Yujin hanya ingin keluarga utuh dengan suami yang tidak selingkuh dengan iparnya sendiri.
Jisung hanya ingin mempertahankan putrinya dan melepas istri yang tega berkhianat dengan kakak kandungnya sendiri.
Yumin hanya ingin melindungi mama dan adiknya dari luka yang ditorehkan oleh sang papa dan tante.
Yewon hanya ingin menjalani kehidupan kecil tanpa harus dibayangi pengkhianatan mamanya dengan sang paman.
______
Ketika keluarga besar Kim dihancurkan oleh nafsu semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca Lavender, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perubahan
Di perjalanan pulang, Yujin tidak langsung ke rumah. Ia mampir ke toko buku kecil di sudut jalan. Jarinya menelusuri rak cerita anak-anak, lalu memilih dua buku cerita bergambar untuk Sunghan dan Yewon.
Setelah itu, Yujin berjalan kaki ke taman kecil di seberang toko. Angin sore menyapu rambutnya perlahan. Ia duduk di bangku kayu sambil menatap langit yang mulai bergradasi dari biru ke jingga. Ia memikirkan semua yang ia lewati.
Pernikahannya sudah hancur. Janin yang sempat memberi harapan, tak pernah sempat ia peluk.
Ia juga memikirkan Sunghan, si kecil yang mulai mengerti arti kehilangan seorang papa. Yewon, yang meski masih sangat muda, mulai memilih untuk percaya pada papanya, bukan pada pengkhianatan yang dilakukan mamanya sendiri.
Lalu Sumin. Anak sulungnya yang terlalu cepat dewasa. Yang kini berdiri sebagai pelindung diam-diam untuknya, serta penopang emosi bagi dua adiknya.
Dan Jisung.
Pria yang tidak pernah berjanji untuk menemanimya, tapi selalu hadir ketika semua orang pergi. Yang tetap menjaga jarak, tapi cukup dekat untuk membuatnya merasa tidak sendirian.
...----------------...
Saat Yujin sampai di rumah, suara riang Sunghan langsung menyambutnya
“Mama pulaaang!” Sunghan berlari mendekat lebih dulu, langsung melompat ke pelukannya.
Yujin terkekeh sambil menahan keseimbangan agar tidak jatuh, “iya, mama sudah pulang. Hannie kangen sama mama, ya?”
Tak lama kemudian, Yewon ikut berlari kecil dari arah dapur sambil menggenggam kertas lipat berwarna cerah.
“Wonnie gambar mama di sekolah!” serunya penuh semangat sambil menyerahkan gambar sederhana yang penuh warna dan coretan tak beraturan.
Yujin sudah terbiasa dengan Yewon yang terus bersikeras memanggilnya mama. Ia pun membungkuk, lalu menerima gambar itu. Garis wajah bulat dengan rambut panjang dan senyum besar. Di bawahnya tertulis “Mama Yujin, pahlawanku.”
Yujin menggigit bibir dan menahan air mata yang tiba-tiba terasa menggenang. Ia memeluk Yewon dan Sunghan bersamaan. Ia juga menggenggam gambar itu seolah itu adalah hadiah paling berharga yang pernah ia terima.
“Terima kasih, sayang. Kalian pahlawan mama juga,” gumam Yujin.
Dari arah dapur, terdengar langkah kaki. Sumin berjalan mendekat sambil membawa kantong sampah.
“Eh, mama sudah pulang?” tanya Sumin dengan nada lembut, seolah dia lega melihat mamanya.
“Baru saja,” jawab Yujin sambil tersenyum, “kok kamu sering pulang awal, Sumin? Apa tidak ada latihan basket?”
Sumin gugup mendengar pertanyaan tiba-tiba Yujin, “eh, eum … latihannya dihentikan sementara.”
Alis Yujin berkerut mendengarnya, “kenapa?”
Sumin menggigit bibir sebelum menjawab, “hanya tim inti yang latihan untuk persiapan turnamen nasional.”
“Kamu kan masuk tim inti juga,” balas Yujin yang tahu pasti skill anaknya dalam olahraga basket.
“Eh, tapi aku tidak ikut turnamen,” jawab Sumin sambil mengusap tengkuk.
Yujin berjalan mendekati Sumin, lalu menggenggam kedua tangan gadis itu. Yujin menatap kedua mata Sumin, berusaha untuk membuat anaknya jujur sejujur jujurnya.
“Sayang, kenapa kamu tidak ikut turnamen?” tanya Yujin dengan lembut.
