Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 1
Pagi itu, udara terasa hangat dan lembut menyapa kulit. Matahari baru saja menampakkan sinarnya dari sela tirai kamar. Lara terbangun dengan senyum yang merekah menyambut pagi. Hari ini Arga, suaminya, akan berangkat dinas ke luar kota selama seminggu. Hal biasa terjadi, karena sebagai pembisnis pastinya Arga harus selalu bertemu klien bahkan di luar kota.
Arga keluar dari kamar mandi dengan handuk di lehernya, rambutnya masih basah, aroma sabun maskulin menguar memenuhi ruangan. Ia tersenyum, lalu berjalan menghampiri Lara yang tengah merapikan kemeja yang sudah disetrika semalam.
“Sayang,” panggilnya lembut.
Lara menoleh, matanya menatap wajah suaminya yang tenang dan teduh. “Hmm?”
Arga mendekat, mengambil kemeja itu dari tangannya, lalu mengenakannya sambil masih menatap mata Lara. “Kamu nggak usah terlalu khawatir, ya. Cuma seminggu kok. Setelah itu aku pulang, dan kita bisa jalan-jalan ke mana pun kamu mau.”
Lara tersenyum kecil. “Aku bukan khawatir, cuma di rumah jadi sepi lagi." Ucap Lara.
Arga menatapnya lembut. Ia memegang pipi Lara dengan kedua tangannya, menunduk sedikit, dan mengecup keningnya perlahan.
Satu kali. Dua kali. Tiga kali.
Setiap kecupan terasa seperti janji kecil bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Aku cinta kamu, Ra,” ucap Arga pelan.
Lara tersenyum bahagia. “Aku juga cinta kamu, Mas.”
Mereka berpelukan lama. Arga menepuk punggungnya pelan.
“Jangan sedih, nanti aku nggak jadi berangkat,” katanya, mencoba bercanda.
Lara tertawa kecil. “Dasar lebay.”
Arga akhirnya berangkat dengan koper di tangan. Lara mengantar sampai halaman, melihat mobil yang membawanya menjauh. Sebelum mobil itu berbelok, Arga menurunkan kaca jendela dan melambaikan tangan sambil tersenyum. Lara membalas lambaian itu dengan dada yang hangat, meski ada sedikit perasaan sepi yang diam-diam mulai tumbuh.
Malamnya, seperti biasa, Arga menghubunginya.
“Sayang, aku udah sampai, kamu nggak usah khawatir, ya.”
Suara Arga terdengar ceria dari seberang.
“Syukurlah. Aku tadi hampir nelpon terus, takut kamu belum nyampe,” jawab Lara sambil tertawa kecil.
“Kamu ngapain aja hari ini?”
“Nggak banyak. Beresin rumah, nyiram bunga. Selebihnya cuma rebahan sambil mikirin kamu.”
“Hei, jangan melankolis gitu, nanti aku nggak fokus kerja.”
Lara terkekeh. “Yaudah deh. Kerja yang bener, jangan lupa makan.”
“Siap, istri cantikku.”
Malam itu Lara tidur dengan hati tenang. Arga selalu memperlakukannya dengan penuh cinta, perhatian, dan kelembutan.
Hari kedua. Lara bangun pagi dengan niat menelepon Arga lagi. Ia ingin meminta izin pulang kampung ke desa, sekadar menengok kedua orang tuanya dan adiknya. Sudah berbulan-bulan ia tak pulang, dan rindu mulai terasa menggelayuti dada.
Namun ketika ia mencoba menelepon, suara operator menjawab dingin.
“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”
Lara mengerutkan kening. Ia mencoba lagi. Sekali. Dua kali. Lima kali.
Masih sama.
Nomor Arga tidak aktif.
“Ah, mungkin lagi rapat,” gumamnya sambil menaruh ponsel di meja.
Siang hari, ia mencoba lagi. Malam pun begitu. Tapi tetap tak bisa. Tidak ada pesan, tidak ada kabar.
Hatinya mulai gelisah. Tapi ia mencoba berpikir positif. Arga orangnya profesional, mungkin sedang sibuk.
Namun malam itu, saat ia duduk di tepi ranjang menatap ponsel yang diam. perasaan rindu yang menekan dadanya semakin tak tertahankan. Besok sebaiknya dia pulang saja, setelah sampai atau di perjalanan dia akan kembali menghubungi Arga.
