Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5: Saksi yang tak di inginkan
Malam itu kota seperti menahan napas. Awan gelap menggantung di langit, bulan hanya tampak sayup di balik kabut tipis. Di jalanan, lampu-lampu jalan berkelip redup, sebagian mati, membuat beberapa sudut kota tenggelam dalam kegelapan pekat.
Di ujung kota, di kawasan industri tua yang sudah lama ditinggalkan, sebuah gudang besar berdiri sunyi. Cat dindingnya terkelupas, pintu besinya berkarat, dan sebagian jendela pecah. Namun di dalamnya malam itu, kehidupan berdenyut dengan cara yang kelam.
Lima mobil hitam berderet di depan gudang. Mesin-mesin mereka sudah dimatikan, tapi panas knalpotnya masih mengepul samar di udara dingin.
Di dalam gudang, lampu-lampu gantung tua menyala redup, memantulkan cahaya pucat di lantai semen yang retak.
Pak Arman berdiri di tengah ruangan. Jas hitamnya rapi, sepatu kulitnya berkilat, dan wajahnya memancarkan wibawa sekaligus ancaman.
Di hadapannya, seorang pria kurus berlutut. Tangannya terikat di belakang, wajahnya pucat pasi, keringat bercucuran meski udara di ruangan begitu dingin. Dua orang anak buah Pak Arman berdiri di dekatnya, menjaga ketat agar ia tidak kabur.
"Pak Arman… saya mohon…," suara pria itu bergetar, hampir seperti bisikan. "Saya nggak akan cerita ke siapa pun. Saya bersumpah. Saya cuma… saya butuh uang. Itu saja."
Pak Arman menatap pria itu dengan mata setajam silet. "Kau menjual informasi ke orang luar," suaranya datar, tapi ada bara api di balik nada tenang itu. "Kau kira aku bisa biarkan begitu saja?"
Pria kurus itu menggeleng cepat, air mata mulai mengalir di pipinya yang kotor. "Tidak… tidak, Pak. Saya hanya… saya hanya cerita sedikit. Saya butuh uang buat anak saya, Pak… dia sakit…."
Pak Arman berjalan mendekat, langkahnya pelan tapi berwibawa. "Anakmu sakit? Kasihan sekali," ucapnya dingin. "Tapi sayang, kau lupa satu hal penting."
Pria kurus itu mendongak, bingung.
"Orang yang mengkhianatiku," lanjut Pak Arman, "tak akan pernah hidup lama."
Pria itu tersentak, wajahnya pucat seperti kertas. "Pak… Pak, tolong! Saya janji… saya janji nggak akan.."
Tamparan keras dari salah satu anak buah memotong kalimatnya. Darah mengalir dari bibirnya.
Pak Arman menatapnya sebentar, lalu berkata pelan pada anak buahnya, "Bereskan."
Pria bertubuh besar berjaket kulit hitam mengangguk. Ia mengeluarkan pistol hitam mengilap dari balik jaket. Suara kokangan pistol terdengar jelas, memantul di dinding-dinding kosong gudang.
Pria kurus itu berteriak, memohon, tapi tak ada yang peduli.
Dor!
Suara tembakan menggema, diikuti tubuh pria kurus yang terjatuh ke lantai. Darah merah gelap menyebar di lantai semen, mengalir perlahan mengikuti retakan-retakan kecil di permukaannya.
Pak Arman memandang tubuh tak bernyawa itu dengan wajah tanpa ekspresi.
"Buang mayatnya," katanya pelan. "Pastikan tidak ada yang menemukan."
Anak buahnya mengangguk. Dua orang mengangkat tubuh itu dan menyeretnya ke sudut gelap gudang.
Pak Arman menghela napas pelan, lalu berjalan menuju mejanya yang sederhana di salah satu sisi ruangan. Ia menyalakan rokok, mengisapnya dalam-dalam. Asap putih mengepul di udara, bercampur dengan aroma darah yang menyengat.
Baginya, ini hanyalah urusan bisnis.
Pertemuan Tak Terduga
Di saat yang hampir bersamaan, Stefanus sedang pulang dari kampus.
Hari ini ia membantu dosen memindahkan tumpukan buku ke perpustakaan sampai malam, dan kini ia mengayuh sepeda tuanya melewati jalan pintas di dekat kawasan industri. Jalan itu sepi, gelap, tapi memang jalur tercepat menuju rumah pamannya.