Sumin mengedarkan pandangan untuk menghindari tatapan Yujin, “aku tidak masuk kualifikasi.”
“Seingat mama, pelatih kamu pernah bilang kalau kamu pemain terbaik tim kalian,” ucap Yujin, lalu ia mengelus pelan rambut Sumin, “Minnie, jujur sama mama.”
Sumin menghela napas, “aku mengundurkan diri.”
Yujin menatap sendu putrinya, tapi ia hanya diam dan terus mengelus rambut Sumin.
“Aku tidak mau Sunghan dan Yewon sendirian di rumah. Dan mama harus kembali ke perusahaan,” ucap Sumin.
“Oh, Minnie, sayang,” Yujin memeluk putri sulungnya, “mama bisa kembali menjadi ibu rumah tangga untuk merawat adik-adikmu. Kamu jangan mengorbankan dirimu sendiri, Sayang.”
Sumin langsung melepas pelukan, lalu menggenggam erat kedua lengan Yujin, “jangan, Ma. Mama sudah banyak berkorban untuk keluarga kita. Sudah saatnya mama berjuang untuk diri mama sendiri.”
Yujin tersenyum lembut, lalu mencium pipi Sumin, “kamu manis sekali, Minnie. Mulai besok, biar mama panggilkan pengasuh untuk menjaga Sunghan dan Yewon sepulang sekolah. Kamu harus kembali fokus sekolah dan hobimu. Ya, sayang?”
Sumin mengangguk setuju, lalu memeluk kembali sang mama.
...----------------...
Malam harinya, saat anak-anak sudah tidur, Jisung datang membawa setumpuk dokumen dan ekspresi lelah yang tidak sepenuhnya bisa ia sembunyikan. Yujin menyiapkan teh Hangat untuk mereka berdua di ruang tamu.
Jisung membuka map dan mengeluarkan beberapa berkas, “aku dan kolegaku mulai mengurus surat-surat. Ini draft pengajuan hak asuh sementara Yewon. Belum bisa diserahkan ke pengadilan, tapi semua pendukungnya sudah mulai kukumpulkan.”
Yujin mengangguk, “jadi belum ada jadwal sidang?”
“Belum,” jawab Jisung pelan, “aku juga belum ajukan gugatan cerai secara resmi. Hana masih berusaha membujuk supaya aku tidak menceraikannya.”
Yujin menatap pria itu lama, “Jisung, jangan terlalu lama membiarkan dirimu di posisi yang menyakiti dirimu sendiri.”
Jisung menghela napas dalam-dalam, “aku hanya bisa berusaha semampuku dan mengikuti alur.”
Yujin tak menjawab. Tapi sorot matanya menjawab segalanya. Ia tahu rasa itu karena ia pernah ada di titik itu. Perasaan tidak berdaya dan takut melangkah.
“Dan soal Yewon?” tanya Yujin pelan.
“Untuk sementara, dia tetap bersamaku. Guru dan psikolog sekolah sudah kuberi pernyataan. Mereka setuju kalau melepaskan nama Hana dari wali. Tapi karena statusmu bukan orang tuanya, aku tidak bisa menambahkan namamu sebagai wali sah meski Yewon sendiri bilang kalau kamu adalah mamanya.”
Yujin tersenyum getir, “tidak apa-apa. Yang penting dia merasa aman.”
Hening beberapa detik. Lalu Jisung bertanya, “bagaimana hari pertama kembali ke kantor?”
“Lelah, tapi menyenangkan,” jawab Yujin, “aku berhasil mendapatkan kepercayaan para dewan dan investor.”
“Oh ya? Selamat. Kamu memang Yujin yang kuat, sama seperti dulu,” ucap Jisung sambil tersenyum.
Yujin menatap ke arahnya, “Walaupun aku masih belum sepenuhnya pulih. Rasanya masih sesak setiap bertemu Jihoon di kantor.”
“Pelan-pelan saja. Kamu tidak harus pulih sepenuhnya. Tapi kamu sudah berjalan ke arah yang benar,” ucap Jisung berusaha menenangkan.
Yujin menghela napas, “aku hanya ingin hidup normal kembali setelah satu pengkhianatan.”
“Bukan satu,” sahut Jisung, “tapi dua.”
Tawa kecil lolos dari bibir mereka. Malam itu, mereka habiskan dengan perbincangan kecil. Mereka saling menguatkan satu sama lain.
...🥀🥀🥀🥀🥀...