“Ya sudah,” gumamnya. “Aku pulang aja. Nggak apa-apa. Toh cuma beberapa hari.”
Keesokan paginya, Lara membereskan barang-barangnya. Ia memasukkan beberapa baju ke dalam koper kecil, Ia sempat ragu karena belum sempat meminta izin ke Arga, tapi hatinya berkata tidak apa-apa. Arga pasti mengerti.
“Tentu mereka bakal kaget,” katanya dalam hati.
Ia ingin memberi kejutan pada kedua orang tuanya, makanya tidak memberitahukan tentang kedatangannya.
Perjalanan memakan waktu enam jam. Mobil yang ia tumpangi berhenti di depan jalan kecil menuju rumahnya. Dari kejauhan, Lara melihat beberapa orang berkumpul di halaman. Banyak kursi, tenda putih dengan hiasan bunga.
Alisnya berkerut.
“Ada acara apa ini?”
Ia turun dari mobil, menenteng koper kecilnya, berjalan perlahan ke arah rumah. Beberapa tetangga melihatnya dan tersenyum.
“Lara! Wah, kamu pulang!” sapa salah satu tetangga dengan ramah.
Lara membalas senyum itu, meski hatinya mulai dipenuhi tanya.
Lara semakin penasaran. Langkahnya cepat menuju halaman rumah. Dari luar, terdengar lantunan doa dan suara penghulu.
“......Apakah Anda menerima Dila binti Rahman sebagai istri sah Anda dengan mas kawin tersebut?” Suara penghulu menggema.
“Saya terima nikahnya Dila binti Rahman dengan mas kawin tersebut, tunai.” Suara pria itu tegas dan jelas.
Namun, suara itu begitu Lara kenal, Suara yang menusuk telinga Lara seperti petir di siang bolong.
Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar.
"Kenapa mirip seperti suara mas Arga?"
Ia mempercepat langkah, menembus kerumunan orang. Beberapa wajah menoleh padanya, dan di sanalah semuanya berhenti.
Dunia seolah mematung.
Di tengah ruangan, duduk seorang pria dengan setelan jas abu-abu. Wajah itu…
Wajah yang sama yang beberapa hari lalu mengecup keningnya berkali-kali.
Dan di sebelah pria itu, dengan pakaian pengantin dengan wajah yang berhias cantik, duduk adiknya. Tersenyum malu-malu di hadapan penghulu.
Seketika ruangan hening, lalu disambut ucapan “Sah! Sah!” dari para saksi dan tamu.
Semua orang tersenyum bahagia.
Semua… kecuali Lara.
Tangannya gemetar. Koper kecil yang dibawanya terjatuh, menghantam lantai keras. Suara dentumannya membuat beberapa tamu menoleh ke arahnya.
“Lara?” suara ibunya, wajahnya seketika pucat.
Lara hanya bisa menatap dua orang itu, suaminya dan adiknya, yang kini telah resmi menjadi suami-istri di hadapan Tuhan.
Seketika pandangannya berkunang. Dunia terasa berputar. Nafasnya sesak.
Air mata yang sejak tadi ditahan tumpah tanpa bisa dicegah.
“Nggak… ini nggak mungkin…” gumamnya nyaris tanpa suara.
Langkahnya goyah, tapi ia tetap menatap Arga.
Pria itu, suaminya, juga menatap balik dengan wajah yang entah seperti apa. Arga juga tampak terkejut melihat Lara.
Semua orang di ruangan itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya melihat Lara menangis. Mungkin mereka berpikir ia terlalu terharu karena adiknya menikah.
Tak ada yang tahu, air mata itu bukan karena haru. Tapi karena hatinya baru saja dirobek hidup-hidup.
Ibunya menghampiri, mencoba menuntunnya duduk. Tapi Lara menepis lembut.
“Bu… ini apa?” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.
******
Untuk readers semua, selamat datang di karya baru author. Terima kasih untuk yang sudah membaca😘😘😘
Aku udh mmpir.....
Dr awl udh nysek,kbyang bgt skitnya jd lara....d khianati orng2 trdkatnya,apa lg dia tau kl dia cm ank angkat.....btw,hkum krma udh mlai dtang kya'nya....mnimal tau rsanya khilangn dn smga mrsakn pnyesaln s'umr hdp.....
sekarang nikmati saja karma kalian