dicabut.
“Len, kamu nggak sarapan dulu?” tanya Larissa dari dapur, melihat putrinya keluar kamar dengan wajah pucat.
“Enggak, Bu… takut telat. Bawa bekal aja, nanti dimakan di sekolah,” jawab Alendra sambil meraih tasnya. Senyum tipis ia paksakan, meski matanya terlihat lelah.
Larissa ingin menahan, tapi tak tega. Ia hanya bisa menatap punggung anak gadisnya yang semakin kurus, lalu menghela napas panjang.
Alendra tiba di sekolah dengan napas terengah setelah mengayuh sepeda lebih cepat dari biasanya. Setibanya di kelas, teman-temannya sudah hadir semua. Ruangan ramai dengan obrolan ringan, tawa kecil, dan suara buku yang dibuka.
“Len, kenapa muka lu pucat banget?” tanya Nayla sambil menoleh dengan dahi berkerut.
Alendra meletakkan tasnya, lalu langsung menelungkupkan kepala di atas meja. “Gue nggak papa kok. Cuma… pusing dikit aja.”
Selena ikut menoleh, matanya penuh khawatir. “Lu yakin? Dari tadi jalan aja keliatan goyang, Len.”
“Iya, gue beneran nggak papa,” jawab Alendra, suaranya pelan tapi mencoba meyakinkan. Dalam hati, ia tahu dirinya tidak baik-baik saja. Setiap kali ia bangun pagi, tubuhnya makin sering merasa lemas. Kepalanya berputar, perutnya mual, bahkan kadang telat datang bulan. Tapi semua itu ia abaikan.
Bel masuk berbunyi. Suara gaduh perlahan mereda, dan semua siswa menatap ke depan menunggu guru yang akan masuk. Alendra mencoba mengangkat kepala, tapi pandangannya berkunang-kunang. Ia menepuk pipinya sendiri, berharap sedikit segar.
Guru matematika memasuki kelas.
“Selamat pagi, anak-anak,” ucapnya.
“Pagi, Bu…” sahut seluruh murid hampir serempak.
Pelajaran dimulai. Suara kapur menulis di papan tulis berpadu dengan penjelasan yang tegas. Teman-temannya sibuk mencatat, sementara Alendra hanya bisa menunduk, menatap kosong buku catatan yang belum disentuh. Tangan kanannya memegangi perut, yang terasa nyeri samar-samar.
Alendra dengan sekuat tenaga menahannya agar tetap kuat. Sampai pada akhirnya bunyi bel sekolah berbunyi.