Menikah dengan orang yang aku cintai, hidup bahagia bersama, sampai akhirnya kami dikaruniai seorang putra tampan. Nyatanya setelah itu justru badai perceraian yang tiba-tiba datang menghantam. Bagaikan sambaran petir di siang hari.
Kehidupanku seketika berubah 180 derajat. Tapi aku harus tetap kuat demi putra kecilku dan juga ibu serta adikku.
Akankah cinta itu kembali datang? Sementara hatiku rasanya sudah mati rasa dan tidak percaya lagi pada yang namanya cinta. Benarkah cinta sejati itu masih ada?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iin Nuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Menikahlah Denganku
Awan POV
Setelah mendapatkan restu dan dukungan dari Hamzah dan Bu Aminah, juga dari Papa, aku semakin mantap dengan niatanku untuk menikahi Mbak Shofi.
Dua minggu yang lalu, ketika Keinan tiba-tiba memintaku untuk menjadi ayah barunya, jujur saja aku memang sempat kaget. Tetapi aku juga merasa seperti mendapat lampu hijau. Aku merasa seperti mendapat kesempatan untuk bisa mewujudkan keinginan bocah kecil itu. Sekaligus juga untuk melindungi Keinan dan bundanya yang sering mendapatkan pandangan buruk, cibiran, bahkan sikap semena-mena dari kebanyakan orang di sekitarnya.
Sempat merasa ragu. Aku pun kemudian melaksanakan sholat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah Subhanahu wata'ala. Dan tepat di hari ketiga aku melaksanakan sholat istikharah, malamnya aku bermimpi sedang melakukan ijab kabul dengan Mbak Shofi. Itulah yang membuatku semakin mantap dan yakin dengan niatanku ini untuk menikah dengan Mbak Shofi.
Dan hari ini, aku berencana untuk memberitahukan tentang niatanku ini kepada Mbak Shofi.
✉️: Assalamu'alaikum. Ini Awan, Mbak.
✉️: Wa'alaikumsalam. Iya Mas Awan, ada apa ya?
✉️: Nanti pulang kerja saya tungguin di depan perusahaan ya, Mbak. Ada yang mau saya bicarain sama Mbak Shofi.
✉️: Eh, ada apa ya, Mas?
✉️: Nanti aja Mbak 😁
✉️: Oh, oke deh kalau gitu.
☘️☘️☘️
Sore harinya, seperti pesan wa yang sudah aku kirim tadi, saat ini aku sedang menunggu Mbak Shofi tidak jauh dari pos satpam di depan perusahaan tempat dia bekerja.
Tidak lama kemudian, aku melihat Mbak Shofi keluar dari area parkir perusahaan dengan mengendarai sepeda motor matic warna hitamnya. Melihat keberadaanku, dia pun kemudian menghentikan sepeda motornya di dekatku.
"Assalamu'alaikum," salamnya setelah mematikan mesin sepeda motornya.
"Wa'alaikumsalam," jawabku.
"Udah nunggu lama ya, Mas?"
"Enggak kok. Baru aja."
"Mmm, maaf sebelumnya, tapi ada apa, ya?"
"Ada sesuatu yang mau aku bicarain sama Mbak. Kita ke taman kota dekat sini aja yuk! Biar lebih enak ngobrolnya."
"Kenapa nggak di rumah saya aja, Mas?" tanyanya sedikit ragu.
Ah, aku paham, mungkin Mbak Shofi tidak ingin membuat orang lain berpikir yang tidak-tidak.
"Nggak enak, Mbak. Sedikit pribadi soalnya," jawabku seraya tersenyum. "Nggak usah khawatir, Mbak. Aku udah bilang ke Hamzah sama Bu Aminah kok kalau aku mau ngajak bicara Mbak sebentar sepulang kerja."
Dapat kulihat Mbak Shofi sedikit terkejut. Tidak ingin berlama-lama disana, aku pun kemudian kembali mengajaknya.
"Yuk Mbak, kita ke taman kota dekat sini aja. Mbak Shofi duluan, biar aku ngikutin dari belakang."
"Oh, i-iya, Mas."
Mbak Shofi kemudian kembali menyalakan sepeda motornya dan melaju lebih dulu. Aku pun kemudian mengikuti di belakangnya.
Sesampainya di taman kota, aku kemudian mengajaknya untuk duduk di sebuah kursi taman yang kosong di sebelah air mancur. Kami duduk bersisian di masing-masing tepi kursi taman tersebut, menjaga jarak tentu saja.
"Mmm, ada apa ya, Mas?" tanyanya, menyuarakan rasa penasarannya sedari tadi.
Aku menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan.
"Bismillah hirrohmaan nirrohiim. Mbak Shofi, menikahlah denganku!" ucapku begitu yakin dan mantap.
Aku melihat tubuh Mbak Shofi menegang dengan kedua mata yang terbelalak karena terkejut.
