Tiga Tahun berumah tangga, Amanda merasa bahwa pernikahannya benar-benar bahagia, tapi semua berubah saat ia bertemu Yuni, sahabat lamanya.
Pertemuan dengan Yuni, membawa Amanda pergi ke rumah tempat Yuni tinggal, dimana dia bisa melihat foto pernikahan Yuni yang bersama dengan pria yang Amanda panggil suami.
Ternyata Yuni sudah menikah lima tahun dengan suaminya, hancur, Amanda menyadari bahwa dia ternyata adalah madu dari sahabatnya sendiri, apakah yang akan Amanda lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Empat Belas
Azka perlahan mendekati istrinya. Tatapan matanya penuh penyesalan, sementara langkahnya terasa berat seolah setiap jarak di antara mereka adalah jurang yang semakin melebar. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung memeluk Amanda dari belakang, menahan tubuh istrinya yang bergetar karena emosi.
Amanda sempat berusaha melepaskan diri. Ia meronta pelan, menepis pelukan itu, tapi Azka justru mempererat dekapannya.
“Sayang,” ucap Azka dengan suaranya yang serak, nyaris berbisik di telinga Amanda. “Jangan pernah katakan hal seperti itu lagi. Kamu boleh menghukum aku dengan cara apa pun. Pukul aku, maki aku, kalau itu bisa buat kamu tenang. Tapi tolong, jangan pernah ada niat untuk meninggalkan aku.”
Amanda membeku sejenak di dalam pelukan itu. Kata-kata Azka menembus pertahanannya, tapi tak cukup untuk menyembuhkan luka yang sudah terlalu dalam. Ia tersenyum miring, senyum getir yang lebih mirip luka yang baru saja terbuka kembali.
“Mas,” ujar Amanda pelan tapi tegas, “Aku capek.”
Azka menatapnya dengan mata sendu. Ia mencoba menyentuh wajah istrinya, tapi Amanda mengalihkan pandangan.
“Kita istirahat dulu, ya,” ucap Azka lembut, mencoba menenangkan.
Amanda menggeleng pelan. “Bukan tubuhku yang lelah, Mas,” suaranya terdengar bergetar. “Tapi hatiku. Kamu mungkin nggak akan pernah tahu rasanya jadi aku. Tiap kali kumpul sama teman-temanku, mereka selalu nanya hal yang sama, ‘kapan kamu hamil, Manda? Dan aku cuma bisa senyum, pura-pura kuat. Padahal aku hancur di dalam.”
Azka menelan ludah, rasa bersalahnya menyesak di dada. “Sayang, tiga bulan lagi kita tanggalkan pemasangannya,” ujar Azka hati-hati. “Aku janji, setelah itu kita bisa coba lagi. Aku melakukan semua ini bukan karena nggak mau punya anak darimu. Aku cuma takut, Manda. Aku nggak sanggup lihat kamu kesakitan waktu itu, darah, tangisanmu, tubuhmu yang lemah di ranjang rumah sakit. Aku takut kehilangan kamu.”
Kata-kata itu seharusnya menghangatkan hati Amanda. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya, dingin, getir, seperti ada sesuatu yang tak lagi bisa dijembatani.
“Takut kehilangan aku,” gumam Amanda lirih sambil menatap wajah suaminya yang kini tampak begitu rapuh. “Tapi kenapa aku justru merasa kehilangan dirimu, Mas?”
Azka terdiam. Matanya mencari-cari jawaban di wajah istrinya, namun Amanda justru menatapnya dengan pandangan tajam yang menyimpan luka.
“Apa kamu masih menyembunyikan sesuatu dariku, Mas?” tanya Amanda akhirnya, pelan tapi menusuk.
Azka mengerjap, sedikit panik. “Maksudmu?”
Amanda menatapnya dalam-dalam. “Aku ingin dengar kejujuranmu, Mas. Apa cuma soal pemasangan alat itu yang kamu sembunyikan dariku? Atau masih ada hal lain?”
Ruangan mendadak senyap. Suara detak jam di dinding terdengar begitu jelas, seolah menghitung setiap detik ketegangan di antara mereka. Azka tak langsung menjawab dan diamnya justru membuat Amanda semakin yakin bahwa intuisi seorang istri jarang salah.
"Kenapa diam, Mas? Apakah benar ada sesuatu yang kamu sembunyikan?" tanya Amanda lagi.
