Raska adalah siswa paling tampan sekaligus pangeran sekolah yang disukai banyak gadis. Tapi bagi Elvara, gadis gendut yang cuek dan hanya fokus belajar, Raska bukan siapa-siapa. Justru karena sikap Elvara itu, teman-teman Raska meledek bahwa “gelar pangeran sekolah” miliknya tidak berarti apa-apa jika masih ada satu siswi yang tidak mengaguminya. Raska terjebak taruhan: ia harus membuat Elvara jatuh hati.
Awalnya semua terasa hanya permainan, sampai perhatian Raska pada Elvara berubah menjadi nyata. Saat Elvara diledek sebagai “putri kodok”, Raska berdiri membelanya.
Namun di malam kelulusan, sebuah insiden yang dipicu adik tiri Raska mengubah segalanya. Raska dan Elvara kehilangan kendali, dan hubungan itu meninggalkan luka yang tidak pernah mereka inginkan.
Bagaimana hubungan mereka setelah malam itu?
Yuk, ikuti ceritanya! Happy reading! 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Kecuali Suka
Lorong sekolah ramai, suara siswa bersahut-sahutan. Bella melangkah cepat, wajah tegang, sampai akhirnya melihat Raska berjalan bersama trio komentator.
“Raska!” serunya.
Langkah Raska terhenti. Ia menoleh perlahan, ekspresi datar, bahkan sedikit malas.
Vicky, Gayus, dan Asep otomatis berhenti di belakangnya seperti bodyguard unlicensed.
“Ada apa?” tanya Raska singkat.
Bella mendekat, napas naik turun. “Gosip itu… bener?”
Trio komentator langsung fokus 200%.
Vicky melipat tangan di dada.
Gayus memegang bungkus kacangnya erat-erat.
Asep menahan napas seperti mau menyaksikan meteor jatuh.
“Gosip yang mana?” Raska tetap tenang.
Bella hampir meledak. “JANGAN pura-pura bego! Lo, beli pembalut. Buat Gasekil.”
DEG.
Asep langsung nyeletuk lirih, tapi tetap kedengaran:
“Lah… kenapa dia ngamuk? Raska beli juga pake duitnya sendiri. Bukan paylater apalagi gadai hati ke dia.”
Vicky geleng-geleng, cekikikan.
“Ya Tuhan… dia beneran ngira dirinya tunangan Raska.”
Gayus mengangguk bijak sambil mengunyah.
“Cinta itu… tidak memandang botol minuman dingin yang dia genggam dengan emosi.”
Bella mendengus. “DIAM kalian!”
Raska menghela napas, menatap Bella lagi.
“Apa masalahnya kalau gue beli?”
Bella melotot. “Masalahnya?! Itu memalukan! Dan lo cuma laki—”
“Dia butuh bantuan.”
Ucapan itu jatuh datar, tapi tegas.
Bella terdiam sejenak. “Ras... Cowok nggak bakal beli pembalut kecuali… kecuali….”
“Kecuali apa?”
Nada Raska tetap tenang, tapi keras.
Asep memegang kepala sambil loncat-loncat kecil.
“Ya Allah Raska, masa lo nggak ngeh sih… ini tuh… ini tuh—”
Vicky langsung motong, menunjuk Raska pakai dua jari kaya presenter gosip.
“BRO. Tolong, deh. Cowok normal tuh cuma beli mie, es teh, atau pulsa. BUKAN pembalut. Itu udah level… jatuh hati yang denial.”
Gayus mengangguk pelan, sok bijak sampai merem sedikit.
“Secara teori… tindakan Raska menggambarkan keterikatan emosional. Beli pembalut, ngambil tas, pinjemin jaket, dan bukain pintu taksi, ngebantu tanpa diminta. Itu sinyal biologis. Simpati berubah empati, empati berubah cinta.”
Asep langsung nyamber penuh semangat.
“Paket komplit romansa, Bro! Pembalut! Tas! Jaket! Taksi! Ini mah tinggal nikah, tinggal KUA doang! Astaga Raska… ROMANTIS BANGET, BEGO!”
“ASEP!!! DIAM!!!”
Bella hampir melemparnya pakai botol.
Asep langsung nutup mulut, tapi matanya berbinar.
Bella menatap Raska tajam, nyaris gemetar.
“Kenapa dia? Kenapa bukan gue? Kenapa bukan orang lain?!”
Raska menatapnya datar. Lurus. Tanpa basa-basi. Tanpa drama.
“Karena cuma dia yang mau gue tolong.”
PRAAAAAANG—
Trio komentator secara harfiah limbung sampai menabrak bangku di lorong saking hebohnya.
Asep teriak, “WOOOOY BARUDAK!!! KENA! KENA JUGA DIA!!!”
Vicky tepuk jidat.
“Bro… ini deklarasi perasaan terselubung! Pangeran sekolah akhirnya turun kasta karena cinta!”
Gayus menatap langit-langit.
“Sejarah baru tertulis hari ini.”
Bella membeku. Mati langkah. Hatinya jatuh tanpa suara.
