Ilya Perry-Ivanova menikahi Nicholas Duncan hanya untuk satu tujuan: melarikan diri dari sangkar emas neneknya yang posesif.
Tapi Nicholas Duncan, sang pecinta kebebasan sejati, membenci setiap detik dari pernikahan itu.
Tujuannya Nick hanya satu: melepaskan diri dari belenggu pernikahannya, yang mana berarti Ilya. Istrinya yang paling indah dan jelita.
Ketika satu pihak berlari ke dalam ikatan itu, dan pihak lain mati-matian berlari keluar, mampukah mereka selamat dari perang rumah tangga yang mereka ciptakan sendiri?
×wasabitjcc
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wasabitjcc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Kesalahan
Nicholas Duncan adalah seorang perfeksionis hingga ke tulang. Ia menginginkan segala hal yang ia lakukan berjalan sempurna. Benar. Tanpa cacat. Nicholas atau singkatnya Nick, tidak menyukai hal-hal yang tidak terduga, hal-hal yang terjadi secara tiba-tiba, tak terencana, dan berujung mengacaukan kesempurnaannya.
Kritikus sejati di hidup Nick adalah dirinya sendiri, dan jika ada orang yang paling ia ingin senangkan dan banggakan, maka orang itu adalah dirinya sendiri juga.
Nick adalah pribadi yang mencintai ketepatan. Namun, itu tidak membuatnya sempurna dan cemerlang. Pada dasarnya, Nick masih anak adam yang sejak tercipta di dunia—rentan menciptakan kesalahan.
Kendati Nick menginginkan segalanya berjalan baik dan benar, ia tentu saja pernah menciptakan kesalahan-kesalahan yang berujung membawanya pada kesialan.
Di antara banyaknya kesalahan yang sudah Nick lakukan selama hidupnya, kesalahan yang paling menonjol baginya—mengubah mata angin dan mengombang-ambing kapal kehidupannya yang berlayar tenang—adalah hari ketika ia menyapa seorang anak perempuan yang tak sengaja ia temui di rumah temannya.
"Apa kamu tamu?" tanya anak perempuan itu padanya saat Nick datang menyapa. Anak perempuan dalam seragam sekolah berwarna biru tua itu duduk di sebuah dahan pohon yang rendah dan melengkung. Ia sedang mengunyah sebuah apel ketika Nick datang menghampirinya.
Iya, Nick adalah lelaki bodoh. Ia patut disalahkan atas apa yang terjadi pada hidupnya di kemudian tahun. Salahnya sudah menghampiri anak perempuan itu duluan. Hanya karena eksistensi perempuan itu mengusik matanya, dengan mudah kakinya melangkah menghampiri perempuan itu.
"Mm. Kamu sendiri? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Nick saat itu. Pertanyaan bodoh untuk basa-basi saja.
Meski perempuan itu duduk di dahan pohon, dahan pohon itu hanya setinggi dada Nick. Jadi Nick masih bisa melihat jelas wajah perempuan itu dan melihat sebuah novel yang sedang di pangkunya.
Novel romance. Klise. Cocok untuk remaja muda sepertinya yang masih berkhayal tentang cinta.
"Aku melarikan diri dari Baba," kata perempuan itu, sedikit kejengkelan tertuang di ekspresinya. Baba artinya nenek. Nick cukup familier dengan kata itu kendati pemahaman Nick terhadap bahasa Rusia masih awkward dan kaku.
Teman Nick yang tinggal di rumah itu juga sering mengeluhkan tentang neneknya yang dia sebut Baba Ingrid. Mungkin perempuan itu juga mengeluhkan Baba yang sama.
"Apa kamu teman Eddy?"
Eddy atau Eduard Perry-Ivanov merupakan putera kedua dari keluarga Ivanov. Putera pertama namanya Sergei Perry-Ivanov. Seryozha panggilannya.
