Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RUANG CERMIN
Kata-kata Pak Tirtayasa menggantung di udara dingin tempat parkir bawah tanah itu, menyerap semua suara lain hingga yang tersisa hanyalah keheningan yang memekakkan telinga. "Kita perlu bicara" terdengar begitu sederhana, begitu wajar, tetapi dari bibirnya, kalimat itu memiliki bobot sebuah palu hakim yang akan jatuh.
Wajahnya tetap tak terbaca, matanya yang tajam dan cerdas menatap kami seolah kami adalah spesimen di bawah mikroskop. Dia tidak melihat tiga muridnya. Dia melihat tiga aset yang baru saja kembali dari uji coba lapangan yang gagal total. Atau mungkin, berhasil dengan cara yang tidak kami duga.
Sebelum ada di antara kami yang bisa merespons, dia sedikit mengalihkan pandangannya ke arah gadis yang ada di pelukanku. Untuk sesaat, ekspresinya melunak—sebuah perubahan sepersekian milimeter di sudut bibirnya, nyaris tak terlihat, tetapi aku merasakannya.
"Pertama-tama, urus dia," katanya, bukan kepada kami, tetapi ke udara kosong di belakangnya.
Seolah dipanggil oleh kata-katanya, dua orang muncul dari sebuah pintu yang sebelumnya tidak kusadari ada di dinding. Mereka mengenakan seragam medis berwarna biru tua, bergerak dengan efisiensi senyap yang sama seperti pengemudi van tadi. Tanpa sepatah kata pun, mereka mendekatiku dan dengan sigap mengambil alih gadis itu, memindahkannya ke tandu lipat yang mereka bawa. Salah satu dari mereka langsung memeriksa pergelangan kakinya, sementara yang lain memeriksa pupil matanya dengan senter kecil.
Aku ragu-ragu untuk melepaskannya, sebuah naluri protektif yang bodoh masih tersisa. Salah satu petugas medis itu menatapku—tatapan profesional yang tenang. "Dia akan baik-baik saja," katanya singkat. "Kami akan mengurusnya."
Aku mengangguk dan melangkah mundur, merasakan kekosongan yang aneh di lenganku. Saat mereka membawa tandu itu melewati Pak Tirtayasa dan masuk ke dalam fasilitas, aku melihatnya menatap gadis itu sekali lagi. Tatapannya bukan seperti seorang komandan yang melihat aset, tetapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih personal.
Setelah pintu itu tertutup di belakang tim medis, keheningan kembali menyelimuti kami, kini lebih berat dari sebelumnya. Pak Tirtayasa akhirnya memusatkan kembali perhatiannya pada kami bertiga.
"Ikut aku," hanya itu yang ia katakan.
Dia berbalik dan berjalan menuju pintu yang sama. Tidak ada pilihan selain mengikutinya. Aku bisa merasakan getaran amarah yang tertahan dari Adhitama yang berjalan di belakangku, dan langkah Sari yang terukur dan tanpa suara di sampingnya. Kami berjalan melewati koridor yang panjang, putih, dan steril. Tidak ada jendela, tidak ada dekorasi. Hanya pintu-pintu baja polos di kedua sisi dan lampu-lampu panel di langit-langit yang memancarkan cahaya putih tanpa bayangan. Tempat ini terasa seperti persilangan antara laboratorium farmasi dan bunker militer. Sangat jauh dari citra SMA Pelita Harapan yang megah dan penuh cahaya matahari. Sekolah itu hanyalah sebuah fasad, sebuah panggung. Ini adalah ruang belakang panggung yang sesungguhnya.
Pak Tirtayasa berhenti di depan sebuah pintu yang tidak berbeda dari yang lain dan membukanya dengan kartu akses. Dia menahan pintu itu terbuka, memberi isyarat agar kami masuk.
Ruangan itu adalah sebuah ruang rapat minimalis. Sebuah meja panjang dari logam hitam mengkilap mendominasi bagian tengah, dikelilingi oleh enam kursi yang tampak tidak nyaman. Salah satu dindingnya adalah kaca satu arah yang gelap, memantulkan kembali bayangan kami seperti hantu. Aku tahu kami sedang diamati. Tidak ada minuman, tidak ada buku catatan. Hanya ruangan dingin yang dirancang untuk menghilangkan kenyamanan.
"Duduk," perintah Pak Tirtayasa. Dia sendiri tetap berdiri di ujung meja, menempatkan dirinya dalam posisi otoritas mutlak.
Kami duduk dengan kaku. Adhitama memilih kursi paling jauh dariku, sementara Sari duduk di antara kami, sebuah penyangga netral dalam perang dingin ini.
Pak Tirtayasa meletakkan tangannya di atas meja, jari-jarinya yang panjang dan terawat saling bertaut. Dia menatap kami satu per satu, keheningannya adalah sebuah alat, sebuah instrumen untuk mengikis pertahanan kami.
