Langit di atas Lembah Seribu Pedang selalu berkabut, seolah-olah para roh pedang zaman kuno sengaja menutupinya dari mata dunia luar. Di balik kabut itu, terdapat sebuah lembah yang luas, terjal, dan dipenuhi bangunan megah terbuat dari batu hitam. Di puncak-puncak tebingnya, ratusan pedang kuno tertancap, bersinar samar seperti bintang yang tertidur. Konon, setiap pedang telah menyaksikan darah dan kemenangan yang tak terhitung jumlahnya sepanjang ribuan tahun sejarah klan ini.
Di tempat inilah, klan terbesar dalam benua Timur, Klan Lembah Seribu Pedang, berdiri tegak sebagai simbol kekuatan, kejayaan, dan ketakutan.
Klan ini memiliki struktur kekuasaan yang ketat:
Murid luar, ribuan pemula yang menghabiskan waktunya untuk latihan dasar.
Murid dalam, mereka yang telah membuktikan bakat serta disiplin.
Murid senior, para ahli pedang yang menjadi pilar kekuatan klan.
Murid elit, generasi terpilih yang berhak memegang pedang roh dan mempelajari teknik pamungkas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB.34 Nyala Pedang Kegelapan
Langit di atas Lembah Batu Tua kini retak seperti kaca yang hendak pecah. Dua tetua Klan Bintang Langit telah tumbang di tangan Xio Lun, tubuh mereka lenyap menjadi abu dihembus badai spiritual yang tercipta dari benturan terakhir. Namun aura mengerikan belum sirna — justru semakin pekat.
Satu sosok tersisa berdiri tegak di tengah pusaran energi, jubah bintang-bintangnya berkibar. Dialah Tetua Keempat Klan Bintang Langit, Bai Yuan, salah satu pilar tertua yang pernah mengabdi langsung kepada Patriak Agung Tiandu.
Darah mengalir di ujung bibirnya, tapi mata Bai Yuan menyala tajam seperti sepasang bintang biru menyala di tengah kegelapan.
“Anak sialan…” desisnya pelan, suaranya gemetar namun penuh tekanan spiritual. “Kau benar-benar telah membunuh dua saudaraku. Aku akan pastikan jiwa dan tubuhmu musnah di tempat ini!”
Xio Lun menatap datar, rambut hitam panjangnya berkibar, pedang kegelapan di tangan bergetar lirih — suara dingin seperti tangisan besi.
“Banyak orang mencoba itu,” ucapnya datar. “Tidak ada satu pun yang berhasil.”
Bai Yuan menggertakkan giginya. “Jangan sombong, bocah! Kau pikir karena bisa mengalahkan dua tetua itu kau setara denganku? Aku berbeda… Aku telah menembus Ranah Jiwa Surgawi Lapisan Kedua!”
Aura langit dan bintang menyembur dari tubuhnya. Langit yang sebelumnya kelam mendadak berpendar dengan cahaya biru kehijauan. Ribuan rune bintang melayang di udara, membentuk formasi berbentuk lingkaran kosmik. Tanah berguncang. Udara bergetar.
Xio Lun menatapnya dengan tenang. “Jadi kau yang paling kuat di antara mereka.”
“Dan kau,” kata Bai Yuan sambil melangkah maju, “akan jadi pengorbanan pertamaku menuju Ranah Jiwa Suci!”
Bai Yuan mengangkat tangannya, dan seketika tombak panjang berwarna perak dengan mata bercabang merah-biru muncul di genggamannya — Tombak Langit Ganda, pusaka turun-temurun dari leluhur Klan Bintang Langit. Aura tajamnya membelah awan, membuat udara di sekitarnya seperti meledak.
“Teknik Rahasia Bintang — Runtuhnya Langit Ketujuh!”
Tombak berputar membentuk spiral cahaya, tujuh bayangan bintang raksasa jatuh dari langit seperti meteor, mengarah langsung ke Xio Lun.
Tubuh Xio Lun melesat ke udara, langkahnya ringan bagai bayangan.
“Jurus Kedua — Seribu Pedang Kegelapan!”
Dari balik kabut hitam, seribu bilah pedang muncul, setiap pedang memancarkan aura hitam pekat yang menelan cahaya bintang. Ribuan pedang itu terbang menyambut meteor yang jatuh dari langit.
Benturan pun terjadi.
BOOOOOOMMM!!!
Gelombang energi hitam dan biru bertabrakan, meledak hingga membentuk kawah besar berdiameter ratusan meter. Tanah terbelah, gunung kecil di sisi lembah runtuh dalam sekejap. Energi itu menelan segalanya — hanya menyisakan dua sosok yang masih berdiri tegak di tengah badai energi.
Bai Yuan tersenyum miring. “Hebat… tapi masih belum cukup!”
Dia menancapkan tombaknya ke tanah. Rune-rune bintang di sekelilingnya berubah warna menjadi ungu tua.
“Teknik Rahasia Kedua — Belenggu Bintang Ilahi!”
Dari udara, rantai cahaya muncul dan melilit tubuh Xio Lun dengan kecepatan kilat. Rantai itu hidup, bergerak seperti ular, dan setiap lilitannya menghisap aura spiritual Xio Lun.
