NovelToon NovelToon
TUMBAL TERAKHIR

TUMBAL TERAKHIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Horor / Iblis / Fantasi Timur
Popularitas:447
Nilai: 5
Nama Author: pena biru123

Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya

bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 14

Saat asap itu meluncur ke arahnya, Ratih segera mundur, melompat ke air. Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang keras dan dingin membentur kakinya.

"Aduh! Nenek moyang! Siapa yang menendang?!"

Bukan batu. Itu adalah sebuah kepala.

Bukan kepala manusia, melainkan sebuah kepala beruang yang terbuat dari batu, yang tergeletak di dasar sumur. Jaya dan Dara telah menghilang ke dalam terowongan, tetapi di sana, tergeletak di lumpur, adalah kepala beruang kecil yang lucu, dengan ekspresi cemberut.

Ratih tertegun, melupakan serangan asap itu sejenak. "Kepala beruang? Di sini?"

Kepala beruang batu itu tiba-tiba melayang, melayang di hadapan Ratih. Wajahnya yang cemberut berubah menjadi ekspresi kaget.

"Aku! Aku yang kau tendang! Aku adalah... ARTIFAK PENJAGA SUMUR!" teriak kepala beruang itu, suaranya melengking seperti anak kecil yang merajuk. "Dan sekarang, kau memecahkan gigiku! Ini pasti hari terburukku!"

Asap Kael yang tadinya menyeramkan kini terhenti. Bahkan entitas kegelapan pun bingung. "Apa-apaan ini?" desis asap itu.

Ratih, dalam situasi yang paling menegangkan, tidak bisa menahan tawa kecilnya. "Kau... artefak penjaga? Kenapa kau berbentuk kepala beruang kecil yang marah?"

"Itu adalah desain yang populer saat ini! Jangan menghakimi!" Kepala beruang itu berteriak. "Tapi kau sudah membangunkanku! Aku harus melayanimu! Apa perintahmu, nona yang menendang? Cepat! Ada asap jelek di sini!"

"Hancurkan asap itu!" perintah Ratih, sambil menunjuk ke arah Kael.

"Siap laksanakan, Kapten yang Cemberut!"

Dengan ledakan konyol, kepala beruang batu itu menembakkan sinar ungu kecil dari matanya. Sinar itu lemah dan sedikit melenceng, tetapi mengenai asap Kael. Alih-alih meledak, asap Kael yang menyeramkan itu... mulai bersin-bersin.

"Ha-ha-ha-ciiiiiih! Ah! K-kenapa aku... g-geliii! Ha-ha-ha-ciiiiih!"

Asap itu kehilangan bentuknya, berputar-putar dalam serangan bersin yang tidak berdaya, seluruh auranya yang menakutkan menguap.

"Aku akan kembali lagi!" teriak Kael sebelum asapnya benar-benar menghilang, tidak tahan dengan serangan geli yang memalukan.

"Itu... berhasil?" Ratih terkesima.

"Tentu saja!" Kepala beruang itu mengangguk dengan bangga. "Aku adalah Artefak Penjaga Geli! Sekarang, ada apa di atas sana? Aku mendengar suara beruang lain yang sedang berkelahi!"

"Di atas," Ratih menatap ke atas. "Seorang teman dalam bahaya. Bisakah kau membantuku mendaki dengan cepat?"

Di Bibir Sumur:

Wijaya adalah badai gerakan, belati-belatinya membelah kegelapan. Namun, dua lawan terlalu banyak. Aria adalah kecepatan, belati kembarnya menusuk tanpa henti, sementara Kael, meskipun baru saja dipukul mundur, kini memuntahkan kabut hitam yang lebih tebal, membuat Wijaya terhuyung.

Wijaya tersentak. Sebuah belati Aria menyayat bahunya, dan dia merasakan kabut Kael mencekiknya. Dia tahu ini adalah akhir. Dia sudah memenangkan waktu yang cukup.

Tiba-tiba, bumi bergetar. Sebuah kepala beruang batu yang melayang muncul dari lubang sumur, diikuti oleh Ratih yang melompat keluar dengan bantuan kepala beruang itu. Ratih mendarat, liontinnya berkobar, memancarkan cahaya yang memecah kabut hitam Kael.

"Tariannya berakhir, Kael!" teriak Ratih.

Kael dan Aria menoleh, terkejut melihat Ratih kembali.

"Mustahil! Kau lolos dari racun kami!" teriak Aria.

Wijaya, tersenyum kecil di tengah rasa sakitnya, tahu Ratih kembali. "Selamat datang kembali, Api Merah. Aku sedikit bosan."

"Aku membawa bantuan!" seru Ratih.

"Aku adalah bantuan!" teriak kepala beruang yang melayang di samping Ratih. "Penjaga Geli telah tiba!"

Tanpa menunggu, Ratih melepaskan ledakan panas murni ke arah Sang Wadah. Tubuh Wadah itu tersentak, tetapi tidak terluka. Namun, serangan itu berhasil menarik perhatiannya menjauh dari Wijaya.

