NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:8.6k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14. Area dalam Komplek Kadipaten

Telinganya menangkap suara-suara yang membuatnya bisa membayangkan pemandangan di luar.

Tawa merdu perempuan-perempuan ningrat. Suara basa-basi dalam bahasa Jawa halus yang sangat formal, bahasa yang tidak pernah ditujukan padanya.

Tubuhnya merasakan getaran, kereta yang bergoyang karena melewati jalan batu yang sangat rata dan mulus, bukan jalan berbatu biasa. Ini jalan khusus yang dirawat sempurna untuk kendaraan para bangsawan.

Di tengah kegelapan di balik selimut, pikiran Pariyem melayang ke masa lalu. Ke hari pernikahannya dengan Soedarsono tahun lalu.

Tidak ada kereta mewah. Tidak ada tamu ratusan. Tidak ada gamelan merdu.

Hanya selamatan sederhana di Dalem Prawirataman. Nasi tumpeng dengan lauk yang sangat mewah baginya. Serta jajanan pasar yang dibuat sendiri oleh ibunya.

Ijab kabul hanya dihadiri kerabat dekat Pariyem dan para pelayan Dalem Prawiratama yang hadir bukan karena senang, tapi karena diminta Soedarsono untuk menjadi saksi.

Dari pihak Soedarsono sendiri, hanya dua istrinya; sang garwo padmi—Raden Ayu Sumirna dan Lastri yang dinikahi selama 5 tahun tapi juga belum bisa memberi keturunan.

Tidak ada kebaya sutera berenda. Dia hanya mengenakan kebaya katun berwarna biru tua—kebaya terbaik yang dimilikinya. Dihias perhiasan cukup mewah yang diberikan oleh Sang Raden Ayu.

Mas kawinnya? Uang lima puluh gulden—harga yang bahkan tidak cukup untuk membeli sepasang giwang emas yang sekarang dikenakan para tamu undangan di luar sana.

Tidak ada resepsi mewah. Tidak ada tari-tarian. Tidak ada wayang kulit semalam suntuk.

Setelah akad, Soedarsono langsung membawanya ke paviliun Dalem Prawiratama. Tidak ada prosesi adat yang rumit. Tidak ada upacara panggih. Tidak ada kirab pengantin.

Pernikahan seorang selir. Pernikahan yang sah di mata agama tapi tidak diakui hukum kolonial.

Pernikahan yang tidak tercatat di kantor catatan sipil. Pernikahan yang keberadaannya bagai bayangan, ada tapi dipandang sebelah mata.

Sedangkan di luar sana, di balik tembok-tembok mewah kadipaten ini, seorang perempuan ningrat sedang dinikahi dengan segala kemegahan.

Dengan ratusan tamu undangan. Dengan gamelan merdu. Dengan tarian klasik. Dengan wayang kulit dalang ternama.

Dengan makanan berlimpah dari berbagai daerah. Dengan perhiasan emas yang nilainya bisa menghidupi keluarga jelata selama bertahun-tahun.

Perempuan yang bahkan belum pernah dilihat Pariyem itu akan mendapat gelar Raden Ayu. Akan dipanggil ibu oleh anaknya.

Akan duduk di samping Soedarsono dalam setiap acara resmi. Akan diakui pemerintah kolonial. Akan dihormati semua orang.

Sedangkan Pariyem? Akan selamanya menjadi bayangan. Perempuan yang tidak boleh disebut namanya di depan umum.

Perempuan yang harus bersembunyi ketika ada tamu penting. Perempuan yang bahkan tidak boleh dipanggil anaknya sendiri dengan sebutan "ibu".

Air mata menetes di balik selimut. Pariyem menggigit bibir, menahan isak yang ingin meledak. Tidak. Ia tidak boleh menangis sekarang. Nanti suaranya akan terdengar.

Kereta berhenti lagi. Kali ini lebih lama.

"Asisten Residen Marius Vecht," suara Marius terdengar tegas, berbicara dalam bahasa Melayu pada petugas pemeriksa.

"Tuan Asisten Residen, silakan, langsung masuk saja." Suara seorang pria Jawa yang sangat hormat. "Tidak perlu diperiksa."

Tidak ada pemeriksaan panjang. Tidak ada pertanyaan. Kereta pejabat Belanda setingkat Asisten Residen adalah kereta yang langsung dibiarkan lewat. Simbol kekuasaan kolonial yang tidak boleh diusik siapapun.

Kereta bergerak lagi, melewati gerbang. Pariyem merasakan perbedaan udara, lebih wangi. Ini di dalam kompleks kadipaten.

Taman yang rimbun dengan pohon-pohon besar memayungi jalan. Air mancur yang gemericik di depan pendhopo utama.

Dan gamelan. Gamelan yang tadinya terdengar samar kini menggelegar nyaring. Bonang, kenong, gong, saron, gambang, gender—semua dimainkan dengan sangat harmonis. Irama Ladrang yang megah, mengiringi prosesi pernikahan ningrat.

Suara sinden terdengar merdu, melantunkan tembang Jawa klasik dengan vokal yang sangat terlatih. Bukan sinden kampungan. Ini sinden profesional yang biasa tampil di keraton.