Sementara Raska…
Sudah jalan pergi, setenang orang habis beli es krim padahal barusan bikin satu sekolah gempa.
Di ujung lorong, beberapa siswa yang melihat adegan tadi masih terpaku.
Bisik-bisik langsung menyebar.
“Raska… suka sama Gasekil?”
“Nolak Bella yang secantik model demi karung beras?”
“Mata Raska udah rusak kali—”
“Jangan-jangan kena pelet! Serius, itu pasti pelet.”
Desas-desus makin liar.
Sementara itu Bella berdiri mematung, tangan mencengkeram botol plastik sampai gepeng tak berbentuk. Wajahnya memanas antara malu, marah, dan tidak percaya.
“Gak mungkin…” bibirnya bergetar.
“Itu gak mungkin. Dia gak pernah peduli sama satu cewek pun. Kenapa... kenapa sama karung beras itu?”
Ada nada putus asa di ujung suaranya.
“Pasti ada sesuatu. Pasti.”
Ia berbalik cepat, langkahnya terdengar menghentak, tapi suaranya nyaris tenggelam oleh bisik-bisik yang makin gila di belakangnya.
Berbeda dengan kekacauan yang ditinggalkannya, Raska justru berjalan tenang.
Setidaknya… dari luar.
Dari dalam?
Badai.
"Gue kenapa?
Gue gak pernah punya perasaan sama cewek mana pun. Gak pernah.
Terus… kenapa sama dia?"
Ia menarik napas, mencoba menata pikirannya.
"Dia cuma menarik karena cuek. Gak jaim. Real. Itu aja.
Gue cuma kagum. Iya. Cuma kagum."
Namun langkahnya melambat.
Satu kalimat berputar-putar lancang di kepalanya.
"…tapi kenapa gue senang banget cuma karena lihat pipinya merona?"
Raska menegang.
"Ini gak masuk akal."
Ia menatap pantulan dirinya di jendela lorong yang dilewati.
Wajahnya tetap dingin. Tapi matanya… tidak.
"Apa gue… beneran—"
Ia menghentikan langkah, menutup mata sejenak.
"—mulai suka sama dia?"
***
Di sisi lain sekolah, Roy bersandar pada dinding sambil menatap halaman, bibirnya terangkat sinis begitu Bian selesai melapor.
“Hmph. Gua nggak nyangka Raska bisa separah itu,” gumamnya sambil geleng-geleng kecil. “Beli pembalut, nungguin di depan toilet, ngambil tas… totalitas banget.”
Bian menyilangkan tangan. “Menurut lo… Gasekil bakal baper? Atau malah jatuh ke pelukan pangeran sekolah?”
Roy tertawa pelan. Pendek, pahit, seolah sudah tahu akhir ceritanya.
“Elvara itu cewek cerdas. Cara berpikirnya lurus dan logis. Dia bakal ngerasa semua ini aneh. Dan dia udah tau Raska saingan nilainya. Lo kira dia nggak curiga?”
Bian mengangguk. “Tampilan Elvara… bukan tipe yang biasanya Raska lirik. Apalagi dibanding Bella.”
Roy mengedikkan bahu. “Itulah poinnya. Di sekolah ini, semua orang tahu standar Raska. Cewek cantik ngantri buat dia. Dan tiba-tiba dia ngincer Elvara?”
Roy tersenyum kecil. “Orang pasti nganggep dia cuma main-main.”
Bian menyeringai. “Dan kalau Gasekil sadar itu… dia bakal benci Raska.”
Roy menepuk bahu Bian sambil berjalan pergi, suaranya tenang tapi menusuk.
“Dan saat itu terjadi… harga diri Raska jatuh. Taruhan kita makin seru.”
***
Makan malam di kediaman Wijanata berlangsung hening.
Hanya denting sendok-garpu yang saling beradu di meja panjang itu. Nata duduk di ujung, tegap dan kaku. Roy dan Lisa berada di kanan–kiri, berhadapan tanpa bicara.
Setelah piring-piring hampir kosong, Roy akhirnya membuka suara.
“Pa.” Roy meletakkan sendoknya, berusaha terdengar santai. “Sebentar lagi aku lulus SMA. Teman-teman sudah mulai ikut turun ke perusahaan keluarga masing-masing. Aku kepikiran, boleh nggak aku mulai belajar juga di perusahaan Papa?”
Lisa mengangkat wajah, tersenyum mendukung. “Benar kata Roy, Pa. Mulai dari sekarang justru bagus.”
Nata tidak langsung menjawab. Ia menghela napas pelan, lalu menatap Roy dengan tajam.
“Raska nilainya hampir sempurna. Tapi Papa belum minta dia bantu di perusahaan.”
Tatapannya menusuk lebih dalam. “Sedangkan kamu… nilaimu masih jauh di bawah Raska. Lebih baik kamu fokus belajar dulu.”
Jemari Roy mengencang di gagang sendok. Wajahnya tertunduk, tapi gurat kecewaan jelas terlihat.
Lisa menoleh cemas dan mencoba menengahi.
