NovelToon NovelToon
Ning Azzahra Ganiyyah Al - Hasyimi

Ning Azzahra Ganiyyah Al - Hasyimi

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Diam-Diam Cinta / Persahabatan
Popularitas:355
Nilai: 5
Nama Author: blue_era

Di Surabaya, berdiri Sebuah pesantren megah pesantren Al - Ikhlas, sebuah lembaga pendidikan Islam yg dikenal dgn tradisi kuat dan menghasilkan santri" yg berprestasi. cerita ini mengikuti perjalanan 5.285 santriwan dan santriwati pesantren Al - ikhlas. ada banyak santri yg berjuang meraih keinginan orang tua dan menggapai mimpi mimpinya. namun terkadang menimbulkan pro dan kontra akibat persaingan di balik semua perjuangan para santri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blue_era, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14. Pertemuan di Asrama Putra, Godaan Tak Henti dan Kepedulian yang Terl

Setelah selesai merazia asrama putri, Ning Azzahra dan enam Mbak Ndalem, Umi, Abah, serta para pria dari keluarga Al-Hasyimi kembali berkumpul di asrama putra. Suasana masih terasa tegang dan lelah, namun ada sedikit kelegaan karena tugas razia telah selesai. Mereka membawa serta tumpukan barang bukti yang telah disita, siap untuk dibahas dan ditindaklanjuti esok hari.

Namun, begitu memasuki area asrama putra, Ning Azzahra kembali harus menghadapi situasi yang tidak mengenakkan. Para santriwan, seolah tak kapok dengan teguran sebelumnya, kembali melancarkan aksi godaan mereka. Kali ini, godaan itu bahkan lebih vulgar dan kurang ajar, seolah meremehkan kehadiran Umi dan Abah di sana.

"Wah, Ning Azzahra semakin cantik saja malam ini," celetuk salah seorang santriwan dengan nada menggoda.

"Ning, capek ya? Sini saya pijitin," sahut santriwan lainnya, mencoba mendekat.

Bahkan, beberapa santriwan berani menggoda para Mbak Ndalem yang mendampingi Ning Azzahra. "Mbak, senyumnya manis sekali. Boleh kenalan?"

Melihat kelakuan para santriwan yang semakin menjadi-jadi, Gus Arga dan kakak-kakak Ning Azzahra kembali naik pitam. Mereka langsung menegur para santriwan itu dengan nada keras dan mengancam.

"Kalian ini tidak punya sopan santun sama sekali!" bentak Gus Arga. "Sudah dibilangin masih saja mengulangi kesalahan yang sama. Kalian mau saya hukum?!"

"Jaga mulut kalian!" timpal Gus Hilman dengan tatapan tajam. "Jangan berani menggoda istri dan keluarga kami!"

Namun, di tengah keributan itu, Ning Azzahra merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Ia merasa sangat lelah dan pegal-pegal di seluruh tubuhnya, terutama di bagian punggungnya. Ia memegangi punggungnya dengan erat, mencoba mengurangi rasa sakitnya.

Melihat Ning Azzahra memegangi punggungnya, semua orang yang ada di sana tiba-tiba terdiam. Mereka menyadari betapa kerasnya Ning Azzahra telah bekerja hari ini, meskipun ia sedang hamil dan masih diliputi rasa trauma. Mereka merasa bersalah karena telah membiarkan Ning Azzahra memaksakan diri.

"Ning, kamu tidak apa-apa?" tanya Umi dengan nada khawatir. "Kamu sakit?"

"Ning, kamu kecapekan ya?" tanya Gus Arga dengan nada yang sama. "Kenapa kamu tidak bilang dari tadi?"

Kakak-kakak Ning Azzahra juga menunjukkan ekspresi yang sama. Mereka mendekat dan menawarkan bantuan kepada Ning Azzahra.

"Ning, biar aku pijitin punggungmu," kata Gus Salman dengan lembut.

"Ning, kamu istirahat saja. Biar kami yang membereskan semuanya," kata Gus Hanif dengan nada yang sama.

Ning Azzahra tersenyum lemah melihat perhatian yang diberikan oleh keluarganya. Ia merasa terharu dan bersyukur memiliki keluarga yang begitu menyayanginya.

