NovelToon NovelToon
Silent Crack

Silent Crack

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romantis
Popularitas:455
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap

Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.

Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.

Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

13_Bekas yang sama.

Malam turun perlahan, membawa keheningan yang terasa lebih berat dari biasanya.

Lauren berdiri di ruang cuci, menyalakan lampu kecil di sudut ruangan. Keranjang pakaian sudah setengah kosong ketika ia mulai memindahkan satu per satu ke dalam mesin cuci. Gerakannya tenang, teratur—seperti seseorang yang mencoba menenangkan pikirannya dengan rutinitas.

Kaos rumah.

Celana santai.

Handuk.

Tangannya kemudian meraih kemeja kerja Arga—yang tadi dipakainya saat pulang lebih awal.

Gerakan Lauren terhenti.

Ungu kemerahan itu terlihat jelas di kerah bagian dalam. Tidak samar. Tidak bisa disangkal. Bekas lipstik yang sama—sekali lagi—seperti jejak yang sengaja ditinggalkan untuk ditemukan.

Lauren tidak langsung bereaksi. Ia hanya memandangi noda itu beberapa detik, terlalu lama untuk disebut wajar.

Lalu, tanpa tahu kenapa, ia mengangkat kemeja itu ke dekat wajahnya.

Aroma asing menyusup ke inderanya.

Bukan parfum Arga.

Wangi itu lembut, manis, terlalu feminin—menempel di kain seperti rahasia yang tidak berusaha disembunyikan. Lauren memejamkan mata, menarik napas panjang, membiarkan dadanya naik turun sekali.

Tidak ada air mata.

Tidak ada gemetar.

Hanya kelelahan yang merambat pelan, mengendap di tulang.

“Begitu rupanya,” gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri.

Ia melipat kemeja itu rapi, lalu memasukkannya ke dalam mesin cuci. Tombol diputar. Mesin berdengung pelan, memulai siklusnya, seolah menelan bukti tanpa bertanya apa-apa.

Lauren berdiri beberapa detik di sana, menatap pintu mesin yang berputar. Bekas lipstik itu perlahan menghilang di balik air dan deterjen.

Namun baunya—

rasanya—

tidak.

Ia mematikan lampu ruang cuci dan berjalan ke dapur.

Dari lantai atas, terdengar suara air mengalir. Arga sedang mandi. Suara itu konstan, berulang, seperti denyut jam—mengingatkannya bahwa mereka masih berada di rumah yang sama, di ruang yang sama, meski jarak di antara mereka terasa semakin jauh.

Lauren mengikat rambutnya, mengambil talenan dan pisau. Ia mulai memotong bawang, cabai, bawang putih. Matanya perih, tapi ia tidak berhenti. Tangannya bekerja otomatis, terlatih oleh tahun-tahun yang sama.

Pisau naik-turun.

Wajan dipanaskan.

Minyak dituangkan.

Aroma masakan perlahan memenuhi dapur, menutupi sisa wangi asing yang masih melekat di hidungnya. Lauren mengaduk masakan dengan sendok kayu, mendengarkan suara desis yang menenangkan.

Masak. Sajikan. Tersenyum.

Itulah perannya.

Atau setidaknya, dulu.

Suara air di lantai atas berhenti. Lauren tahu Arga akan turun sebentar lagi. Ia menata piring di meja, memastikan semuanya terlihat rapi—bukan untuk Arga, melainkan untuk dirinya sendiri. Ia butuh keteraturan agar tidak runtuh.

Saat ia mematikan kompor, Lauren menyadari sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak.

Ia tidak lagi merasa ingin bertanya.

Tidak ada dorongan untuk menuntut penjelasan. Tidak ada kemarahan yang mendidih. Yang tersisa hanyalah jarak—tenang, dingin, dan jelas.

Lauren menghela napas panjang, kali ini lebih stabil.

Di dalam kepalanya, sebuah kesimpulan terbentuk—bukan keputusan besar, bukan janji—hanya pengakuan kecil yang jujur:

Jika aku terus diam, bukan karena aku tidak tahu.

Melainkan karena aku sedang mengumpulkan diriku sendiri.

Langkah kaki Arga terdengar menuruni tangga.

