Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan di Balik Ruko
Vanesa masih penasarn pada orang yang memberi ayahnya pinjaman. Ia ingin mencari tahu pada siapa dia berhutang dan ia ingin ada perjanjian hitam diatas putih. Maka Vanesa nekat datang lagi ke sana.
Hujan baru saja reda sore itu, menyisakan bau tanah basah dan udara lembap yang menggantung di langit Jakarta. Lampu jalan mulai menyala, menyinari gang-gang sempit di sekitar kawasan ruko tua yang berdiri rapat dan menyimpan banyak rahasia gelap di balik pintunya. Vanesa berdiri terpaku di ujung gang, memandangi ruko bernomor 31—tempat yang beberapa hari lalu menjadi saksi awal teka-teki hidupnya.
Ia menggigit bibir bawah, hatinya berdebar kencang. Rasa penasaran akan sosok pria bernama Valentino semakin mengusik. Sejak tahu ayahnya mendapatkan pinjaman besar dari pria itu, hidup Vanesa tak lagi sama. Suara pria itu... berat, dingin, namun sangat familiar. Seolah ia mengenalnya di dimensi lain.
"Siapa kamu sebenarnya, Valentino?"ucapnya, hatinya bergolak.
Vanesa ingat jelas, saat pertama kali masuk ke ruangan itu, matanya ditutup, dan lampu dimatikan. Tapi suara... suara itu menembus kabut memorinya, mengusik pikirannya tiap malam. Entah mengapa, saat mendengarnya, yang terlintas di kepalanya hanyalah satu nama: Gavin. Tapi itu tak mungkin... bukan?
Dengan langkah ringan tapi mantap, Vanesa menyelinap menuju ruko itu. Ia memutar ke sisi samping, mencari pintu belakang atau celah yang bisa masuki. Ia tahu ini gila. Tapi gadis sekuat dia tak akan pernah tinggal diam hanya karena rasa takut.
“Kalau aku harus nekat, maka hari ini adalah harinya,” bisiknya lirih.
Dari balik jendela kecil yang terbuka, Vanesa melihat cahaya redup dari lampu ruang dalam. Ia menahan napas, merunduk, dan mendorong perlahan pintu belakang yang tak terkunci. Derit kecil terdengar, tapi tak ada suara lain. Dengan sepatu datar dan napas ditahan, Vanesa masuk ke lorong gelap menuju ruangan yang ia incar.
Namun ia tak tahu, setiap langkahnya dipantau dari ruang kontrol.
“Target masuk dari pintu samping, ruko 31. Perempuan. Wajah dikenali—Vanesa.”
Suara dingin penjaga terdengar di walkie-talkie.
“Perintahkan dua orang ke sana. Jangan biarkan dia melewati pintu utama ruangan Valentino.”
Vanesa hampir sampai. Tangannya sudah menyentuh gagang pintu berlapis logam, ketika sebuah suara berat menghentikannya.
“Mau ke mana, Nona?”
Dia menoleh. Dua pria berjas hitam berdiri di belakangnya. Mata mereka tajam, tubuh besar dan penuh otot. Vanesa menggigit bibir.
“Aku... hanya tersesat.”
Salah satu pria menyeringai sinis. “Tersesat? Ke ruangan ini? Jangan main-main, Nona. Kau pikir tempat ini taman bermain?”
Sebelum sempat menjawab, tangannya ditarik keluar. Dengan kasar ia diiringi menuju pintu depan ruko. Langkah kakinya terseret, tapi kepala Vanesa tetap tegak.
“Kalian ini siapa sih? Menjaga apa sih sebenarnya di dalam sana? Markas mafia?”hardiknya.
Salah satu pria menatapnya dari ujung kepala sampai kaki. “Lebih baik kamu tidak tahu. Karena yang tahu... biasanya tidak pulang dengan utuh.”
Pintu ditutup keras. Vanesa terduduk di trotoar, napas terengah, wajah penuh keringat dingin. Tapi justru matanya kini lebih bersinar.