"Tidak apa-apa, Gus, Kak," jawab Ning Azzahra dengan suara lirih. "Azza hanya sedikit kecapekan saja. Nanti juga sembuh."

Namun, Gus Arga dan keluarganya tidak percaya begitu saja. Mereka memaksa Ning Azzahra untuk beristirahat dan membiarkan mereka yang menyelesaikan semua pekerjaan.

"Tidak ada bantahan, Ning," kata Gus Arga dengan tegas. "Kamu harus istirahat sekarang. Kesehatanmu lebih penting daripada apapun."

Dengan enggan, Ning Azzahra akhirnya mengalah. Ia membiarkan Gus Arga dan keluarganya membawanya ke ndalem untuk beristirahat. Ia merasa bersalah karena telah membuat keluarganya khawatir.

Setelah memastikan Ning Azzahra dibawa kembali ke ndalem untuk beristirahat, Gus Arga tidak ikut kembali. Ia merasa perlu menenangkan diri dan mencari ketenangan di masjid putra. Namun, ia tidak sendirian. Ning Azzahra, meskipun sudah diperintahkan untuk beristirahat, diam-diam menyusulnya. Punggungnya masih terasa pegal, dan ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di masjid, sekaligus menyaksikan latihan hadroh yang biasanya diadakan di sana.

Sesampainya di masjid putra, suasana memang terasa lebih damai. Beberapa santri sudah berkumpul, menyiapkan alat-alat hadroh mereka. Gus Arga duduk di salah satu sudut, mencoba meresapi ketenangan. Ning Azzahra memilih duduk di belakang, bersandar pada pilar, memejamkan mata sejenak, menikmati alunan selawat yang mulai terdengar pelan dari latihan hadroh.

Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Tujuh santri yang terlihat sedang beristirahat di dekat pintu masjid, menyadari kehadiran Ning Azzahra. Mereka mulai berbisik-bisik, kemudian tatapan mereka beralih sepenuhnya kepada Ning Azzahra. Tatapan-tatapan itu, yang seharusnya penuh hormat, kini terasa mengganggu dan penuh arti lain.

Ning Azzahra merasa risih. Ia mencoba mengabaikan, berpura-pura fokus pada alunan hadroh. Namun, ia bisa merasakan tatapan-tatapan itu menelusup, membuatnya tidak nyaman dan merasa seperti objek.

Tidak lama kemudian, Gus Hilman, Gus Salman, Gus Farhan, Gus Ihsan, dan bahkan Abah Kyai Ghozali tiba di masjid. Mereka datang untuk menunaikan salat Isya berjamaah dan mungkin juga untuk melihat persiapan pertemuan esok hari. Begitu mereka masuk, mereka langsung menyadari tatapan-tatapan mengganggu dari tujuh santri tersebut kepada Ning Azzahra.

Abah Kyai Ghozali, dengan wibawanya yang luar biasa, langsung menegur para santri itu. "Kalian ini! Apa yang kalian tatap? Di rumah Allah ini, kalian seharusnya menjaga pandangan dan hati kalian! Hormati istri Gus kalian!"

Gus Hilman dan Gus Salman juga ikut menegur dengan nada keras. "Kalian tidak punya malu? Setelah semua yang terjadi, kalian masih berani bertingkah seperti ini?"

Gus Farhan dan Gus Ihsan, yang biasanya lebih kalem, kali ini juga menunjukkan kemarahan mereka. Mereka menatap tajam para santri itu, seolah ingin mengatakan bahwa kesabaran mereka sudah habis.

Para santri itu langsung menunduk, merasa malu dan takut dengan teguran dari Abah dan para Gus. Namun, Ning Azzahra tahu, tatapan-tatapan itu tidak akan hilang begitu saja. Ia merasa lelah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara mental. Ia ingin sekali berteriak, meminta mereka semua untuk berhenti menatapnya, berhenti menjadikannya objek fantasi mereka. Namun, ia hanya bisa menahan diri, merasakan seluruh tubuhnya merinding dan risih. Ketenangan yang ia cari di masjid ini, kini kembali terenggut oleh ulah para santri yang tak kunjung jera.