Xio Lun terhuyung sedikit, aura hitam di sekelilingnya bergetar.
“Belenggu energi ilahi, ya?” gumamnya rendah. “Bagus… tapi sayang kau lupa satu hal.”
Mata Xio Lun berkilat, dan dari tubuhnya menyembur aura hitam pekat.
“Jurus Ketiga — Nyanyian Kegelapan!”
Getaran lembut seperti suara perempuan bernyanyi bergema di udara — indah, tapi mengerikan. Suara itu mengguncang dunia spiritual Bai Yuan. Rantai cahaya retak, lalu pecah berhamburan seperti kaca yang dihantam badai.
Bai Yuan mundur setengah langkah. “Apa itu… teknik iblis!?”
“Aku menyebutnya lagu kematian,” jawab Xio Lun pelan, suaranya seperti bisikan neraka.
Murka meluap di mata Bai Yuan. “Kalau begitu… mari lihat siapa yang pantas hidup!”
Dia mengangkat tombaknya tinggi, lalu membelah udara. “Teknik Puncak Bintang Langit — Gerbang Sembilan Surga!”
Langit terbuka. Sembilan cincin bintang melayang di udara, tiap cincin memancarkan cahaya yang berbeda — merah, biru, emas, perak, hijau, ungu, putih, hitam, dan jingga.
Tombaknya melesat menembus satu per satu cincin itu, menyerap semua elemen cahaya ke dalam tubuhnya.
Tubuh Bai Yuan kini bersinar seperti dewa perang bintang.
Xio Lun mengerutkan kening. Aura itu… jauh lebih kuat dari Tiandu.
“Kalau aku menahan diri, aku bisa mati,” gumamnya lirih.
Dia menggenggam Pedang Kegelapan dengan kedua tangan. Aura hitam membubung tinggi, membentuk naga hitam besar di belakangnya.
“Baiklah… kau ingin melihat jurus keempatku?”
Suara Dewa Perang bergaung di pikirannya.
(Gunakan dengan hati-hati… Tangisan Kegelapan menelan jiwa, bukan hanya tubuh…)
Xio Lun tersenyum tipis. “Aku siap.”
“Jurus Keempat — Tangisan Kegelapan!”
Pedang Kegelapan berubah bentuk. Dari bilahnya keluar bayangan hitam menyerupai wajah manusia yang meraung dalam kesakitan. Suara tangisan itu bergema, menusuk ke dalam jiwa siapa pun yang mendengarnya.
Bai Yuan yang hendak menancapkan tombak ke tanah tiba-tiba menggigil. Suara itu seperti menarik jiwanya keluar. Ia meraung, menahan dengan energi bintangnya.
“Tidak… mustahil! Teknik macam apa ini!?”
Xio Lun melangkah maju.
Satu tebasan.
Pedang hitam menembus cahaya bintang, menebas tepat di tengah dada Bai Yuan.
CRAASSSHHHH!!!
Energi hitam dan biru meledak bersamaan. Tubuh Bai Yuan terpental ratusan meter, menabrak batu besar hingga hancur berkeping. Tombaknya terpental jauh, terbelah dua.
Bai Yuan memegangi dadanya, darah hitam mengalir dari mulutnya.
“Kau… bukan manusia…”
Xio Lun menatapnya tenang. “Aku tidak butuh penjelasan darimu.”
Bai Yuan berteriak sebelum tubuhnya meledak menjadi serpihan bintang yang perlahan memudar — lenyap dihembus angin.
Xio Lun berdiri di tengah kawah. Angin berputar pelan, membawa debu dan sisa energi yang berkilau seperti abu bintang. Tubuhnya sedikit bergetar, tapi tatapannya tetap tenang.
Ia menyarungkan pedang kegelapan ke punggungnya.
Suara berat menggema dalam benaknya — suara Dewa Perang.
“Kau menguasai empat jurus dengan sempurna, meski tubuhmu belum sepenuhnya siap. Tapi ingat, Xio Lun… setiap darah yang tumpah dari pedang itu akan memanggil sesuatu yang lebih besar dari sekadar dendam.”
Xio Lun menarik napas panjang. “Aku tidak punya pilihan. Mereka mengejarku, membunuh keluargaku, menculik Xin Shi, dan memenjarakan ibuku. Kalau harus menantang langit sendiri, aku akan melakukannya.”
Langit kembali tenang. Hanya debu dan sinar matahari senja yang tersisa.
Di kejauhan, di puncak menara kristal Benua Barat, seorang pria tua berjubah perak membuka matanya.
“Bai Yuan mati…” gumamnya, suaranya tenang tapi mematikan. “Anak itu… Xio Lun. Nama yang harus dihapus dari sejarah.”
Sementara itu, di sisi lain benua, mutiara teratai ilahi di dada Xio Lun berdenyut pelan, mengeluarkan cahaya merah samar — seperti memanggilnya ke arah lain, jauh di barat… ke wilayah terlarang Klan Bintang Langit.
“Xin Shi… Ibu… tunggulah,” bisik Xio Lun.