"Aku serius Mbak. Aku nggak lagi bercanda. Aku juga sudah mendapat persetujuan dari Bu Aminah, Hamzah, bahkan Keinan sendiri. Itu kenapa sekarang aku dengan yakin mengutarakan niatku ini sama Mbak. Aku ingin menikah dengan Mbak Shofi," lanjutku bersungguh-sungguh.
Dapat kulihat air mata yang mulai mengalir membasahi kedua pipi Mbak Shofi.
"Kenapa, Mas? Kenapa Mas mau nikah sama aku?" tanyanya dengan menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya yang berurai air mata.
"Untuk menjalankan perintah dari Allah Subhanahu wata'ala dan menjalankan sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam. Untuk menyempurnakan separuh agamaku. Untuk menghindari perbuatan zina. Dan tentu saja untuk melanjutkan garis keturunanku."
"Selain itu, aku juga ingin memberikan keluarga yang lengkap untuk Keinan. Aku ingin mewujudkan keinginan Keinan untuk memiliki seorang ayah yang baru dan juga mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari seorang ayah," lanjutku lagi.
"Tapi kenapa harus aku, Mas? Aku ini seorang janda yang sudah mempunyai satu orang anak. Bahkan usiaku juga lebih tua dari kamu, Mas," tanyanya dengan melihat ke arahku.
"Memangnya kenapa? Bunda Khadijah juga seorang janda. Usia beliau bahkan lima belas tahun lebih tua dari Baginda Rasulullah. Sementara kita kan hanya lima tahun aja. Nggak masalah kok bagi aku," jawabku dengan tersenyum, berusaha menenangkan kegelisahan hati wanita di depanku ini.
"Aku menyayangi Keinan. Dan jujur, aku juga mulai menyayangi kamu. Jadi aku minta sama kamu, menikahlah denganku. Ijinkan aku untuk menjaga dan melindungi kamu dan juga Keinan, Mbak," lanjutku.
Kudengar Mbak Shofi justru semakin terisak kecil. Aku biarkan dulu dia menangis untuk sementara waktu agar hatinya merasa lega terlebih dahulu. Setelah isakan tangisnya mulai mereda, aku kemudian mengulurkan sebuah sapu tangan kepadanya.
"Ini, Mbak," kataku.
Sedikit ragu-ragu, akhirnya dia bersedia meraih sapu tangan yang aku berikan.
"Makasih, Mas," lirihnya seraya menghapus air matanya.
"Minum dulu, Mbak," kataku lagi dengan menyodorkan satu botol kecil air mineral yang masih tersegel, yang memang sudah aku bawa sebelumnya di dalam saku jaketku.
Mbak Shofi menerima air mineral yang aku berikan kemudian mengucapkan terima kasih lagi. Dia pun kemudian membuka dan meminumnya sedikit.
"Mbak nggak harus jawab sekarang. Aku akan kasih Mbak waktu untuk berpikir. Tapi aku mohon sama Mbak untuk bisa mempertimbangkan masalah ini dengan sebaik-baiknya. Tolong pikirkan Keinan juga Mbak. Aku bersungguh-sungguh dengan niatanku ini untuk menikahi Mbak."
Mbak Shofi masih terdiam dengan menundukkan wajahnya. Aku bisa memahami kalau saat ini dia pasti masih terkejut dengan semua yang sudah aku katakan tadi. Itu kenapa aku tidak memaksanya untuk memberikan jawaban saat ini juga.
"Maaf, Mas. Tapi ini semua benar-benar membuat aku terkejut. Maaf karena aku belum bisa mengambil keputusan untuk saat ini," sesalnya.
"Iya Mbak, nggak pa-pa. Aku paham kok. Udah mulai petang, Mbak. Yuk aku anterin Mbak pulang sekarang!"
"Nggak usah, Mas. Aku bisa pulang sendiri," tolaknya.
"Tolong jangan menolak, Mbak. Aku nggak ada maksud apa-apa kok. Aku cuma mau memastikan Mbak sampai di rumah dengan selamat aja. Soalnya kan tadi aku juga ijin sama ibu Aminah sama Hamzah pas mau ngajak Mbak bicara sepulang kerja. Jadi nggak mungkin dong aku lepas tanggung jawab dan membiarkan Mbak pulang sendiri gitu aja," kataku sedikit bercanda untuk mencairkan suasana.
Mbak Shofi nampak sedikit menyunggingkan senyumnya.
"Ya udah kalau gitu. Mari, Mas!"
"Ladies first," ucapku, mempersilahkan dia lebih dulu.
Sekali lagi aku lihat dia sedikit menyunggingkan senyumnya. Ah, rasanya aku ingin melihat dia terus tersenyum seperti itu.
Kami berdua kemudian beranjak meninggalkan kursi taman tersebut. Mengendarai sepeda motor kami masing-masing, aku pun kemudian mengikuti Mbak Shofi dari belakang. Memastikan dia selamat sampai di rumah tanpa ada halangan apapun.