Lauren mengangkat wajahnya, menenangkan ekspresinya, lalu kembali mengaduk masakan. Sendok kayu bergerak pelan, mantap.

Malam itu, Lauren tetap memasak.

Namun sesuatu di dalam dirinya—

yang selama ini bertahan karena kebiasaan.

Meja makan terisi dua piring yang tertata rapi. Nasi masih mengepul tipis, uapnya naik lalu menghilang di udara, seperti sesuatu yang ingin diucapkan tetapi urung. Lauren menarik kursi dan duduk lebih dulu, menunggu. Ia menautkan jemarinya di atas pangkuan, punggungnya tegak—sikap yang telah lama ia pelajari untuk menyembunyikan kelelahan.

Arga turun dari tangga dengan kaus rumah dan rambut yang masih sedikit basah. Ia melirik meja, lalu Lauren, kemudian duduk berhadapan tanpa banyak suara. Kursi bergeser pelan. Sendok menyentuh piring. Tidak ada sapa, tidak ada basa-basi.

Lauren menyendok nasi, mengunyah perlahan. Rasanya sama seperti biasanya—cukup asin, cukup hangat—namun entah kenapa terasa hambar. Ia menyadari betapa keras bunyi sendok Arga saat mengenai piring, betapa jelas setiap tarikan napas di ruangan itu. Keheningan membuat segalanya terdengar berlebihan.

“Kantor?” tanya Lauren akhirnya, suaranya datar, seperti menanyakan cuaca.

“Lumayan,” jawab Arga singkat, tanpa menatapnya.

Lauren mengangguk kecil. Ia tidak menanyakan lebih jauh. Tidak ada lagi pertanyaan lanjutan yang menunggu jawaban setengah. Mereka kembali makan, dua orang yang duduk berhadapan namun terpisah oleh jarak yang tak terlihat.

Ia melirik kerah kaus Arga—bersih, wangi sabun mandi. Tidak ada jejak. Seolah apa yang ia temukan di ruang cuci hanyalah bayangan. Namun dadanya tahu itu nyata. Keheningan di meja ini tahu itu nyata.

Lauren mencoba mengalihkan pikirannya pada hal-hal kecil: tekstur nasi, bunyi jam dinding yang berdetak pelan, cahaya lampu yang memantul di permukaan meja. Ia menahan diri untuk tidak menatap Arga terlalu lama, takut menemukan sesuatu yang tidak ingin ia lihat—atau justru tidak menemukan apa pun.

“Masakannya enak,” kata Arga tiba-tiba.

“Terima kasih,” jawab Lauren cepat. Senyum kecil terbit dan menghilang, refleks lama yang tak lagi memerlukan perasaan.

Arga menghabiskan makanannya lebih dulu. Ia meneguk air, berdiri, lalu membawa piringnya ke wastafel. Lauren mengikuti beberapa detik kemudian, mengumpulkan piring dengan gerakan rapi. Mereka berdiri berdampingan sebentar di dapur—cukup dekat untuk saling bersentuhan, cukup jauh untuk tidak melakukannya.

Air mengalir. Piring dicuci. Bunyi gesekan spons dan keramik mengisi ruang yang kosong dari percakapan. Lauren menyadari betapa terlatihnya mereka menjalani rutinitas tanpa perlu kata.

Arga mengeringkan tangannya, lalu berkata, “Aku mau istirahat.”

“Iya,” jawab Lauren.

Ia menunggu sampai langkah kaki Arga menjauh. Barulah ia mematikan keran, menaruh piring terakhir di rak. Dapur kembali sunyi. Lauren berdiri beberapa detik, menatap pantulan dirinya di kaca lemari—wajah yang tenang, mata yang menyimpan terlalu banyak hal.

Makan malam itu selesai tanpa pertengkaran. Tanpa pengakuan. Tanpa keputusan.

Namun justru karena itulah, Lauren tahu: keheningan ini bukan damai. Ini jeda. Dan di dalam jeda itu, sesuatu sedang bergerak—pelan, pasti—menuju titik yang tak bisa lagi dihindari.

1
Mao Sama
Apa aku yang nggak terbiasa baca deskripsi panjang ya?🤭. Bagus ini. Cuman—pembaca novel aksi macam aku nggak bisa terlalu menghayati keindahan diksimu.

Anyway, semangat Kak.👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!