NovelToon NovelToon
MENIKAHI ANAK BOS ANEH

MENIKAHI ANAK BOS ANEH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:739
Nilai: 5
Nama Author: Tri 2001

Rara, gadis 20 tahun yang polos, kerja di PT. Nganjuk Sejahtera Group. Bosnya, Pak Samingan, super disiplin tapi eksentrik. Suatu hari, Rara terpaksa tinggal di rumah bos untuk mengurus anak tunggalnya - Arifbol - cowok tampan tapi bertingkah seperti anak kecil karena kondisi epilepsi yang dideritanya. Meski begitu, Arifbol ternyata punya sisi religius, perhatian, dan secara tak terduga... bikin Rara jatuh cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri 2001, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malaikat dengan Logat Nganjuk

Hari itu mendung sejak pagi.

Aku udah duduk di ruang tamu rumah Pak Samingan, nunggu instruksi kerja dari Bu Wiji.

Udara dingin banget, sampe aku tiup-tiup tangan sendiri biar gak beku.

Tiba-tiba, Bu Wiji keluar dari dapur sambil bawa nampan isi wedang jahe.

“Raraaa, sini tak buatin wedang jahe. Katanya tadi waktu datang dari rumah udah gerimis to?”

Aku senyum lebar. “Iya, Bu. Wah, aromanya enak banget.”

Bu Wiji duduk di sebelahku, kasih gelas hangat.

“Minum to, biar gak masuk angin. Kerja di rumah saya ini harus kuat, soale Mas Arifbol kalau udah mulai aktif, kadang bisa bikin rumah kayak pasar malam.”

Aku ketawa. “Iya, Bu. Tapi Mas Arifbol lucu sih, saya malah gak ngerasa capek.”

Bu Wiji nyengir, tapi matanya sayu.

“Lucu iya, tapi kadang hati saya sedih juga, Ra. Lihat dia ketawa, tapi tau kalau itu hasil latihan panjang.”

Aku terdiam. “Latihan, Bu?”

“Iya. Waktu kecil, dia sempat murung berbulan-bulan. Bapakmu itu yang nyaranin saya bawa ke ustadz buat terapi baca Qur’an. Sejak itu, tiap subuh sama maghrib dia ngaji terus. Katanya, ‘Biar otakku gak sendirian, Bu.’”

Aku nahan napas.

Kata-kata Arifbol waktu itu keingat lagi: “Biar Allah tahu aku berusaha.”

Beberapa menit kemudian, dari arah kamar, terdengar suara rame.

“BUUU! MBAAAK RARAAA!”

Suara Arifbol.

Bu Wiji langsung berdiri. “Nah, itu bocah udah bangun. Kamu temenin aja ya, Ra. Ibu mau siapin makan siang.”

“Iya, Bu.”

Aku melangkah ke kamar Arifbol.

Pas aku buka pintu, dia lagi berdiri di depan jendela, pake sarung, sambil nyanyi kecil.

“Hei, Mbak Rara! Tadi aku mimpi ketemu Nabi Yusuf, tapi wajahnya malah kayak artis sinetron!”

Aku ngakak keras. “Mas, tobat, tobat! Itu bukan Nabi Yusuf, itu sinetron jam tujuh!”

Dia ketawa polos, terus duduk di kursi, ngelihat aku dengan wajah cerah.

“Tapi mimpi itu bikin aku seneng. Berarti aku orang baik, ya?”

Aku senyum. “Iya, Mas. Orang baik banget malah.”

Kami mulai beres-beres barang kecil di kamar.

Tiba-tiba Arifbol terdiam, napasnya berat.

Aku pikir dia lagi bercanda, tapi tangannya mulai gemetar.

“Mas...?”

Gak ada jawaban.

Matanya menatap kosong. Tubuhnya tiba-tiba kaku, terus jatuh perlahan ke lantai.

Panikku langsung melonjak. “Mas Arifbol?! Ya Allah!”

Aku jongkok cepet-cepet, nyangga kepalanya pake bantal, sambil panggil, “BU WIJIIIII!”

Teriakanku kayak nembus tembok.

Bu Wiji datang lari, wajahnya langsung pucat.

“Cepet ambilin obat di meja, Ra! Yang warna biru!”

Aku nyari dengan tangan gemetar, nemu obat itu, kasih ke Bu Wiji.

Bu Wiji langsung ngatur posisi Arifbol dengan tenang tapi matanya berair.

“Ndang, Nak... pelan-pelan. Ibu di sini.”

Aku cuma bisa duduk di samping, nangis kecil, sambil liatin tubuh Arifbol yang pelan-pelan mulai tenang.

Setelah beberapa menit, dia akhirnya tidur tenang.

Bu Wiji ngusap keningnya. “Udah lewat... alhamdulillah.”

Aku masih shock. “Bu... sering kayak gini?”

“Sebulan sekali. Kadang bisa dua kali kalau dia kecapekan.”

Aku nunduk, air mataku netes. “Saya kira dia cuma anak lucu... ternyata sekuat itu ya, Bu.”

Bu Wiji senyum lemah. “Iya, Ra. Tapi jangan kasihanin dia. Dia gak mau dikasihani, katanya. Katanya, ‘Aku pengen orang liat aku karena aku lucu, bukan karena aku sakit.’”

Kalimat itu nusuk banget.

Aku pelan-pelan elus tangan Arifbol yang masih dingin.

Dalam hati aku janji: Aku bakal liat kamu bukan karena penyakitmu, tapi karena kamu emang pantas disayang.

Sore itu, hujan turun deras.

Aku duduk di teras bareng Bu Wiji.

Dia bilang pelan, “Rara, kamu tadi sigap banget. Terima kasih ya. Jarang orang baru bisa tenang kayak kamu.”

Aku senyum malu. “Saya gak tenang, Bu. Dalam hati udah kayak pasar Nganjuk.”

Bu Wiji ketawa kecil. “Tapi kamu gak kabur, itu aja udah luar biasa.”

Dari dalam rumah, tiba-tiba suara Arifbol kedengeran, lemah tapi tetap ceria:

“Mbak Raraaa... tadi aku mimpi diselametin malaikat, tapi suaranya mirip kamu!”

Aku ngakak campur haru. “Lha iya, Mas, itu mungkin aku yang panik tadi!”

Bu Wiji cuma geleng-geleng. “Itu anak, meski kejang baru selesai, masih sempet becanda.”

Aku pandangin hujan, lalu pandangin wajah Bu Wiji.

“Bu, saya janji bakal jagain Mas Arifbol sebaik yang saya bisa.”

Bu Wiji menatapku lama, lalu senyum.

“Kalau begitu, kamu bukan cuma karyawan lagi, Rara. Kamu udah kayak keluarga.”

Magrib udah lewat. Suara adzan Isya' mulai terdengar dari mushola kecil di pojok rumah.

Aku duduk di ruang tamu sambil melipat kain lap, masih agak gugup mikirin kejadian tadi siang.

Tiap kali aku inget tubuh Arifbol yang kejang di pelukanku, jantungku kayak ditabok halus.

Bukan takut, tapi... kasian campur sayang.

Lho, kok sayang?

Astaghfirullah. Jangan-jangan efek wedang jahe tadi pagi, nih.

“Assalamualaikum…”

Suara pelan dari arah kamar.

Aku nengok. Arifbol berdiri di ambang pintu, pakai sarung biru, wajahnya pucat tapi senyumnya lebar kayak biasa.

“Waalaikumsalam, Mas! Gimana kabarnya? Udah mendingan?”

Dia garuk-garuk kepala. “Iya, Mbak. Tadi aku mimpi aneh.”

Aku nyengir. “Lha, mimpi apa lagi? Jangan-jangan ketemu dinosaurus pake sarung?”

Dia ketawa kecil. “Bukan. Aku mimpi diselametin malaikat, tapi suaranya kayak Mbak Rara. Logatnya juga khas Nganjuk, lho!”

Aku ngakak sampe hampir jatuhin lap.

“Mas, malaikat aja kalau mampir ke Nganjuk ya otomatis ikut logat sini! Wong surganya aja mungkin deket Mojorejo!”

Arifbol ikutan ketawa, tapi pelan, takut capek lagi.

“Aku seneng banget, Mbak. Waktu mimpi itu, malaikat bilang gini, ‘Nggih, ojo nglokro, sing semangat, yo Le!’”

Aku pura-pura sok serius. “Itu bukan malaikat, Mas. Itu pasti suara Bu Wiji!”

Dia cengar-cengir. “Mungkin... tapi wajahnya kayak kamu.”

Aku cuma bisa diam, dada hangat.

Suasana mendadak jadi hening.

Hujan di luar makin deras, suara rintiknya kayak irama pelan di sela percakapan kami.

Arifbol duduk pelan di kursi, liat aku lama banget.

“Mbak Rara…”

“Ya, Mas?”

“Kalau nanti aku kejang lagi, kamu jangan panik ya?”

Aku menatapnya serius. “Saya gak akan panik, Mas. Tapi Mas juga jangan sok kuat. Kalau capek, bilang aja.”

Dia senyum lembut. “Soalnya waktu tadi aku kejang, aku denger kamu nangis. Aku pengen ngomong, tapi gak bisa.”

Aku kaget. “Mas masih sempet mikirin saya waktu itu?”

Dia angguk pelan. “Aku selalu inget siapa aja yang sayang aku.”

Duh, kalimat itu nyentuh banget.

Aku langsung pura-pura ngelap meja, biar gak keliatan mataku berkaca-kaca.

“Mas, jangan ngomong gitu terus, nanti saya nangis beneran.”

“Lho, kalau nangis, nanti malaikat Nganjuk dateng lagi!”

Aku ngakak lagi, campur haru. “Mas, tenan… kalau ngomong kayak gitu terus, saya gak tau ini lucu atau bikin nyesek.”

“Berarti dua-duanya, Mbak.”

Beberapa menit kemudian, Bu Wiji datang bawa nampan isi nasi jagung dan tempe goreng.

“Lho, kalian malah ngobrol manis-manisan. Nih, makan dulu to.”

Aku langsung berdiri. “Saya ambilin piring, Bu.”

Tapi Arifbol cepat-cepat nyeletuk, “Tak bantu Mbak Rara aja!”

Bu Wiji cengar-cengir. “Lha, kamu kan baru sadar, Le. Udah pengin kerja bareng?”

“Iya, Bu. Aku takut kalau ditinggal Mbak Rara.”

Bu Wiji dan aku langsung saling pandang.

Ibu cuma senyum kecil.

“Wes, tak tinggal dulu ya. Kalian makan berdua, tapi jangan rebutan tempenya.”

“Siap, Bu,” jawab kami hampir barengan.

Malam itu kami makan berdua di ruang tamu.

Arifbol nyuapin nasi jagung ke mulutnya pelan-pelan, sambil ngomel sendiri, “Mbak Rara, ini enak banget. Tapi kok lebih enak kalau kamu yang masak ya?”

Aku ketawa. “Mas, saya cuma bantu potong bawang doang.”

“Berarti bawangnya yang bikin cinta, ya?”

Aku hampir keselek tempe. “Mas, tobat, tobat! Ini ngomongin bawang, bukan perasaan!”

Dia malah ngakak keras, sampe aku ikutan ketawa guling-guling di kursi.

Tapi di tengah tawa itu, aku sadar satu hal kecil:

di rumah besar yang tadinya cuma tempat kerja, aku mulai ngerasa kayak di rumah sendiri.

Dan entah kenapa, setiap Arifbol ketawa, rasanya kayak doa Bu Wiji — dan mungkin juga doa Arifbol kecil dulu — pelan-pelan terkabul satu per satu.

Malam makin larut.

Sebelum pamit, aku liat Arifbol duduk di ruang tengah, baca Qur’an pelan, suaranya bening banget di sela hujan.

Aku berdiri di ambang pintu, ngelihat dari jauh, dan tersenyum.

Dalam hati aku bilang pelan,

“Mungkin, Mas Arifbol, malaikat itu gak salah pilih suara. Karena aku juga bakal jagain kamu... dengan logat Nganjuk yang sama.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!