Di balik kemewahan rumah Tiyas, tersembunyi kehampaan pernikahan yang telah lama retak. Rizal menjalani sepuluh tahun tanpa kehangatan, hingga kehadiran Hayu—sahabat lama Tiyas yang bekerja di rumah mereka—memberinya kembali rasa dimengerti. Saat Tiyas, yang sibuk dengan kehidupan sosial dan lelaki lain, menantang Rizal untuk menceraikannya, luka hati yang terabaikan pun pecah. Rizal memilih pergi dan menikahi Hayu, memulai hidup baru yang sederhana namun tulus. Berbulan-bulan kemudian, Tiyas kembali dengan penyesalan, hanya untuk menemukan bahwa kesempatan itu telah hilang; yang menunggunya hanyalah surat perceraian yang pernah ia minta sendiri. Keputusan yang mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Tepat dua hari setelah insiden mengerikan di tebing Uluwatu, suasana di Rumah Sakit Internasional Denpasar masih diselimuti ketegangan.
Rizal tidak beranjak sedikit pun dari kursi di depan ruang ICU.
Tubuhnya terasa kaku dan lelah, tetapi matanya tetap fokus menembus kaca, menatap Hayu yang terbaring lemah. Riska dan tim keamanan bergantian menjaganya.
Pagi ini di mana jam menunjukkan pukul sepuluh pagi.
Perawat bernama Suster Ayu masuk ke ruang ICU, seperti biasa untuk memeriksa keadaan Hayu.
Ia memeriksa selang infus, memantau monitor, dan mencatat tekanan darah Hayu. Di matanya, Hayu hanyalah pasien yang berjuang keras.
Suster Ayu baru saja hendak membalikkan tubuh Hayu agar tidak terjadi luka tekan, ketika ia merasakan sedikit gerakan.
Ia menunduk dan melihat mata Hayu yang perlahan-lahan, dengan susah payah, terbuka.
Cahaya lampu ICU yang terang membuat Hayu menyipitkan matanya sejenak.
Matanya yang indah kini kosong, menatap langit-langit putih seolah mencoba mengartikan di mana ia berada.
"Subhanallah..." bisik Suster Ayu, tangannya segera meraih tombol darurat di sisi ranjang.
Bunyi bip panjang segera memenuhi ruang ICU dan di balik kaca, Rizal yang tengah tertidur sebentar dengan kepala bersandar di dinding, langsung terperanjat bangun.
Riska dan dua pria keamanan di sampingnya juga menoleh.
"Ada apa, Pak Rizal?" tanya Riska.
Rizal tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke dalam ruang ICU.
Di sana, Suster Ayu berdiri di samping ranjang Hayu, wajahnya berseri-seri, berbicara dengan panik melalui interkom.
Melihat mata Hayu yang terbuka, Rizal merasakan energi baru yang luar biasa.
Ia berlari ke pintu kaca, dadanya menghantam lapisan dingin itu.
"Hayu! Sayang! Kamu sadar!" teriak Rizal lirih, mencoba meraihnya.
Tak butuh waktu lama, alarm yang berbunyi membuat Dokter Satya dan seorang dokter residen berlari cepat masuk ke dalam ruang ICU.
Rizal hanya bisa melihat dari balik kaca bagaimana Dokter Satya memeriksa pupil mata Hayu dengan senter kecil.
Setelah pemeriksaan awal yang singkat, Dokter Satya menoleh ke Suster Ayu dan mengangguk puas.
Ia kemudian mendekat ke Hayu dan berbisik lembut.
"Ibu Hayu? Selamat datang kembali. Bisa Ibu sebutkan nama Ibu?"
Hayu menoleh ke arah Dokter Satya, tatapannya masih bingung.
Ia mencoba berbicara, bibirnya kering dan suaranya serak.
"A-aku siapa?"
Satu kalimat itu membuat semua orang di ruangan terdiam, termasuk Rizal di luar. Mata Rizal membelalak tak percaya.
