Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.
Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.
Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke Lebanon, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.
Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Elang merah dari Kodam jaya
Dua tahun. Waktu yang singkat di mata sejarah, namun merupakan rentang yang krusial dalam pembentukan karakter seorang perwira. Letnan Dua Kalea Aswangga, peraih gelar kehormatan tertinggi Akademi Militer, Anindya Wiratama, kini telah tumbuh menjadi Komandan Pleton yang disegani di Kodam Jaya. Jakarta, dengan segala hiruk pikuknya, menjadi palagan dinas pertamanya, tempat ia mempraktikkan ilmu kepemimpinan dan pembinaan teritorial. Ia sukses merangkul masyarakat, menjadikan TNI AD figur pelindung dan pengayom.
Namun, gelar terbaik dari Akmil terasa menuntut lebih. Jiwa Kalea, yang ditempa hingga sekeras berlian, mendambakan suhu api yang lebih tinggi. Ia tidak ingin berpuas diri di zona nyaman. Keputusan pun diambil, mengikuti seleksi untuk Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Kabar itu, yang secepat kilat menyebar di lingkungan TNI AD, akhirnya sampai ke telinga Kapten Byantara Aswangga di kesatuannya di Nabire, Papua.
Wajah Byantara, Komandan Kompi yang biasanya menampilkan ketegasan, seketika mengerutkan keningnya, seolah ada bom waktu yang baru saja diaktifkan.
"Kamu tidak salah informasi, Sersan Irfan? Maksudmu, Letnan Kalea mendaftar untuk Dikkomando?" tanya Byantara, nadanya penuh ketidakpercayaan bercampur kekaguman.
"Siap, tidak, Komandan," jawab Sertu Irfan. "Laporan dari Jakarta mengkonfirmasi. Tahapan pemeriksaan awal sudah beliau lalui."
Kapten Byantara menyandarkan punggungnya, tawa lucu pecah dari bibirnya, campuran kebanggaan seorang kakak dan kekhawatiran yang tersembunyi. "Anak itu memang ada-ada saja. Gelar Anindya Wiratama di pundak saja belum cukup. Dia ingin membuktikan bahwa wanita juga bisa menaklukkan neraka Batujajar," ujar Byantara, suaranya sarat hiperbola.
Di tempat lain, di markasnya di Yonif 113/Jaya Sakti Aceh, Letnan Dua Muhammad Ramdan Ragatav Altavian yang mendengar kabar itu justru tertawa bangga. Kebanggaan itu membuncah di dadanya, sedahsyat gelombang Tsunami yang terhenti. Ia tahu, ambisi Kalea adalah hal yang paling jujur dari diri perwira itu.
Ramdan segera menelepon Kalea.
"Selamat sore, Letnan Dua Aswangga! Kabar Komandan Pletonku ini sudah setinggi puncak Jayawijaya, rupanya!" sapa Ramdan.
"Saya bangga, Dek. Kamu adalah perwira yang tidak pernah puas dengan langit-langit. Saya akan datang ke Jakarta. Kita rayakan keputusan besarmu ini, sebelum kamu hilang ditelan kerasnya Batujajar."
Setelah menutup telepon, Kalea berjalan keluar pagar Kodam. Senja terbenam, memancarkan spektrum warna oranye, merah, dan ungu yang menyihir, seolah alam semesta sedang memberinya restu. Baginya, senja adalah jeda suci, pengingat bahwa di ujung pengabdian terberat sekalipun, selalu ada keindahan yang harus diperjuangkan dan dilindungi.
Ramdan menghabiskan akhir pekan itu bersama Kalea. Pertemuan mereka adalah ledakan kerinduan yang ditahan oleh disiplin militer.
"Saya kagum, Dek. Kamu bisa membagi waktu dengan sangat sempurna," puji Ramdan, melihat Kalea tetap menjalankan tugas kedinasan di tengah waktu mereka.
"Siap, Bang. Itu yang diajarkan di Tidar. Tugas adalah harga mati. Kita boleh jatuh cinta, tapi disiplin dan tanggung jawab harus selalu menjadi Komandan tertinggi di hati kita," jelas Kalea.
Ramdan meraih tangan Kalea, mencium cincin di jarinya. "Saya tahu itu. Dan itu yang membuat saya semakin jatuh cinta padamu. Karena kamu tahu persis batas antara perasaan dan pengabdian."
Setelah kepulangan Ramdan, Kalea resmi memulai Pendidikan Komando Kopassus di Pusdiklatpassus, Batujajar. Gelar Anindya Wiratama-nya seolah terhapus, dan ia kembali menjadi siswa tanpa perlakuan istimewa.
Pendidikan yang dijalaninya adalah neraka yang sesungguhnya, dua kali lipat lebih kejam dari pendidikan Taruna di Akmil.
Kalea tidak hanya berjuang melawan rasa sakit, tetapi juga melawan stigma bahwa seorang peraih gelar kehormatan mungkin tidak setangguh prajurit lain.
"Siswa Aswangga! Kau kira Komando itu seperti marching band di Tidar? Cepat! Push-up 100 kali! Tanganmu lembek seperti agar-agar!" teriak pelatih tanpa ampun. Kalea hanya menggeram, memaksakan setiap gerakan hingga darah terasa mengalir dari telapak tangannya. Ia harus membuktikan, kehormatan tidak pernah menjadi alasan untuk pengecualian.
Di tengah penderitaan, ia menemukan arti sejati Jiwa Korsa. Ketika seorang rekan, Sertu Pujianto, jatuh kelelahan, Kalea tanpa perintah segera mengambil ransel rekannya. "Di sini tidak ada Letnan! Saya siswa Komando! Raga kita memang lemah, tapi semangat kita harus sekeras baja anti peluru!"
Para siswa dibawa ke medan hutan dan gunung. Kalea, yang tubuhnya kini kurus kering namun matanya memancarkan ketajaman, terbukti unggul dalam navigasi darat. Pengetahuan Akmil-nya menjadi keunggulan.
"Ingat! Kita prajurit Komando! Kelaparan itu hanya ilusi! Di sini tidak ada pangkat! Hanya ada jiwa korsa! Ayo, kita bergerak! Jangan pernah berpikir untuk menyerah, karena menyerah adalah dosa besar di Komando!"
Mereka menyelesaikan tahapan ini dengan long march brutal menuju Cilacap, sebuah perjalanan yang menguji batas kewarasan.
Fase terakhir yang paling ditakuti, rawa-rawa, laut yang ganas, dan malam yang mematikan. Mereka harus berenang di laut lepas dan bertahan hidup di pulau terpencil.
Saat prosesi pembaretan di Pantai Permisan, Nusakambangan, di bawah terik matahari, Kalea berdiri tegap. Seragamnya lusuh, tubuhnya penuh luka, namun matanya bersinar. Ia telah menaklukkan setiap iblis keraguan.
Saat baret merah Komando dipasangkan di kepalanya, dan brivet komando disematkan di dadanya, Kalea merasakan air mata yang selama ini ia tahan, akhirnya menetes. Air mata itu adalah sungai penderitaan yang telah menemukan muaranya.
Letda Kalea Aswangga telah sah menjadi Prajurit Komando. Gelar Anindya Wiratama yang ia bawa dari Akmil kini telah dilebur dan ditingkatkan di Batujajar, menjadikannya perwira yang setangguh karang dan secepat kilat. Ia telah menemukan rumah sejati di antara para Elang Merah.