Suasana di masjid putra semakin tidak nyaman bagi Ning Azzahra. Setelah teguran keras dari Abah dan para Gus, delapan santri baru datang dan bergabung dengan jamaah yang akan melaksanakan shalat Isya. Namun, kedatangan mereka justru menambah rasa risih Ning Azzahra.

Begitu memasuki masjid, delapan santri itu langsung menatap ke arah Ning Azzahra. Tatapan mereka penuh dengan rasa penasaran, kagum, dan bahkan ada yang terlihat seperti merendahkan. Ning Azzahra merasa seperti sedang dihakimi oleh tatapan-tatapan itu.

Gus Arga yang melihat istrinya tidak nyaman, langsung menghampirinya. Ia menggenggam tangan Ning Azzahra dengan erat, seolah ingin memberikan kekuatan dan perlindungan. Namun, tanpa disadarinya, Gus Arga justru melakukan kesalahan yang sama. Ia menatap Ning Azzahra dengan tatapan yang intens dan penuh arti, seolah ingin memastikan bahwa istrinya baik-baik saja.

Tatapan Gus Arga itu justru membuat Ning Azzahra semakin risih. Ia merasa seperti sedang menjadi pusat perhatian dan dipertontonkan di depan semua orang. Ia ingin sekali bersembunyi dan menghilang dari pandangan semua orang.

Beruntung, Abah Kyai Ghozali, Gus Hilman, Gus Salman, Gus Farhan, dan Gus Ihsan menyadari tatapan Gus Arga yang membuat Ning Azzahra tidak nyaman. Mereka langsung menegur Gus Arga dengan nada bercanda namun tetap tegas.

"Arga, jangan menatap istrimu seperti itu. Kasihan dia jadi risih," kata Abah Kyai Ghozali sambil tersenyum.

"Iya, Arga. Istrimu itu bukan barang pajangan. Jangan ditatap terus," timpal Gus Hilman dengan nada menggoda.

"Arga, kamu ini sudah punya istri, masih saja seperti ABG," sahut Gus Salman sambil tertawa.

"Arga, ingat, tatapan itu bisa menimbulkan fitnah," kata Gus Farhan dengan bijak.

"Arga, jaga pandanganmu. Istrimu itu amanah dari Allah," nasihat Gus Ihsan dengan lembut.

Gus Arga tersadar dengan teguran dari Abah dan kakak-kakaknya. Ia merasa malu dan bersalah karena telah membuat istrinya tidak nyaman. Ia kemudian meminta maaf kepada Ning Azzahra dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.

"Maafkan aku, Sayang," bisik Gus Arga kepada Ning Azzahra. "Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman. Aku hanya khawatir denganmu."

Ning Azzahra tersenyum dan mengangguk memaafkan Gus Arga. Ia merasa lega karena Gus Arga menyadari kesalahannya dan mau meminta maaf.

Setelah kejadian itu, suasana di masjid putra menjadi lebih tenang dan damai. Para santri mulai fokus pada persiapan shalat Isya berjamaah. Ning Azzahra merasa sedikit lebih nyaman dan bisa menikmati alunan selawat yang dilantunkan oleh para santri.

Namun, jauh di lubuk hatinya, Ning Azzahra masih merasa khawatir dan cemas. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari saat pertemuan di aula utama. Ia berharap, masalah ini bisa diselesaikan dengan baik dan tidak menimbulkan dampak yang lebih buruk bagi pesantren. Ia juga berharap, para santri bisa belajar dari kesalahan mereka dan menjadi pribadi yang lebih baik. Ia berdoa, semoga Allah SWT memberikan petunjuk dan kekuatan kepada mereka semua untuk menghadapi ujian ini.

Setelah shalat Isya berjamaah, Gus Arga dan para pengajar lainnya bersiap untuk memulai kegiatan diniyyah, yaitu pengajaran ilmu agama kepada para santri. Gus Arga mendapat giliran mengajar membaca kitab kuning di masjid putra. Ning Azzahra, yang masih enggan kembali ke ndalem, memilih untuk tetap berada di masjid, ditemani oleh dua Mbak Ndalem yang ditugaskan untuk menjaganya.