Dokter Satya mencoba lagi, mempertahankan senyum profesionalnya.
"Baik, tidak apa-apa. Sekarang, coba Ibu lihat ke sini. Ada seseorang yang sangat cemas menunggu Ibu. Itu suami Ibu, Bapak Rizal. Dia sangat mencintai Ibu. Coba lihat, Bu."
Dokter Satya menunjuk ke arah kaca, tepat di mana Rizal berdiri, wajahnya penuh harapan dan air mata.
Rizal dengan cepat menempelkan telapak tangannya di kaca, mencoba memberikan kehangatan kepada Hayu.
"Sayang, ini aku, Mas Rizal. Istriku! Ratu-ku!" bisik Rizal, tanpa suara.
Hayu mengikuti arah tunjuk Dokter Satya. Matanya yang baru terbuka itu bertemu dengan mata Rizal yang memohon.
Namun, tidak ada tatapan cinta yang familier. Tidak ada senyuman lega. Yang ada hanya sorot mata bingung, seolah melihat orang asing.
"Siapa. dia?" tanya Hayu kepada Dokter Satya.
Dokter Satya memejamkan matanya sejenak dan ia mengerti apa yang terjadi.
Ia menoleh ke arah Rizal, yang wajahnya kini dipenuhi ketakutan dan keputusasaan.
Dokter Satya mendekati pintu kaca dan membuka sedikit celah agar bisa berbicara dengan Rizal tanpa mengganggu Hayu terlalu lama.
"Bapak Rizal, harap tenang," ucap Dokter Satya dengan suara pelan dan serius.
"Ibu Hayu sudah sadar. Ini kabar baik. Tapi, sepertinya benturan di kepalanya menyebabkan dampak yang cukup serius. Kami harus melakukan serangkaian tes, tapi untuk saat ini, kami mendiagnosis Amnesia Retrograde."
Rizal merasakan tubuhnya lemas. Amnesia. Ia jatuh terduduk di kursi tunggu, seolah tulang-tulangnya dicabut.
"Dia tidak mengingatku, Dok?" tanya Rizal dengan wajah sedih.
"Dia tidak mengingat apa-apa. Bukan hanya Bapak, tapi juga identitasnya sendiri. Kami mohon Bapak bersabar. Ini adalah pertarungan yang sangat panjang. Tapi yang pasti, ia selamat. Dan Bapak harus tetap kuat untuk bisa menolongnya sembuh."
Rizal menatap nanar ke dalam ruang ICU, ke arah istrinya yang menatapnya seperti orang asing.
Dokter memindahkan Hayu ke ruang perawatan VVIP.
Setelah diagnosa yang mengejutkan dari Dokter Satya, tim perawat segera memindahkan Hayu dari Ruang Perawatan Intensif (ICU) ke kamar perawatan VVIP yang lebih tenang dan steril, sesuai permintaan Rizal.
Rizal mengikuti mereka dengan langkah gontai, perasaannya hancur berkeping-keping.
Rasa syukurnya karena Hayu selamat kini bercampur dengan rasa sakit yang tak terperikan karena Hayu tidak lagi mengingatnya.
Di dalam kamar VVIP yang luas, Rizal duduk di kursi samping ranjang Hayu.
Di sekelilingnya, Riska dan dua petugas keamanan berdiri dengan siaga.
Rizal menatap wajah Hayu yang kini terlihat lebih damai, meskipun perban masih melilit pelipisnya.
Garis-garis monitor medis di samping ranjang terus berbunyi, menjadi satu-satunya jaminan bahwa Hayu masih berada di sana, hidup.
Rizal meraih tangan Hayu yang terbebas dari infus, menggenggamnya erat, dan mencium punggung tangan itu.
Hayu, yang kini sudah lebih tenang, menoleh ke arah Rizal, tatapannya masih penuh tanda tanya.