"Mm. Namaku Nick. Nicholas Duncan." Nick menyodorkan tangannya kepada anak perempuan itu.
Anak perempuan itu menyambut uluran tangan Nick dan tersenyum, "Sir Duncan. Namaku Ilya."
Ilya, namanya Ilya. Monster cilik dengan paras jelita nan pucat itu bernama Ilya.
Ilya memperhatikan Nick yang kini ikut menyandar di dahan pohonnya, tangan berpangku di ujung dahan, jari-jarinya dengan santai merobek dedaunan yang berada dalam jangkauan.
"Kamu orang Amerika?" tanya Ilya lagi, lebih seperti tebakan. Cara Nick berbicara dan dari penampilannya—pembawaannya, menunjukkan kalau pria itu bukan berasal dari Rusia. Tidak juga dia terlihat seperti pria yang datang dari England dan memiliki aksen kental.
"Kurang lebih."
"Apa maksudnya kurang lebih?"
"Ibuku asli Skotlandia, ayahku Amerika. Nenek dari pihak ayahku adalah orang Jerman, dan kakek dari ayahku berdarah campuran Italia-Amerika."
"Bagaimana nenek dan kakek dari pihak ibumu?"
"Mereka Scottish murni." Scottish artinya orang Skotlandia.
Asal-usul keluarga Nick membuat Ilya tertarik, ia tersenyum dengan mata berbinar penuh minat. "Apa yang kamu lakukan di Moskow?" tanyanya.
"Menghadiri pernikahan teman," sahut Nick.
"Miss Anya?" Tebak Ilya lagi, lalu merotasikan mata saat Nick mengangguk. "Betapa beruntungnya Miss Anya," ucapan Ilya membuat Nick meninggikan alisnya.
"Kamu terlalu muda untuk pernikahan," Nick menduga Ilya cemburu pada Anya yang akan menikah dan merengkuh apa yang dipandang banyak remaja muda sebagai 'Akhir yang bahagia'. Padahal kehidupan terus berlanjut dan pernikahan itu akan berakhir pada perceraian.
Oke, itu hanya persepsi negatif Nick saja. Ia tidak mengatakan apa-apa pada Ilya.
"Iya, tapi Miss Anya akan berangkat ke London setelah ini, dia akan meninggalkan Moskow dan menikmati kehidupan baru di England."
Nick tidak memahami keluhan Ilya atau mengapa perempuan itu mencemburui kehidupan baru Anya yang menurut Nick sendiri sebagai perubahan yang tidak begitu berarti.
Sejatinya, Nick memang tidak begitu menaruh perhatian pada isi konversasinya dan Ilya. Pikiran Nick terbelah dua pada keluhan-keluhan tentang Eduard Perry-Ivanov yang mendekam terlalu lama di dalam rumahnya.
Ke mana perginya lelaki yang hendak mengajaknya berkuda sore nanti? Langit keburu malam.
"Apa kamu sudah menikah, Nick?" Pertanyaan Ilya menarik perhatian Nick kembali, dan kekehan lolos dari bibirnya secara alami.
"Tidak. Tidak akan pernah terjadi." Sahutan itu keluar tanpa pikir panjang dari bibir Nick. Tatapannya mengedar bosan kepada lahan luas yang diisi oleh pepohonan rindang di taman samping kediaman Ivanov.
"Kenapa tidak?"
"Karena..." Nick tidak yakin harus mengatakan apa pada perempuan yang dipandangnya masih terlampau muda untuk memahami kerasnya realita dunia. Mengatakan hal yang sinis pun belum tentu masuk ke dalam otaknya yang belum sepenuhnya berkembang itu.
"Aku belum menemukan belahan jiwaku," kata Nick, sambil menahan muntah. Kenapa dia harus berbohong pada perempuan itu? Perempuan yang omong-omong, masih bertengger di atas dahan pohon seperti seekor kenari atau—kalau mengikuti penampilannya yang serba gelap—gagak.