Di kejauhan, ia melihat cahaya samar dari gudang tua. Suara mobil, suara langkah, bahkan… samar-samar suara orang berteriak.
Stefanus memperlambat kayuhan sepedanya.Dia mendengar ada suara di dalam gudang itu.
"Kenapa malam-malam ada orang di situ?" gumamnya.
Rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Ia turun dari sepeda, menuntunnya pelan-pelan, lalu mendekat ke salah satu jendela pecah di sisi gudang.
Begitu ia mengintip, matanya membelalak.
Ia melihat seorang pria jatuh bersimbah darah. Seorang pria berjas hitam memegang pistol yang masih berasap. Dan di tengah ruangan, dengan wajah dingin tak berperasaan, berdiri Pak Arman ayah Stefany.
Jantung Stefanus berdegup kencang. Ia hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Pak Arman… membunuh orang?
Ketahuan
Stefanus mundur perlahan. Ia harus pergi dari sini. Ia tak boleh ada di tempat ini.
Namun saat ia berbalik, kakinya menginjak kaleng bekas.
Kringgg!
Suara logam bergema di malam sunyi.
Di dalam gudang, salah satu anak buah menoleh cepat. "Bos, ada yang di luar!"
"Siapa?!" Pak Arman mendongak tajam.
Stefanus panik. Ia segera melompat ke atas sepedanya dan mengayuh sekuat tenaga menjauh dari gudang itu.
"Kejar dia!" teriak Pak Arman.
Empat orang anak buah berlari keluar. Dua di antaranya naik mobil hitam, dua lainnya mengejar dengan motor. Suara mesin meraung memecah malam.
Stefanus mengayuh sepedanya di jalan gelap, napasnya tersengal. Ia menoleh ke belakang lampu mobil dan motor mendekat cepat.
"Berhenti! Hei, brengsek, berhenti!" salah satu berteriak.
Stefanus tak peduli. Ia memutar ke gang sempit di antara gudang-gudang tua, berharap bisa membuat mereka kesulitan mengejar.
Motor-motor itu tetap menempel di belakangnya. Suara knalpot meraung, ban berdecit di jalanan basah.
Salah satu pengendara motor mengayunkan besi panjang mencoba memukul Stefanus. Stefanus menunduk cepat, besi itu hanya mengenai udara.
Stefanus memotong jalan ke gang lebih sempit lagi, tapi salah satu motor berhasil mendekat dari sisi lain.
Tiba-tiba..
Brakkk!
Besinya menghantam bahu Stefanus. Stefanus terhuyung, hampir terjatuh, tapi ia memaksa kayuhan sepedanya tetap stabil. Rasa sakit menyengat di bahunya, darah mulai mengalir, tapi ia tak boleh berhenti.
Ia memotong jalan ke arah pasar tua yang sudah tutup. Di sana, lapak-lapak kayu dan tenda-tenda kosong memberi celah untuk bersembunyi.
Stefanus menabrak salah satu tenda, membuatnya roboh, lalu memutar cepat ke lorong kecil di belakang pasar.
Para pengejar sedikit terhambat.
Stefanus memanfaatkan kesempatan itu. Ia meninggalkan sepedanya, berlari menembus lorong-lorong sempit, darah dari bahunya menetes di tanah.
Suara motor masih terdengar di belakang, tapi makin lama makin jauh.
Akhirnya, setelah hampir setengah jam berlari dan bersembunyi, Stefanus terhuyung lemas di sebuah gang buntu. Nafasnya tersengal, wajahnya pucat, tapi ia masih hidup.
Pak Arman Mulai Curiga
Di gudang, Pak Arman menatap anak buahnya yang kembali tanpa hasil.
"Siapa dia?" tanyanya dingin.
"Kami nggak lihat jelas, Bos," jawab salah satunya. "Tapi dia masih muda. Kayaknya mahasiswa."
Pak Arman menghela napas panjang, matanya menyipit penuh curiga.
Mahasiswa.
Seketika wajah Stefanus muncul di benaknya. Anak miskin itu. Anak yang dekat dengan Stefany.
Rahangnya mengeras.
"Kalau benar dia," ucap Pak Arman perlahan, "maka anak itu baru saja menandatangani surat kematiannya sendiri."