Hayu memiringkan kepalanya sedikit, meneliti wajah Rizal.
Ia melihat mata Rizal yang memerah, penuh air mata yang telah mengering, dan raut wajah yang menunjukkan kelelahan dan kesedihan yang mendalam.
“Kenapa kamu melihatku seperti itu?” tanya Hayu dengan suara serak, suaranya terasa asing di telinga Rizal.
Rizal menggelengkan kepalanya dan dengan cepat menyeka sisa air mata yang masih membasahi pipinya. Ia berusaha keras untuk tersenyum, senyum yang terasa kaku dan palsu di wajahnya.
“Aku... aku senang kamu sudah sadar, Sayang,” jawab Rizal, mencoba menjaga suaranya agar terdengar lembut dan normal, tanpa membebani Hayu dengan kenyataan yang ada.
Hayu mengerutkan kening. Kata ‘Sayang’ itu terdengar asing, namun entah mengapa, terasa hangat di telinganya.
“Sayang?” ulang Hayu, mencoba mencerna panggilan itu. “Siapa aku? Dan siapa kamu?”
Rizal menarik napas panjang, menenangkan dirinya.
Ia tahu, inilah awal dari perjuangan barunya dan ia tidak bisa memaksa Hayu untuk mengingat, tetapi ia bisa mengajarkan Hayu untuk mencintai lagi.
“Namamu Hayu. Hayu Deswita,” ucap Rizal perlahan, dengan nada penuh kepastian. “Dan aku Mas Rizal. Aku suamimu.”
Hayu mencoba menggerakkan bibirnya, mengulang nama itu.
“Hayu Deswita...”
Ia melihat ke jari manisnya, tempat cincin emas putih sederhana melingkar. Cincin itu bersinar lembut di bawah lampu kamar.
“Cincin ini...” tanya Hayu.
Rizal tersenyum lembut, kali ini senyumnya sedikit lebih tulus.
“Ya, itu cincin pernikahan kita. Kita baru saja menikah, Sayang. Kita sedang berbulan madu di Bali saat kejadian itu menimpa kita.”
Hayu memejamkan mata, berusaha keras mencari koneksi, mencari kilasan memori tentang pernikahan, tentang Bali, tentang wajah pria yang mengaku suaminya ini. Namun, yang ia temukan hanyalah kegelapan yang hampa.
“Aku tidak ingat apa-apa,” bisik Hayu, air mata mulai menggenang di matanya.
Rasa frustrasi dan ketakutan karena kehilangan memori adalah rasa sakit yang baru dan asing.
Rizal segera mencondongkan tubuhnya, mencium kening Hayu dengan penuh kasih sayang.
“Tidak apa-apa, Sayang. Tidak apa-apa. Kamu tidak perlu mengingatnya sekarang. Yang paling penting adalah kamu selamat. Aku akan ada di sini, setiap hari. Aku akan menceritakan semua tentang dirimu, tentang cinta kita. Aku akan membantu kamu mengingat semuanya. Bahkan, kalaupun kamu tidak bisa mengingat, aku akan membuat kenangan baru bersamamu.”
Hayu merasakan ketulusan yang luar biasa dari tatapan dan sentuhan pria di hadapannya ini.
Meskipun ia tidak mengingatnya, ada rasa aman yang aneh yang muncul dari kehadiran Rizal.
“Kenapa aku terluka?” tanya Hayu sambil menyentuh perban di pelipisnya.
Rizal mengepalkan tangannya sejenak, amarahnya kembali memuncak. Namun, ia meredamnya, tidak ingin membuat Hayu cemas.
“Itu kecelakaan kecil saat kita di jalan, Sayang. Jangan pikirkan itu. Pikirkan saja pemulihanmu.”
Rizal menoleh ke arah Riska yang mengangguk mengerti bahwa ia perlu menyembunyikan kebenaran tentang serangan Tiyas dari Hayu untuk saat ini.