"Kalau hanya itu, kamu pasti akan menemukannya cepat atau lambat."
"Yaaah, itu meragukan. Bumi terlalu luas. Belahan jiwaku bisa saja sedang berada di Asia, menikah dengan pria terdekat dalam jangkauan matanya, dan memiliki tiga orang anak."
"Kalau dia tidak bersamamu, itu artinya dia bukan belahan jiwamu."
"Betapa romantisnya kata-katamu," Nick bermaksud mengejek, tapi Ilya menyikapinya dengan kekehan tipis. Nick tidak mau membahas topik itu lagi—tentang pernikahan dan belahan jiwa yang menurutnya omong kosong, dan memilih menanyakan hal lain pada Ilya.
"Apakah kamu adik perempuan Eddy?" tanya Nick, pertanyaan itu lebih seperti pencarian pembenaran.
"Mm. Aku pikir kamu sudah tahu."
"Aku menebaknya, tapi rumah ini cukup besar. Kamu bisa saja sama sepertiku, hanya seorang tamu." Nick lalu bertanya lagi, "Mengapa kamu melarikan diri dari Baba-mu?"
"Dia menyebalkan." Jawaban Ilya begitu frontal. "Aku ingatkan kamu, Sir Nicholas, Ingrid Ivanova adalah iblis di rumah ini. Kamu sebaiknya menjauh dari dia, atau dia akan menyedot jiwamu dan memaku ragamu di dinding, berdampingan dengan kepala rusa yang sudah kering."
Tawa Nick merekah seketika. Ucapan Ilya seperti lelucon yang lucu baginya. Padahal perempuan itu serius.
"Kamu pasti sangat membencinya."
Ilya menghela napas. "Aku sangat membencinya."
Nick ingin bertanya kenapa, tapi ia menelan kalimat pertanyaan itu demi tidak terlalu ikut campur terhadap kehidupan personal Ilya. Perempuan itu akan ia lupakan di menit ketika Eddy tiba. Segala permasalahan hidup perempuan itu tidak akan pernah berarti baginya. Tidak untuk saat itu.
"Apa Amerika menyenangkan, Nick?"
Pergantian nama panggilan dari Sir Duncan, Nick, Sir Nicholas, dan Nick lagi, membuat Nick agak terganggu dan risih. Ia tahu itu tidak penting, tapi Nick menyukai konsistensi dan hal-hal konkrit. Termasuk nama panggilan. Nick saja seharusnya cukup.
"Amerika menyenangkan," kata Nick, memendam keluhannya, ia menyikapi Ilya dengan sikap kasual dan biasa.
Tak berselang lama, sosok Eddy yang ia tunggu-tunggu akhirnya tiba. Pria bersurai pirang keemasan itu muncul di teras depan rumahnya—melambaikan tangan sambil memanggil Nick yang berdiri di kejauhan taman.
"Eddy sudah memanggilku," kata Nick pada Ilya. "Terima kasih sudah mau mengobrol denganku, Miss Ilya."
"Tidak masalah, Sir Duncan."
"Nick."
"Ya?"
"Kamu bisa memanggilku Nick saja."
"Oke, Nick." Ilya melompat turun dari dahan yang ia duduki dan melambaikan tangan pada Nick yang melangkah menjauh dari pohonnya. Laki-laki itu menghampiri Eddy dan suara keluhannya dalam bahasa Inggris mencapai telinga Ilya. Keluhan yang berisi mengapa Eddy lama sekali dan betapa Eddy nyaris membuatnya mati bosan.
Saat Eddy membawa Nick menjauh, Ilya memandang punggung sahabat kakaknya itu dengan sudut bibir melengkung.
"Aku harap aku bisa pergi ke Amerika," kata Ilya, dan dari harapan itu, tumbuh harapan-harapan lain, dan kisah mereka bermula.
Lima tahun dari hari itu, Ilya bertekad menjadikan Nick suaminya. Tiket emasnya.
...----------------...