Azka menunduk, menahan napas yang terasa berat di dadanya. Tatapan Amanda yang tajam membuatnya hampir kehilangan kata. Ia tahu, sedikit saja salah ucap, semuanya bisa runtuh malam itu.
“Nggak ada lagi yang aku sembunyiin, Sayang,” ucap Azka pelan, suaranya nyaris tak terdengar. “Sumpah, semua sudah aku ceritakan. Aku cuma ... pengen kita tenang dulu. Aku nggak mau kehilangan kamu.”
Amanda menatapnya lama, seolah mencoba membaca isi hatinya lewat sorot mata itu. Tapi yang ia temukan hanyalah kelelahan, dan ketakutan yang seolah disembunyikan di balik sikap lembut Azka.
“Mas selalu bilang nggak mau kehilangan aku,” ucap Amanda dengan nada getir, “Tapi kadang aku ngerasa Mas justru nggak pernah benar-benar punya aku.”
Amanda masih berpura-pura tak tahu kalau suaminya ada istri lain. Dia mau membuka kedok suaminya di waktu yang tepat. Dia juga ingin mertuanya jujur, tak lagi ikut membohongi dirinya.
Azka spontan menggenggam tangannya. “Jangan ngomong kayak gitu, Manda. Aku sayang kamu. Aku cuma manusia, aku bisa salah, tapi aku nggak akan ninggalin kamu. Aku nggak mau cerai, aku nggak sanggup.”
Amanda terdiam sesaat. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi kali ini bukan karena kelembutan, melainkan karena ia sudah terlalu lelah menelan janji-janji.
“Aku bakal kasih waktu, Mas,” ucapnya akhirnya, tenang tapi tegas. “Tiga bulan. Selama itu, aku pengen lihat apa yang Mas lakuin. Kalau ternyata aku nemuin satu aja kebohongan lagi, aku nggak akan mikir dua kali buat ajukan cerai.”
Azka langsung menatapnya, wajahnya tegang. “Manda, jangan ngomong kayak gitu. Aku janji nggak akan bohong lagi.”
Amanda menarik tangannya dari genggaman suaminya. “Aku nggak butuh janji, Mas. Aku cuma butuh bukti.”
Hening kembali mengisi ruangan. Azka merasa seperti kehilangan pijakan, sementara Amanda perlahan berdiri dan mengusap sisa air mata di pipinya.
“Oh iya,” tambah Amanda, nada suaranya datar tapi mantap, “Aku mau kerja lagi.”
Azka refleks menatapnya, kaget. “Kerja? Buat apa, Sayang? Aku masih bisa biayain kamu. Kamu nggak perlu capek ....”
“Justru karena itu, Mas.” Amanda memotong cepat. “Aku nggak mau cuma duduk di rumah, nunggu kamu pulang sambil mikir kamu di mana dan sama siapa. Aku mau sibuk, mau punya dunia sendiri. Jadi tolong, kali ini jangan larang aku.”
Azka terdiam. Jantungnya berdetak kencang. Ia tahu kalau menolak, semua bisa berakhir malam itu juga.
Dengan napas panjang, ia akhirnya mengangguk pelan. “Baik. Kalau itu bisa bikin kamu tenang, aku izinin.”
Amanda hanya menatapnya sekilas, tanpa senyum, lalu berjalan menuju kamar. Langkahnya terdengar pelan tapi pasti, seperti seseorang yang sudah menetapkan hati untuk berubah.
Sementara itu, Azka masih berdiri di ruang tengah. Pandangannya kosong menatap ke arah pintu kamar yang baru saja tertutup.
Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia menelan rasa bersalah yang kembali naik ke tenggorokan.
“Maaf, Manda,” bisiknya lirih. “Aku nggak tahu gimana harus jujur soal Yuni tanpa kehilangan kamu duluan.”
Azka memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tapi suara dalam kepalanya terus bergaung tiga bulan.
Waktu yang terasa panjang … sekaligus terlalu singkat untuk menyembunyikan kebohongan sebesar itu.
amanda, udah ahh.. sgr move on.. ga usah berlarut2 teringat sm azka. jalan hidup msh panjang
azka gk cinta kmu. soal anak dia ttp anak azka dn gk aakan kehilangan figur ayah, toh slama ini kalian ldr an,,
mending lepasin azka yun