Namun, begitu Gus Arga memulai pelajaran, suasana kembali menjadi tidak kondusif. Para santri, alih-alih fokus pada kitab kuning di hadapan mereka, justru terus menerus mencuri pandang ke arah Ning Azzahra dan Mbak Ndalem yang menemaninya. Tatapan mereka tidak lagi sekadar penasaran, tetapi sudah menjurus ke arah yang tidak sopan dan mengganggu.

Gus Arga berusaha untuk tidak menghiraukan tatapan-tatapan itu. Ia tetap melanjutkan pelajaran dengan tenang, berharap para santri akan sadar dan kembali fokus. Namun, semakin lama, semakin jelas terlihat bahwa para santri sama sekali tidak memperhatikan apa yang ia sampaikan. Mereka hanya sibuk mencuri pandang dan berbisik-bisik satu sama lain.

Para Mbak Ndalem yang menemani Ning Azzahra juga merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Mereka mencoba untuk melindungi Ning Azzahra dari tatapan-tatapan yang mengganggu, namun usaha mereka tidak membuahkan hasil. Para santri tetap saja berusaha untuk melihat ke arah Ning Azzahra, bahkan ada yang berani memberikan senyuman atau lambaian tangan.

Ning Azzahra merasa sangat risih dan tidak nyaman dengan situasi ini. Ia merasa seperti sedang menjadi objek tontonan dan dipermalukan di depan semua orang. Ia ingin sekali berteriak dan meminta para santri untuk berhenti menatapnya, namun ia tidak berani melakukannya. Ia takut akan menimbulkan keributan dan memperburuk situasi.

Kejadian ini berlangsung cukup lama, hingga akhirnya Abah Kyai Ghozali datang ke masjid untuk memantau kegiatan diniyyah. Begitu memasuki masjid, Abah langsung menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Ia melihat para santri tidak fokus pada pelajaran dan terus menerus mencuri pandang ke arah Ning Azzahra dan Mbak Ndalem.

Abah Kyai Ghozali sangat marah melihat kelakuan para santri yang tidak sopan dan tidak menghormati ilmu. Ia kemudian memberikan peringatan keras kepada mereka dengan suara yang lantang dan tegas.

"Kalian ini apa-apaan?! Di sini tempatnya mencari ilmu, bukan tempatnya berbuat maksiat! Kalian tidak menghormati guru kalian, tidak menghormati ilmu, dan tidak menghormati istri Gus kalian! Kalian semua akan saya hukum!" bentak Abah Kyai Ghozali dengan nada geram.

Para santri terkejut dan ketakutan mendengar bentakan Abah Kyai Ghozali. Mereka langsung menundukkan kepala dan merasa malu dengan kelakuan mereka.

Gus Arga dan para pengajar lainnya juga merasa terkejut dan malu dengan kejadian ini. Mereka baru menyadari bahwa sejak tadi para santri tidak fokus pada pelajaran karena pandangan mereka terarah ke Ning Azzahra dan Mbak Ndalem. Mereka merasa bersalah karena tidak menyadari hal ini sejak awal dan membiarkan para santri berbuat tidak sopan.

Setelah memberikan peringatan keras kepada para santri, Abah Kyai Ghozali meminta Gus Arga dan para pengajar lainnya untuk memberikan hukuman yang setimpal kepada para santri yang telah melanggar aturan. Ia juga meminta mereka untuk lebih memperhatikan para santri dan memastikan agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi di kemudian hari.

Dengan rasa malu dan bersalah, Gus Arga dan para pengajar lainnya menuruti perintah Abah Kyai Ghozali. Mereka memberikan hukuman kepada para santri yang telah melanggar aturan dan berjanji akan lebih memperhatikan para santri di kemudian hari.

Ning Azzahra merasa lega dan berterima kasih kepada Abah Kyai Ghozali karena telah menegur para santri yang berbuat tidak sopan kepadanya. Ia berharap, kejadian ini bisa menjadi pelajaran bagi para santri dan membuat mereka menjadi pribadi yang lebih baik.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!