Arunika terjebak di dalam dunia novel yang seharusnya berakhir tragis.
Ia harus menikahi seorang Dewa yang tinggal di antara vampir, memperbaiki alur cerita, dan mencari jalan pulang ke dunia nyata.
Tapi... ketika perasaan mulai tumbuh, mana yang harus ia pilih—dunia nyata atau kisah yang berubah menjadi nyata?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Rencana Tempat Persembunyian
Di hutan Timur yang terpencil, di balik kabut gelap yang tak pernah reda, berdiri sebuah gua batu besar yang di dalamnya menyala cahaya keunguan. Di tengah gua itu, berdiri sosok anggun dan mengerikan—penyihir Hitam bergaun kelam panjang, rambutnya seperti asap, dan matanya tajam seperti duri waktu.
Di hadapannya, berlutut seorang pria bertopeng dengan jubah panjang kerajaan. Tubuhnya tegang, tangan mengepal di balik kain tebalnya. Ia bukan datang karena mau—tetapi karena tak punya pilihan.
Penyihir itu melangkah mendekat, tawanya lirih namun menusuk, "Kau datang juga... seperti yang kuduga. Rasa takutmu pada kehancuran kerajaanmu lebih besar daripada kesetiaanmu pada takhta."
"Jangan sentuh kerajaan kami," desis pria muda itu pelan dan tegas. "Apa yang kau inginkan?"
Penyihir hitam menyeringai, memperlihatkan senyuman penuh siasat. "Aku hanya ingin sedikit... bantuan. Informasi. Dan mungkin... kesempatan untuk menanamkan benih kekacauan kecil." Ia menatap bola kristal yang kini menampilkan gambaran singkat Arunika di taman.
Pria bertopeng itu menggertakkan giginya. "Kau mengancam keselamatan keluarga kerajaan, termasuk wanita itu... dia mengandung."
"Dan itulah letak nilainya, bukan?" bisik penyihir itu. "Jika kau tak ingin kerajaanmu hancur oleh kutukan lama yang akan kubangkitkan... maka bantu aku menjaga agar jalannya cerita tetap seperti yang kuinginkan."
Pria itu menghela napas berat, kepalanya tertunduk. Ia tak punya pilihan. Ini bukan pengkhianatan karena keinginan... tapi karena keputusasaan.
"Aku akan lakukan... tapi hanya untuk memastikan tak ada yang terluka."
Penyihir itu tersenyum puas, mengangkat tangannya, dan menciptakan segel hitam di udara. "Maka perjanjian telah dibuat."
...****************...
Di dalam ruang utama Istana Kerajaan Sandyakala, suasana terasa tegang. Para pangeran dari kerajaan itu telah berkumpul dalam sebuah pertemuan rahasia yang dipimpin langsung oleh Shataraya, sang kakak tertua Ratu Swastamita, dan Pangeran Pertama yang kini terlihat lebih pendiam daripada biasanya.
Kursi-kursi kayu berukir megah yang melingkari meja bundar itu hampir semuanya terisi—kecuali satu. Seorang dari antara mereka, sang pangeran bungsu, tidak hadir, dan ketidakhadirannya itu cukup menciptakan kecemasan di wajah beberapa saudaranya. Namun tak satu pun berani menyuarakannya.
"Ada kabar dari Kerajaan Swastamita," ucap Shataraya dengan suara berat, memecah keheningan. "Raja Renjana bersedia membantu menyembunyikan Putri Arunika saat waktu persalinannya tiba."
"Apakah ini sudah pasti aman?" tanya salah satu pangeran yang lain, meragukan keputusan membawa calon pewaris takhta keluar dari istana.
"Kita tidak punya pilihan lain," jawab Pangeran Pertama datar. "Musuh semakin mendekat, dan darah Arunika terlalu berharga untuk dipertaruhkan di dalam dinding ini."
Shataraya melanjutkan dengan tenang, "Kita akan kirim pengawalan terbaik. Lokasi rahasia sudah disiapkan di wilayah perbatasan antara Sandyakala dan Swastamita. Hanya beberapa orang kepercayaan yang tahu."
Mereka semua menyadari ini bukan lagi sekadar upaya melindungi seorang istri pangeran—ini adalah soal mempertahankan keseimbangan antara dua dunia.
Sementara itu, jauh di hutan timur, penyihir Hitam berdiri di antara kabut tebal dengan sorot mata puas. Di hadapannya berdiri seorang pria bertopeng, anggota dari lingkaran dalam kerajaan, yang kini terpaksa bekerja sama dengannya.
"Lihatlah," gumam penyihir itu sambil melirik bola kristalnya. "Bahkan kerajaan besar itu mulai menyembunyikan ratunya. Semua karena ancaman kecil dariku."
Pria bertopeng itu menunduk, diam dalam penderitaan. Ia tahu, keputusannya dianggap sebagai pengkhianatan. Tapi hanya dia yang tahu: ini satu-satunya cara untuk menjaga rakyatnya tetap hidup.
...****************...