"Wijaya! Kael milikmu! Hancurkan asapnya! Aria, urus aku!" perintah Ratih.

Kael meraung, memuntahkan kabut tebal ke arah Wijaya.

"Jangan khawatir, Wijaya! Aku akan membuat Kael bersin lagi!" Kepala beruang batu itu terbang di udara, menembakkan sinar ungu ke arah kabut Kael. "Serangan Geli Super!"

Kabut Kael bukannya hancur, melainkan bergerak dan memadat, tetapi yang keluar dari dalam kabut itu adalah suara tawa Kael yang melengking, tawa yang menyakitkan. Kael, sang penguasa kabut, kini tertawa tak terkendali karena geli. Ia tidak bisa berkonsentrasi pada mantranya, dan kabutnya menipis dengan cepat.

Sementara itu, Aria menyerang Ratih dengan kecepatan kilat.

"Permainan anak-anak ini tidak akan menyelamatkanmu!" desis Aria.

Ratih tidak melawan. Dia membiarkan Aria mendekat. Begitu Aria berada dalam jangkauan, Ratih melakukan apa yang tidak diharapkan: dia tidak menyerang dengan api. Dia memeluk Aria.

Api dari liontin Ratih menyala, membakar melalui kain jubah Aria, tetapi pelukannya adalah cengkeraman baja.

"Apa yang kau lakukan, gila?!" Aria berteriak, panik, mencoba melepaskan diri.

"Aku menunjukkan kepadamu apa yang kau pertaruhkan!" desis Ratih di telinga Aria. "Kami bukan hanya pemburu. Kami adalah keluarga!"

Panas api Ratih adalah panas penyucian. Aria menjerit, bukan karena rasa sakit, tetapi karena ia merasakan benang sihir yang mengikatnya kepada Sang Wadah terbakar habis.

Tiba-tiba, Aria terhuyung mundur. Belati kembarnya jatuh. Matanya yang tadinya dingin kini dipenuhi teror dan kebingungan. Dia telah bebas.

"Aku... aku... apa yang telah kulakukan?" Aria tersentak. Dia melihat ke belakang, melihat Sang Wadah yang tinggi dan mengerikan, dan pandangannya dipenuhi kengerian yang nyata.

"Aria!" teriak Kael, yang masih terhuyung-huyung karena tawa.

"Cukup!" Aria, dengan mata yang jernih, mengarahkan belatinya, bukan pada Ratih, melainkan pada Kael. "Aku sudah selesai!"

Dengan dua lawan yang kini saling menyerang—Wijaya (dengan belati biru dan rasa sakit) melawan Kael (dengan tawa yang menyakitkan) dan Aria (dengan belati yang dipenuhi penyesalan)—Ratih berbalik menghadap ancaman utama.

Sang Wadah.

Sosok berjubah abu-abu itu mengangkat tongkat bengkoknya. Wajah nenek Ratih yang mengerikan itu menyeringai. "Kau berani mengganggu rencanaku, Api Merah kecil? Sekarang, kau akan mati, dan aku akan memiliki tubuhmu yang muda!"

Ratih mengangkat tangannya, liontinnya berdenyut. "Kau sudah mengambil satu tubuh yang aku cintai. Kau tidak akan mengambil yang lain!"

Dalam ledakan api dan kabut yang mematikan, Ratih menatap mata wadah itu. Dia tidak menyerang raga fisiknya, tetapi jiwa di dalamnya.

Di dalam Terowongan Bawah Sumur:

Jaya dan Dara berlari di koridor batu, cahaya biru kehijauan memandu mereka. Mereka mengikuti suara isak tangis yang lemah.

Mereka menemukan sebuah ruangan kecil, dan di tengahnya, di dalam sangkar kristal yang memancarkan cahaya biru kehijauan, terbaring seorang wanita tua. Wajahnya kurus, kelelahan, tetapi matanya bersinar dengan kearifan yang dalam.

Nenek Ratih yang asli.

"Nenek!" seru Jaya dan Dara serempak.

Wanita tua itu tersenyum lemah. "Jaya... Dara... Kalian terlambat. Tapi tepat waktu."

"Kami akan membebaskanmu!" Dara menarik sangkar itu, tetapi tangannya memantul.

"Tidak bisa," bisik sang nenek. "Energi Wadah mengikatku. Hanya saat Wadah itu dihancurkan di luar, barulah kristal ini retak. Tapi kalian harus pergi! Kalian harus memberi Ratih petunjuk!"

Sang nenek menunjuk ke dinding. Di sana, tertulis frasa terakhir:

"Kunci untuk mengalahkan Wadah bukanlah api, melainkan air mata kebenaran."

"Apa artinya ini?" bisik Jaya, frustrasi.

"Api... Air mata..." gumam Dara. Tiba-tiba, ia mengerti. "Nenek, kau baik-baik saja! Kami akan memberitahu Ratih!"