“Kalau dijaga ketat seperti itu... berarti yang kusebut tadi mungkin benar,”gumamnya. “Mungkin memang markas mafia.”
**
Tak jauh dari sana, dari lorong belakang ruko, Gavin keluar. Jas hitamnya rapi, rambutnya disisir ke belakang, dan wajah dinginnya tak menampakkan emosi apa pun. Ia berdiri di parkiran, memandang langit Jakarta yang kelabu.
“Dia datang lagi…” gumam Gavin, sambil menyalakan sebatang rokok.
Felik sudah melapor sebelumnya bahwa Vanesa mulai mencurigai sesuatu. Dan kini wanita itu hampir membobol masuk. Gavin tahu waktunya belum tepat. Identitas Valentino harus tetap tersembunyi, setidaknya sampai semua utangnya dibayar lunas… atau sampai Vanesa menyerah sendiri.
Gavin tak menyangka permainan ini akan sejauh ini. Ia hanya ingin Vanesa tetap dalam kendalinya. Dengan membuat ayahnya berutang, Vanesa otomatis terjerat.
Namun saat suara langkah cepat terdengar dari arah gang, Gavin spontan memalingkan kepala. Mata biru es itu membeku sesaat.
Vanesa.
Gadis itu mematung. Napasnya tercekat melihat sosok pria yang berdiri di depan mobil hitam mengkilap, dengan sebatang rokok yang hampir habis di jarinya.
“Gavin?”suaranya nyaris bergetar. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Gavin menoleh perlahan, seperti raja yang terganggu dari tahtanya. “Aku bisa saja balik bertanya. Kau menyusup ke markas orang, Vanesa. Itu bisa membahayakanmu.”
Wanita itu mendekat, tatapannya tajam. “Kamu yang harusnya menjawab dulu. Jangan bilang ini kebetulan. Apa kamu... Valentino?”
Gavin tersenyum dingin. “Nama itu terlalu mewah untukku.”
“Jangan bertele-tele!” sergah Vanesa. “Apa kamu yang membuat papiku berutang? Apa kamu yang membiarkan aku jatuh seperti ini?”
Gavin membuang rokoknya, lalu melangkah mendekat. Ia berdiri tepat di hadapan Vanesa. Tatapannya menghujam, begitu intens dan menakutkan. Tapi Vanesa tidak mundur.
“Aku tidak membiarkanmu jatuh, Vanesa.”Suaranya serak, berat, dan mengandung sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Aku memastikan kamu tetap hidup… dengan tujuan.”
Vanesa mengernyit. “Untuk apa?!”
“Hanya untuk memastikan kamu tetap ada tidak melarikan diri, karena kita punya janji.”
Mata Vanesa membulat. Tubuhnya gemetar bukan karena takut, tapi marah dan tercabik. Sekuat itukah pria ini ingin mengendalikannya?
“Kamu memberiku uang itu untuk menjeratku... Apa ini semua sudah direncanakan?” tanya Vanesa lirih.
Gavin memiringkan kepala. Wajahnya tetap tenang, tapi matanya menyimpan badai. “Karena aku tahu kamu akan kabur, kalau aku tidak membuat alasan untuk menahanmu.”
Vanesa menggeleng. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. “Kamu tidak punya hak!”
“Dan kamu tidak punya pilihan.” Gavin memutar tubuhnya, lalu membuka pintu mobil. Tapi sebelum masuk, dia menoleh. “Pulanglah, Vanesa. Jangan masuk ke dunia yang tidak bisa kau pahami.”
Mobil itu melaju perlahan, meninggalkan Vanesa yang berdiri sendiri di bawah langit gelap Jakarta. Hatinya kosong, pikirannya penuh. Untuk sesaat, ia merasa lelah… sangat lelah.
Tapi detik berikutnya, Vanesa mendongak.
“Kalau ini permainanmu, Gavin... aku akan jadi lawan yang tak bisa kamu kendalikan.”
"Aku akan jadi lawan yang tak bisa kamu kendalikan, Gavin. Kita lihat... siapa yang akan jatuh lebih dulu."
Bersambung
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini