Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH ENAM : KESEMPATAN EMAS
Gita terdiam sejenak, sebelum menyunggingkan senyum kecil. “Dia tidak datang ke warung, kan?” tanyanya.
Ratih menggeleng. “Hanya Mas Arun yang datang. Sepertinya, yang lain tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi pada Mas Maman.”
“Jangan berharap lebih pada siapa pun, Kita bukan pusat tata surya,” ujar Gita, menanggapi tenang. “Tunggu sebentar di sini. Aku belum sarapan.”
“Kamu punya uang, Git?”
Gita mengangguk. “Ada,” jawabnya, kemudian berlalu meninggalkan Ratih.
Di saku celana kulot yang Gita kenakan hanya ada selembar uang Rp20.000, yang merupakan pemberian Mandala semalam. Berhubung tidak membawa dompet, dia terpaksa memakainya untuk membeli makanan.
Ketika akan kembali ke ruang perawatan Mandala, ada telepon masuk yang berasal dari Wira. Awalnya, Gita ragu menjawab panggilan itu. Namun, berhubung Wira terus menghubungi, dia terpaksa menerima.
“Ke mana saja kamu? Kenapa tidak menjawab panggilan telepon dari saya?” tanya Wira tanpa basa-basi.
“Maaf, Mas. Ponselku tertinggal di warung nasi. Jadi ___”
“Memangnya, kamu di mana sekarang?”
“Rumah sakit.”
“Kenapa kamu ada di rumah sakit?” tanya Wira khawatir. “Apa yang terjadi?” Dia memberondong Gita dengan pertanyaan.
“Aku tidak apa-apa. Mas Maman ….” Gita terdiam. Hati dan pikirannya dilanda rasa bimbang untuk menjelaskan.
“Saya akan ke sana. Katakan. Kamu ada di rumah sakit mana.”
“Tidak usah, Mas. Lagi pula, aku ___”
“Saya akan ke sana, Gita,” sela Wira cukup tegas, seakan tak menerima penolakan.
Gita hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia tak tahu kenapa Wira bersikap seperti itu. Mendapat perhatian yang terlalu berlebihan, justru membuatnya sedikit tidak nyaman.
Hanya berselang sekitar 20 menit, Wira sudah tiba di rumah sakit tempat Mandala dirawat. Dia tak kesulitan menemukan Gita, berhubung gadis itu menunggunya di pintu masuk utama.
“Apa yang terjadi?” tanya Wira, setelah berhadapan langsung dengan Gita. Diperhatikannya gadis itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Wira pastikan tak ada luka atau semacamnya di tubuh Gita.
“Bukan aku, Mas,” ujar Gita.
“Lalu?”
“Mas Maman. Dia ditikam Pak Rais semalam,” terang Gita.
“Rais?” Wira menautkan alis. “Kenapa Rais sampai melakukan itu?”
“Dia marah karena Mas Maman membelaku.”
“Membelamu darinya?”
Gita mengangguk. “Mas Maman mengetahui Pak Rais sudah melakukan tindakan kekerasan fisik padaku. Jadi, dia ___”
“Apakah bibirmu ….”
Gita kembali mengangguk.
“Astaga. Kurang ajar!” geram Wira, seraya mengepalkan tangan. “Seharusnya, kamu mengatakan itu kemarin. Kenapa tidak menceritakan yang sebenarnya dan justru memilih diam?”
“Ini bukan sesuatu yang aneh, Mas. Sudahlah. Aku hanya merasa bertanggung jawab untuk merawat Mas Maman sekarang. Dia terluka sampai masuk rumah sakit gara-gara aku.”
Wira mengembuskan napas berat dan dalam, demi menetralkan amarah yang sempat hadir. “Di mana dia sekarang?”
“Ada di ruang perawatan. Tapi, kurasa bukan ide bagus jika Mas Wira menjenguknya.”
“Kenapa? Apakah dia mengatakan sesuatu?” selidik Wira.
Gita terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Mas Maman tidak banyak bicara tentang apa pun.”
“Baiklah. Saya sarankan kamu menjaga jarak dari pria itu. Kamu belum mengetahui siapa dia yang sebenarnya,” ujar Wira tenang, tapi terdengar sangat serius.
Gita hanya menanggapi dengan senyum tipis. Entah ada permasalahan apa di antara kedua pria itu karena Mandala juga mengatakan hal yang sama tentang Wira
“Aku ingin menanyakan sesuatu.” Gita menatap cukup serius.
“Apa?”
“Apakah Mas Wira dan Mas Maman saling mengenal?”
“Tidak juga.” Wira menggeleng cukup yakin. “Memangnya kenapa?”
“Rasanya aneh karena Mas Wira menyuruhku menjaga jarak dari Mas Maman.”
“Kamu belum terlalu mengenalnya,” kilah Wira.
“Aku juga belum terlalu mengenal Mas Wira. Jadi, apa bedanya?”
“Saya membuka kesempatan yang sangat besar padamu. Apakah dia melakukan hal yang sama?"
“Dia terluka demi membelaku,” balas Gita enteng, tapi berhasil membuat Wira langsung terdiam.
Wira tak menyangka Gita akan berkata demikian. Itu dianggap sebagai tantangan bagi dirinya. Jika Mandala bisa melakukan sesuatu yang dianggap sebagai aksi heroik oleh Gita, maka dia juga harus memperlihatkan keseriusan yang lebih dalam.
Setelah dari rumah sakit, Wira memutuskan menuju kantor polisi, berhubung Gita memberitahunya tentang keberadaan Rais.
“Apa yang terjadi sebenarnya?” tanya Wira, ketika sudah berhadapan langsung dengan Rais.
“Apa yang ingin Anda ketahui?” Bukannya menjelaskan, Rais justru balik bertanya dengan nada yang kurang bersahabat. “Saya tidak tahan berada di sini,” keluhnya jengkel.
“Kenapa sampai ada insiden penusukan? Jika kamu ada di sini, lalu siapa yang akan bertanggung jawab di proyek?”
“Jangan menyalahkan saya, Pak. Semua ini karena si brengsek gondrong sialan itu" umpat Rais teramat kesal. “Lihat apa yang bajingan itu lakukan.” Dia menunjuk wajah sendiri yang babak belur.
Bukannya iba, Wira justru tersenyum samar. “Apa yang kamu lakukan terhadap Gita? Kamu juga telah melakukan kekerasan fisik pada seorang wanita.”
“Saya melakukan itu hanya untuk memberi efek jera!” ucap Rais penuh penekanan.
“Terhadap Gita?”
“Ya.”
Wira terdiam. Tatapannya lurus tertuju kepada Rais. Dia sadar betul tengah berhadapan dengan siapa. Pria kurus itu bisa melakukan apa saja. Buktinya, Rais berani menikam Mandala.
“Saya ingin keluar dari sini,” ucap Rais, memecah kebisuan yang sempat berlangsung selama beberapa saat.
“Kamu pantas berada di sini. Melakukan kekerasan fisik, menjadi mucikari terselubung, lalu menikam seseorang sampai menimbulkan luka. Entah kasus mana yang akan membuatmu mendekam di penjara,” ujar Wira, menanggapi tenang ketidaknyamanan Rais.
“Jangan main-main, Pak Wira! Saya bisa melakukan sesuatu yang tidak pernah Anda duga!” gertak Rais.
“Kita lihat saja. Apa yang bisa kamu lakukan dari balik jeruji besi?” balas Wira tenang, seraya berdiri. “Ini merupakan kesempatan emas. Gita bisa sepenuhnya terbebas dari cengkeraman pria jahat sepertimu. Dan saya tidak akan melewatkannya.”
Setelah berkata demikian, Wira langsung pergi dari hadapan Rais. Sebagai seseorang yang memiliki uang dan kekuasaan, tak akan sulit baginya untuk mengendalikan keadaan. Ya, Wira tahu apa yang harus dilakukan sekarang.
......................
“Mas Arun pasti sangat merindukan Mas Maman,” ucap Gita, diiringi senyum lembut.
“Tidak ada hubungan istimewa di antara kami,” ujar Mandala, seraya beranjak dari ranjang. Hari ini, dia sudah diperbolehkan pulang.
Gita terkikik pelan. Berhubung tidak membawa banyak barang, mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk berkemas.
“Sudah siap kembali ke arena berdebu? Tapi, Mas Maman dilarang melakukan aktivitas fisik yang terlalu berat, demi menghindari risiko cedera susulan.”
“Aku tahu. Dan aku akan puasa.”
Gita kembali terkikik pelan. “Baiklah. Ayo,” ajaknya.
Mereka keluar dari ruang perawatan dan langsung menuju meja administrasi.
“Atas nama Bapak Mandala Buana. Seluruh biaya pengobatan sudah dilunasi oleh Bapak Wira Zaki Ismawan.”
woy kalian berdua tuh ada apa sebenernya
Gita kan Lom tahu sipat asli kalian berdua