"Maaf aku terlambat," suara itu terdengar dari ambang pintu, tenang namun membuat semua kepala di ruangan itu menoleh. Pangeran bungsu berdiri di sana, tubuhnya basah kuyup oleh hujan yang turun deras di luar. Rambutnya meneteskan air, dan mantel panjangnya menempel erat di tubuhnya yang ramping.
"Di luar sedang hujan," ucapnya singkat, mencoba tetap sopan meski matanya menyapu wajah-wajah para saudaranya yang menatap dengan beragam ekspresi—kekhawatiran, keheranan, dan sedikit kecurigaan.
Pangeran Ke-enam segera berdiri dari tempat duduknya dan berjalan cepat menghampiri sang adik. Dengan gerakan lembut, ia membuka gulungan kain kecil yang ia bawa dari balik jubahnya dan mulai mengeringkan rambut sang pangeran bungsu.
"Keringkan rambutmu, jangan sampai kau demam," katanya pelan namun penuh perhatian, seperti seorang kakak yang tahu adiknya terlalu keras kepala untuk menjaga dirinya sendiri.
Pangeran bungsu tidak berkata apa-apa, hanya menatap sekilas wajah kakaknya lalu memalingkan pandangannya ke arah meja bundar tempat pertemuan sedang berlangsung.
"Sudah dimulai?" tanyanya datar, namun sorot matanya menyimpan ketegangan yang tak bisa diabaikan.
"Sudah," jawab Pangeran Pertama, kini berdiri dari kursinya. "Tapi kami menunggumu."
Ada sesuatu yang menggantung di udara seiring ia melangkah masuk ketidakhadirannya tadi menciptakan keraguan, dan kemunculannya kembali justru menyisakan pertanyaan yang lebih dalam: kemana ia sebenarnya tadi?
...****************...
Shataraya berjalan perlahan memasuki ruangan tempat Arunika duduk bersandar di dipan yang dikelilingi bantal-bantal lembut. Di luar, suara gerimis masih terdengar samar, seolah ikut meredakan kegelisahan yang ada di dalam hati Arunika. Perutnya yang membesar tampak bergerak halus, dan Arunika tersenyum kecil sambil menatapnya.
"Dia menendang lagi?" tanya Shataraya dengan suara hangat, mendekat dan duduk di sisi ranjang.
Arunika mengangguk pelan, "Setiap jam. Seolah dia ingin memastikan aku tahu bahwa dia ada di sini... hidup."
Shataraya tersenyum, tangannya menyentuh lembut lengan Arunika. "Itu pertanda baik. Dan karena itu pula aku ke sini."
Arunika menatapnya, ada rasa cemas yang belum hilang dari matanya.
"Kita sudah mempersiapkan tempat yang aman untukmu melahirkan," ucap Shataraya lembut. "Semua sudah dijaga ketat. Dua minggu lagi, saat waktunya tiba, kita akan membawamu ke sana. Tidak seorang pun akan tahu kecuali kami yang ada di ruangan pertemuan tadi."
Arunika menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk perlahan. "Tempat itu benar-benar aman, kan?"
Shataraya menggenggam tangannya, matanya menatap lurus ke mata Arunika. "Lebih aman daripada tempat manapun di kerajaan ini. Kami takkan membiarkan apa pun terjadi padamu, Aru. Kau bukan hanya istri dari Pangeran Pertama, tapi juga harapan masa depan kita."
Arunika memejamkan mata sejenak. Ia bisa merasakan lagi satu tendangan kecil dari dalam perutnya, kali ini lebih kuat. Ia tersenyum. "Dia sepertinya setuju."
"Kak Tara, maaf ya aku tidak bisa datang ke pernikahanmu dengan Kak Renjana karena memang aku di jaga ketat oleh Pangeran Pertama." ucap Arunika pada Nona Shataraya yang tersenyum hangat, "tidak apa-apa. Aku mengerti keadaanmu."
"Kapan kita akan berangkat kak?"
"Ada apa sebenarnya, apa aku aka mati? biasanya gitu kan ya? Tapi Sang Putri tidak akan mati karena banyak yang melindunginya."
Belum sempat Shataraya menjawab, Pangeran Pertama menyela pembicaraan mereka, "Shataraya boleh kita bicara lagi?"
Nona Shataraya memberikan kode pada Arunika yang mengerti bahwa mereka juga punya urusan.
Dan Arunika kembali larut dalam perasaannya selama berbulan-bulan di sini, ia tak tau kalau keadaan sebenarnya di dunia nyata itu apa ia masih hidup atau dia sudah mati?
...****************...
Di cerita aslinya Putri Arunika melahirkan anak laki-laki putra satu-satunya. Mereka tinggal bersama di istana dan ternyata membangkitkan kegelapan secara perlahan, tetapi ada yang mengkhianati, dan orang itu ada di salah satu keluarga kerajaan. Bahkan Arunika tidak tau siapa dia. Dia yang menyelamatkan keluarga Sandyakala. Dan tak ada yang tau dia mengabdi di pasukan musuh.
Arunika sangat mewaspadai adanya banyak konflik saat anaknya lahir.
Ceritanya juga keren, semangat terus ya. 😉