Nenek Ratih tersenyum bahagia, tetapi saat itu, getaran dahsyat mengguncang ruangan.

Kembali ke Atas, Pertempuran Terakhir:

Sang Wadah menembakkan kilat gelap. Ratih berteriak kesakitan, terlempar mundur. Dia menggunakan semua apinya, tetapi Wadah itu terlalu kuat.

"Kau lemah! Jiwamu bergetar!" ejek Sang Wadah.

Saat itu, sebuah teriakan bergema dari sumur: "AIR MATA KEBENARAN!"

Air mata kebenaran. Bukan api. Bukan kekuatan.

Ratih melihat wajah neneknya yang tersenyum jahat di wadah itu. Itu adalah wajah yang dicuri.

Ratih memejamkan mata. Dia tidak menyerang dengan api lagi. Dia tidak menyerang dengan kemarahan. Dia menyerang dengan kesedihan murni.

Dia memanggil semua kenangan yang telah dicuri: tawa neneknya, kehangatan pelukannya, cerita-cerita sebelum tidur. Dia memproyeksikan rasa kehilangan yang dalam, rasa sakit karena kengerian yang telah menimpa raga yang ia cintai.

Api di liontinnya berubah. Bukan api amarah. Itu adalah api biru sedih yang menyala.

Api biru itu mengenai wajah Wadah itu.

Wadah itu menjerit, bukan karena rasa sakit, tetapi karena kejutan emosional. Wadah itu, yang hanya merupakan entitas kegelapan, tidak tahan dengan emosi murni.

Tubuh Wadah itu mulai retak. Air mata hitam mengalir dari mata nenek Ratih, air mata yang membebaskan.

Raga neneknya yang dicuri jatuh, dan entitas kegelapan itu—Wadah yang sebenarnya—muncul, makhluk mengerikan dari asap hitam dan bayangan, menjerit dalam kegelapan.

Ratih tidak memberinya kesempatan. Dengan sekali sentakan, dia melepaskan semua energi dari liontinnya. Api biru sedih itu menyelimuti Wadah itu, membersihkannya, dan dalam sekejap, makhluk kegelapan itu lenyap.

Hanya tersisa jubah abu-abu yang jatuh ke tanah

Keheningan total menggantung di Desa Tiga Batu. Kabut menghilang. Langit cerah.

Wijaya terhuyung, belati-belatinya jatuh. Dia terluka parah. Kael, yang kini bebas dari tawa, tampak bingung dan pucat, sementara Aria, yang menangis, memeluk lengan Wijaya, memeriksanya.

"Kami... kami menang," bisik Wijaya, tersenyum lemah.

Ratih berlari ke sumur. Jaya dan Dara telah kembali, membawa serta tubuh nenek Ratih yang kini pulih. Sang nenek memeluk Ratih dengan erat, air mata kebahagiaan mengalir di pipi keduanya.

"Kau telah tumbuh menjadi api yang sesungguhnya, Api Merahku," bisik neneknya.

Tiba-tiba, kepala beruang batu itu terbang di antara mereka. "Hei! Ada reuni! Apakah aku melakukannya dengan baik? Bolehkah aku istirahat sekarang? Aku lelah membuat penjahat tertawa!"

Semua orang tertawa, tawa lega yang menular.

Namun, tawa itu terhenti ketika mereka melihat tubuh nenek Ratih yang tergeletak di tanah. Tubuh itu bukan lagi Wadah, tetapi hanya kulit kosong, sebuah wadah kosong.

Nenek Ratih memeluk Ratih, tetapi Ratih merasa aneh. Pelukan itu dingin.

"Hanya raga ini yang bisa kusimpan, Ratih," bisik sang nenek, senyumnya dingin, dan matanya memancarkan cahaya biru kehijauan yang sama dengan yang ada di terowongan. "Jiwa yang sesungguhnya, telah mengambil tempat baru. Aku akan selalu bersamamu."

Jaya dan Dara melangkah mundur, ketakutan terpancar di mata mereka. Wijaya menatap nenek Ratih dengan mata dingin dan penuh kewaspadaan.

Nenek Ratih itu memandang mereka semua. Dia adalah nenek Ratih, namun tidak. Dia adalah Penjaga yang diikat oleh jasad nenek Ratih.

"Sekarang," katanya, suaranya tenang dan final. "Perjalanan kalian baru saja dimulai. Sang Wadah hanyalah bidak. Ada yang lebih besar di luar sana, yang menginginkan Api Merah. Aku akan menjagamu... dari jauh."

Nenek Ratih yang baru itu menghilang dalam sekejap, meninggalkan jubah nenek Ratih yang asli tergeletak di tanah.

Ratih memungut jubah itu. Dia telah menyelamatkan teman-temannya. Dia telah mengalahkan Wadah. Dia telah menemukan neneknya.

Tetapi dia tahu, dengan kengerian yang dingin: neneknya yang asli telah pergi, digantikan oleh entitas lain, dan bahaya yang lebih besar menunggu mereka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!