"Aku ingin laporan," katanya akhirnya, suaranya tenang namun memotong keheningan seperti pisau bedah. "Lengkap. Dari awal hingga akhir. Adhitama, kau mulai."
Adhitama menegakkan punggungnya, seolah sudah menunggu momen ini. "Misi berjalan sesuai rencana pada fase awal, Pak," mulainya, suaranya resmi dan kaku. "Kami tiba di lokasi, menyusup ke titik observasi tanpa terdeteksi. Tim bekerja dengan baik dan efisien."
Dia melirik sekilas ke arahku. "Masalah dimulai saat kami mengkonfirmasi visual target. Target menunjukkan ketidakstabilan emosional yang memicu pelepasan telekinetik yang tidak terkendali. Sesuai protokol, kami terus mengamati. Namun... Bima," dia menyebut namaku dengan penekanan, "memutuskan untuk melanggar perintah langsung."
"Jelaskan," kata Pak Tirtayasa, matanya tidak berkedip.
"Dia bersikeras untuk melakukan intervensi, mengabaikan perintah 'DILARANG KERAS melakukan kontak' yang Anda berikan. Dia berdebat, menentang struktur komando, dan pada akhirnya, bertindak sendiri. Dia menggunakan kekuatannya secara terbuka untuk menembus pertahanan gudang dan menghadapi pihak ketiga yang ada di lokasi." Adhitama berhenti sejenak, membiarkan tuduhannya menggantung. "Dia melumpuhkan dua individu tak dikenal itu dengan kekerasan yang berlebihan dan melakukan kontak langsung dengan aset. Tindakannya membahayakan seluruh tim dan membocorkan keberadaan serta tingkat kemampuan kita. Insubordinasi total. Laporan selesai."
Dia bersandar, puas dengan laporannya yang memberatkan. Dia telah melukiskan gambaran yang jelas: dia adalah prajurit yang setia, dan aku adalah pemberontak yang ceroboh.
Pak Tirtayasa tidak menunjukkan reaksi apa pun. Dia hanya mengalihkan pandangannya. "Sari. Laporanmu."
Sari duduk sedikit lebih tegak, matanya menatap lurus ke depan, seolah sedang membaca data dari layar tak terlihat. "Laporan Adhitama akurat secara faktual," mulainya dengan suara datar. "Namun, kurang konteks."
Adhitama menoleh padanya, sedikit terkejut.
"Analisis saya menunjukkan bahwa perintah awal didasarkan pada asumsi bahwa misi ini adalah observasi pasif terhadap aset yang terisolasi," lanjut Sari. "Data di lapangan membuktikan asumsi ini salah. Kehadiran dua individu tak dikenal yang secara aktif memprovokasi dan menyakiti aset mengubah parameter misi dari observasi menjadi situasi penyanderaan taktis. Perintah awal menjadi usang."
Dia berhenti, lalu menatap langsung ke arah Pak Tirtayasa. "Bima benar. Melanjutkan observasi pasif dalam situasi yang telah berevolusi akan menjadi sebuah kelalaian. Analisis risiko-saya menunjukkan probabilitas 78% bahwa aset akan mengalami kerusakan fatal atau ledakan katastrofik jika tidak ada intervensi. Tindakan Bima, meskipun merupakan pelanggaran protokol, secara logis merupakan respons yang paling tepat untuk menstabilkan situasi yang tidak dapat diprediksi dan melestarikan aset. Laporan selesai."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Laporan Sari telah memberikan pembelaan yang tidak terduga. Dia tidak membelaku secara pribadi; dia hanya menyatakan kesimpulan logis dari data yang ada. Adhitama menatapnya dengan tatapan tak percaya, merasa dikhianati oleh logika itu sendiri.
Akhirnya, mata Pak Tirtayasa tertuju padaku. "Bima. Laporanmu."
Aku menatapnya balik, tidak berusaha menyembunyikan apa pun. "Saya tidak punya laporan," kataku pelan.
Ekspresi Pak Tirtayasa tidak berubah, tetapi aku merasakan sedikit pergeseran di atmosfer ruangan. "Jelaskan."
"Adhitama benar. Saya melanggar perintah," kataku. "Sari juga benar. Situasinya telah berubah. Tapi saya tidak bertindak karena analisis taktis atau probabilitas. Saya bertindak karena saya mendengar seorang gadis menjerit kesakitan. Saya melihat penyiksaan, dan saya menolaknya. Mereka melewati sebuah batas. Jadi, saya pun melewatinya. Jika saya dihadapkan pada situasi yang sama lagi besok, saya akan melakukan hal yang sama persis. Tidak ada yang perlu dilaporkan. Itu adalah sebuah pilihan."
Aku membiarkan kata-kataku menggantung di udara. Aku tidak akan meminta maaf. Aku tidak akan membuat alasan. Aku telah menyatakan kebenaranku.
Ruangan itu menjadi begitu sunyi hingga aku bisa mendengar dengung samar dari lampu di atas kami. Pak Tirtayasa menatapku lama, tatapannya begitu intens hingga aku merasa seolah dia sedang membaca setiap baris kode genetik dalam diriku, setiap ingatan dari kehidupanku yang dulu.
Lalu, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, tersungging di bibirnya.
"Bagus," katanya, suaranya kini mengandung nada... kepuasan. "Sangat bagus."
Adhitama dan aku sama-sama menatapnya dengan bingung. Bahkan Sari pun tampak sedikit terkejut.
Pak Tirtayasa berjalan perlahan mengitari meja, tangannya di belakang punggung. "Kalian pikir misi malam ini adalah tentang gadis itu, bukan?" tanyanya retoris. "Kalian pikir ini adalah tentang menguji kemampuan kalian menyusup dan mengamati?"
Dia berhenti di belakang kursiku, dan aku bisa merasakan kehadirannya yang menjulang.
"Kalian salah," lanjutnya. "Gadis itu penting, ya. Dia adalah salah satu dari kalian, seorang 'Anomali' yang baru terbangun. Menyelamatkannya adalah tujuan sekunder. Tujuan utamanya... adalah kalian bertiga."
Dia mulai berjalan lagi. "Malam ini bukan tes keterampilan. Ini adalah tes karakter. Sebuah ujian yang dirancang khusus untuk masing-masing dari kalian."
Dia menunjuk Adhitama. "Untukmu, Adhitama, ini adalah tes kepatuhan dan kesetiaan. Aku perlu tahu apakah aku memiliki seorang prajurit yang bisa mengikuti perintah bahkan ketika instingnya berteriak sebaliknya. Kau lulus dengan nilai sempurna."
Adhitama tampak sedikit bangga, tetapi masih bingung.
Pak Tirtayasa kemudian menunjuk Sari. "Untukmu, Sari, ini adalah tes adaptasi. Aku perlu tahu apakah kau bisa melihat melampaui data awal dan menganalisis situasi yang cair, apakah logikamu kaku atau fleksibel. Kau membuktikan bahwa kau bisa beradaptasi. Kau juga lulus."
Akhirnya, dia berhenti di depanku, menatapku lurus di mata.
"Dan untukmu, Bima," katanya pelan. "Ujianmu adalah yang paling sulit. Dan yang paling penting."
"Aku tidak memberimu perintah untuk diikuti," lanjutnya. "Aku memberimu sebuah dilema moral yang mustahil. Aku menghadapkanmu pada aturan yang kaku melawan penderitaan yang nyata. Aku tidak ingin melihat apakah kau akan patuh. Aku sudah tahu kau tidak akan patuh sejak hari pertama kau masuk ke sekolah ini. Aku bisa melihatnya di matamu."
Dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Aku ingin melihat mengapa kau akan membangkang. Apakah karena kesombongan? Karena kau pikir kau lebih kuat? Atau... karena sesuatu yang lain?"
"Malam ini, kau menjawab pertanyaanku," katanya. "Kau tidak bertindak untuk pamer. Kau bertindak karena kau tidak bisa diam saja melihat ketidakadilan. Kau melindungi yang lemah, bahkan dengan risiko besar bagi dirimu sendiri. Kau menunjukkan belas kasihan dan pengendalian diri saat kau bisa saja menghancurkan segalanya. Di dalam dirimu, Bima, ada kekuatan seorang dewa... tetapi ada hati seorang pahlawan."
Dia menegakkan punggungnya.
"Dan itulah yang selama ini kucari."
Keheningan yang mengikuti pernyataannya adalah keheningan yang lahir dari keterkejutan total. Seluruh narasi malam itu telah dibalik. Kegagalanku, pembangkanganku, ternyata adalah kemenangan yang ia harapkan.
Adhitama menatap Pak Tirtayasa dengan mulut sedikit terbuka, dunianya yang hitam-putih baru saja dihancurkan menjadi sejuta warna abu-abu.
"Jadi... semua ini..." bisik Adhitama. "Dua pria itu... mereka orang Anda?"
"Tentu saja," jawab Pak Tirtayasa enteng. "Tim Beta. Tugas mereka adalah mendorong aset ke batasnya dan menciptakan dilema moral untukmu. Mereka akan baik-baik saja. Sedikit patah tulang tidak akan membunuh mereka."
Aku hanya bisa menatapnya. Pria ini... tingkat manipulasi dan perhitungannya sungguh di luar nalar. Dia telah memainkan kami semua seperti bidak di papan caturnya.
"Selamat, Tim Alpha," kata Pak Tirtayasa, senyum tipisnya kembali. "Kalian semua lulus ujian pertama kalian."
Dia menatap kami bertiga, timnya yang baru saja hancur dan kini harus dibangun kembali di atas fondasi kebenaran yang baru.
"Sekarang," katanya. "Pekerjaan yang sesungguhnya bisa dimulai."