“Pa… nilai akademik tinggi belum tentu menjamin keberhasilan di bisnis. Banyak pengusaha besar yang—”
Nata memotong cepat.
“Kalau semua orang berpikir dangkal sepertimu, untuk apa sekolah dan universitas dibangun?”
Lisa terdiam, rahangnya mengeras.
“Memang pendidikan tidak menentukan seratus persen kesuksesan,” lanjut Nata, dingin tetapi tajam. “Tapi pendidikan tetap penting. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin besar potensinya.”
Ia bersandar sedikit ke belakang, nada suaranya menjadi lebih menusuk.
“Kalau kalian berdua merasa pendidikan tidak perlu… setelah Roy lulus SMA, dia tidak usah kuliah.”
Tatapannya menohok Roy.
“Langsung saja masuk perusahaan.”
Roy menahan napas, rahangnya mengencang menahan emosi yang hampir meledak.
Nata berdiri dari kursinya, tanpa menunggu balasan.
“Tapi ingat,” katanya sebelum pergi, “perusahaan Papa tidak menerima karyawan berdasarkan koneksi. Meskipun itu putra Papa sendiri.”
Kemudian ia berjalan keluar, meninggalkan keheningan yang lebih menyesakkan dari sebelumnya.
Lisa memejamkan mata, menahan marah.
Roy mengepalkan tangannya di atas meja, napasnya berat, dalam, seolah mencoba menahan seluruh dunia agar tidak runtuh pada malam itu.
...🌸❤️🌸...
Next chapter....
Nata membeku. Urat di rahangnya menegang. Suaranya keluar rendah, dalam, dan dingin seperti baja yang dilayangkan ke tenggorokan musuh.
“Kau.”
To be continued
Om Nata, satu lagi pastikan Elvara aman. cari tau tentang anakmu, siapa aja yg deket sama Raska. Kalo perlu tempatkan bodyguard bayangan di sekeliling Raska dan teman2nya. Istri dan anak mu yg lain sedangkan merencanakan hal jahat klo yg mereka inginkan tidak sesuai.
Ayo Raska kamu semangat untuk sembuh,,dan Elvara tempat ternyamanmu🤣
Raska selama ini berarti berusaha sendiri mengatasi masalah traumanya dengan konsultasi ke dokter Wira.
Tanya jawab antara dokter Wira dengan Raska - kesimpulannya - trauma Raska belum pulih.
Ya betul itu pak Nata, Roy iri terhadap Raska. Kalah segala-galanya maka mau mencurangi kakak tirinya.
Raska...yang tahu sengaja atau tidak sengaja nabrak - ya Bella.
Elvara pribadi yang baik, tidak mau menuduh. Tapi yang pasti kamu sengaja di tabrak Bella - biar kamu jatuh ke dalam kolam. Bella mungkin tidak menyangka ketika nabrak kamu - dirinya mental - kecebur juga 😄.
Elvaraaaaaa...jujur amat 😂.
Tuh lihat reaksinya trio komentator 😂.
Raskaaaaa....jujur juga 😂👍🏻👍🏻.
Trio komentator langsung meledak ibaratnya sedang menyaksikan tanding sepak bola jagoannya tembus gawang 😄.
Raska kupingnya memanas - Elvara biasa...tanpa ekspresi bergumam - "Drama banget kalian." 😄.
Weeeeh Bella nguping.
Waduh masih ada lain kali - rencana jahat apa lagi Bella ??
Bella mimpimu cuma mimpi - mana ada jadi kenyataan - Raska tidak mungkin pilih kau.
Tiga temannya mengkhawatirkan kondisi Raska. Mereka bertiga peduli - kalimat yang keluar dari masing-masing cukup menghibur. Yang di rasa Raska ketegangan sedikit melonggar - menggeleng halus, bergumam lirih - "...kalian emang nyebelin." Ini bentuk ungkapan Raska yang "POSITIF," terhadap ke tiga temannya yang selalu ada untuknya.
( ***Ini Author mesti bikin cerita kelanjutan mereka berempat sampai masing-masing punya keluarga, pertemanan berlanjut 😄. )
Roy mimpinya ketinggian.
Elvara masih seperti biasa yang dilakukan ketika jam istirahat. Duduk di bawah pohon, membaca buku, sambil ngemil - kripik.
dan semoga si Roy selalu gagal dalam semua hal😄
Aku Sudah menduga, novel ini beda dari yang sebelumnya. Novel kali ini, selain memberikan pelajaram tentang ketulusan cinta, juga ada melibafkan Para medis juga.
Seperti Dokter Wira, Dokter Pesikiater Raska, Karen itu sangat mengguncang kejiwaan Raska, yang telah dia tanggung sejak usia 10 tahun. Untung saja Raska berusaha berobat, jika tidak, penyakitnya makin parah dan membuat tempramen Raska meningkat, yang bisa-bisa membuat dia tidak bisa tidur nyenyak, dan itu bisa mebuat dia menjadi emosional, bahkan mungkin bisa melempar barang-barang di Apartemen nya, jika sudah parah.
Mantap kak Nana... 🙏🙏🙏😁