Kereta melambat lagi. Berhenti. Pintu dibuka dari luar dengan bunyi engsel yang halus; engsel yang terawat baik dengan minyak.

"Welkom, Mijnheer Vecht." Suara seorang pria Belanda atau Indo yang fasih berbahasa Belanda.

"Dank je." Marius turun dengan anggun maskulin.

Kereta bergerak lagi. Pariyem masih tidak berani bergerak. Tubuhnya kaku, pegal, sesak di ruang sempit di bawah kursi. Tapi dia tetap diam, menunggu.

Kereta berbelok beberapa kali. Melewati tikungan yang halus. Tidak ada guncangan, jalan di dalam kadipaten benar-benar mulus sempurna.

Suara gamelan perlahan menjauh. Suara orang banyak juga memudar. Kereta sepertinya menuju area yang lebih sepi.

Akhirnya kereta berhenti. Benar-benar berhenti. Tidak bergerak lagi.

Pariyem menunggu. Satu menit. Dua menit. Tidak ada suara apa-apa selain jangkrik dan hewan-hewan malam.

"Nyai, sudah aman." Suara kusir, pria tua kepercayaan Marius, berkata pelan dari luar. "Silakan keluar. Saya akan berjaga di sini."

Dengan hati-hati, Pariyem menyingkap selimut. Tubuhnya kaku, persendian nyeri setelah lama menekuk di ruang sempit. Dia merangkak keluar, bangkit duduk di kursi.

Ia menarik napas lega. Parfum mewah maskulin milik Marius masih tertinggal meski orangnya telah jauh.

Tangan Pariyem meregangkan tubuh perlahan; leher yang kaku, bahu yang pegal, pinggang yang nyeri. Kakinya kesemutan, harus dia gerak-gerakkan beberapa kali agar aliran darah kembali lancar.

Meskipun dikatakan telah aman, tapi ia tegang. Jantungnya masih berdetak kencang. Keringat dingin membasahi pelipis meski malam cukup sejuk.

Tapi dia sudah di dalam. Di dalam kompleks kadipaten. Beberapa langkah lebih dekat dengan Pramudya.

Dengan tangan gemetar, Pariyem menyibak tirai sutera sedikit. Mengintip ke luar dengan hati-hati.

Pemandangan yang dilihatnya membuat napasnya tertahan.

Ini area parkir khusus untuk tamu-tamu elit. Bukan parkir biasa. Ini halaman luas yang ditata rapi dengan paving batu alam yang tersusun membentuk pola geometris indah.

Di tengah-tengah ada taman kecil dengan air mancur berbentuk naga, airnya gemericik menyembur ke atas lalu jatuh ke kolam dangkal yang penuh ikan mas.

Di sekeliling area parkir, lampu-lampu minyak terpasang di tiang-tiang besi tempa yang artistik. Cahaya keemasan menerangi dengan lembut, menciptakan suasana yang romantis sekaligus megah.

Deretan kereta-kereta mewah terparkir rapi. Landau hitam mengkilap dengan lambang-lambang keluarga bangsawan; singa bersayap, naga melingkar, burung phoenix, bunga teratai. Semua dicat dengan cat terbaik, berkilau sempurna meski sudah malam.

Kuda-kuda yang menarik kereta itu bukan kuda kampung biasa. Ini kuda-kuda impor, tinggi besar dengan bulu yang terawat mengkilap.

Ada yang putih bersih, ada yang cokelat mulus, ada yang hitam legam. Semuanya dilengkapi dengan pelana kulit mewah dan hiasan kepala dengan bulu-bulu warna-warni.

Para kusir berdiri di samping kereta masing-masing dengan seragam lengkap; beskap putih dengan kain batik halus, blangkon rapi, sepatu kulit yang bersih.

Mereka mengobrol pelan sambil merokok linting, sesekali memberi makan kuda atau menyeka keringat di leher kuda dengan kain halus.

Di sudut area parkir, ada pos jaga kecil. Dua orang pengawal duduk di sana, merokok kretek sambil sesekali tertawa pelan.

Senapan panjang bersandar di dinding pos. Mereka tampak santai, tidak mengira ada bahaya di tengah pesta mewah ini.

1
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
SENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
SENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
SENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
SENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
SENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
SENJA
addduh sayang kau tak bisa baca tulis yem 😑
SENJA
deal sudah ! pinter juga kau yem 👌
Eniik
❤❤❤
Fitriatul Laili
mau diracun ya kayaknya
Kenzo_Isnan.
oalah yem yem karma dibayar tunai ,,tp kok yo melas men yem yem ra tegel q ngikuti kisah mu sek sabar yo yem yem
Kenzo_Isnan.
lanjut kak ayoo semagaaattt 💪💪💪💪
🌺 Tati 🐙
ditunggu kabar sumi dan keluarga besarnya...yem sekalian kamu minta maap sama sumi,kalau perlu minta bantuan sumi
🌺 Tati 🐙
sodarsono belajar dari ke gagalan pertama,dia tidak bisa mempertahankan sumi,makanya sekarang sedikit berontak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!