Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertaruhan Sang Putri Mahkota
"Aku siap, Yang Mulia. Apa pun perintah Anda."
"Bagus," seulas senyum tipis terukir di bibir Hwa-young. "Tapi ... kita butuh alasan. Alasan yang sempurna untuk membawaku keluar dari sangkar emas ini, langsung ke jantung pasar, tanpa seekor pun anjing penjaga curiga." Ia melipat perkamen itu dengan gerakan cepat, menyelipkannya ke dalam lipatan hanboknya yang tebal. "Kita harus cerdik."
Namun, takdir bergerak lebih cepat dari rencananya. Saat semburat fajar pertama kali menyentuh genting paviliunnya, seorang pelayan datang tergesa-gesa, wajahnya pucat pasi. "Yang Mulia Putri Mahkota, Pangeran Mahkota memanggil Anda. Sekarang juga, di ruang kerjanya."
Udara di sekitar Hwa-young seakan membeku. Tentu saja. Yi Seon. Pria itu tidak akan pernah membiarkan misteri jurnal ibunya menguap begitu saja. Ia adalah pemburu yang sabar, dan Hwa-young tahu ia baru saja menginjak perangkapnya. Ini adalah ujian pertamanya.
"Baiklah," jawab Hwa-young, setenang permukaan danau sebelum badai. "Aku akan segera ke sana. Siapkan teh jahe hangat untukku saat aku kembali."
Ia menoleh pada Mae-ri, tatapannya tajam. "Jaga kotak kayu itu. Jangan sentuh apa pun sampai aku kembali."
Mae-ri membungkuk dalam, mengerti. "Baik, Yang Mulia."
Koridor istana yang remang-remang terasa seperti lorong penghakiman. Setiap langkahnya adalah kalkulasi, setiap tarikan napasnya adalah persiapan. Ia harus menjadi aktris yang ulung. Menjual sebuah kebohongan yang dibungkus dengan kebenaran yang paling menyakitkan.
Ruang kerja Yi Seon terasa dingin dan sesak oleh kekuasaan, gulungan peta perang, rak-rak buku tua yang berdebu, dan kilatan baja dari pedang yang tergantung di dinding. Yi Seon berdiri membelakanginya, siluetnya kaku di depan jendela yang menatap taman berkabut. Jenderal Kim berdiri diam di dekat pintu, seperti patung penjaga.
"Yang Mulia Pangeran Mahkota," sapa Hwa-young, sengaja dibuat sedikit rapuh saat ia membungkuk.
Yi Seon berbalik. Matanya, setajam belati, mengulitinya lapis demi lapis. "Selamat pagi, Putri Mahkota." rendah, bergetar dengan nada sarkasme yang dingin. "Kuharap kau tidur nyenyak setelah 'pertemuan mendesakmu' kemarin."
Hwa-young memilih mengabaikan sindiran itu. "Saya selalu siap melayani Anda, Yang Mulia."
"Bagus," Yi Seon mengangguk pelan, seolah sedang menilai seekor kuda. Ia melangkah mendekat, aroma kayu cendana dan ozon dari pakaiannya menyelimuti Hwa-young. "Kalau begitu, jangan buang waktuku. Jurnal ibumu. Kenapa kau begitu terobsesi dengannya?"
Hwa-young mengangkat dagunya, menatap lurus ke mata pria itu. Ia sudah melatih jawaban ini berulang kali dalam benaknya. "Terobsesi? Saya rasa itu kata yang terlalu kuat, Yang Mulia."
"Jangan bermain-main denganku," suara Yi Seon menajam, memecah ketenangan pagi itu. "Kang Jin-woo melapor kau memeluk buku usang itu seolah nyawamu bergantung padanya. Puan Lee bilang kau bertingkah aneh. Dan sekarang, kau menyuruh pelayan barumu mencari peta pasar? Jelaskan."
Jadi, dia sudah tahu tentang Mae-ri. Tentu saja. Mata dan telinganya ada di mana-mana. Hwa-young menelan ludah, sebuah gestur yang sengaja ia perlihatkan. "Saya tidak menyuruhnya mencari peta, Yang Mulia. Saya ... saya hanya butuh bantuan untuk menemukan sebuah lokasi."
"Lokasi apa?" desak Yi Seon, tidak memberinya ruang untuk bernapas.
"Sebuah tempat yang menyimpan kenangan terakhir dari Ibu Suri," jawab Hwa-young, membiarkan bergetar, memanggil kesedihan yang memang nyata. "Sebuah tempat yang sering beliau ceritakan sebelum..." Ia membiarkan kalimatnya menggantung.
Kening Yi Seon berkerut. "Kenangan? Apa maksudmu?"
"Cincin," bisik Hwa-young, tatapannya menerawang, seolah tersesat dalam ingatan yang menyakitkan. "Cincin warisan ibu. Beliau bilang, cincin itu adalah satu-satunya miliknya yang tidak akan pernah bisa direbut oleh siapa pun. Beliau menyembunyikannya di suatu tempat, dan petunjuknya ... ada di dalam jurnal itu."
Yi Seon menatapnya dengan curiga. "Cincin? Bukan salah satu perhiasan megah milik Ratu?"
"Bukan, Yang Mulia," Hwa-young menggeleng, setetes air mata sengaja ia biarkan menggenang di pelupuk matanya. "Ini bukan perhiasan dari perbendaharaan negara. Hanya cincin perak sederhana, dengan ukiran bunga teratai yang sangat halus. Ibu bilang, cincin itu adalah simbol kekuatan wanita dalam garis keturunan kami."
Ia mengamati wajah Yi Seon. Skeptis, tentu saja, tapi ada secercah keraguan di sana. Cerita itu cukup aneh untuk menjadi nyata, dan cincin itu cukup 'tidak berharga' untuk diabaikan oleh Keluarga Kang.
"Jadi," Yi Seon menyilangkan tangannya, nadanya mengejek, "kau mencari cincin perak tak berharga dengan petunjuk dari jurnal ibumu? Dan kau pikir benda itu ada di pasar?"
"Petunjuknya yang ada di jurnal, Yang Mulia. Bukan cincinnya," Hwa-young mengoreksi dengan lembut. "Ibuku wanita yang cerdik. Beliau sering berkata, 'harta sejati terkadang ditemukan di tempat yang paling tidak terduga, di antara rakyat jelata.' Saya yakin petunjuk itu mengarah ke salah satu toko kecil di pasar yang sering beliau kunjungi."
Keheningan menyelimuti ruangan. Yi Seon menatapnya lama, seolah mencoba menembus ke dalam jiwanya.
"Mengapa cincin itu begitu penting bagimu?"
Hwa-young menarik napas dalam-dalam. "Karena itu satu-satunya peninggalan ibuku yang tidak ternoda oleh tangan Keluarga Kang."
Sebuah kilatan melintas di mata Yi Seon. Pemahaman. Pria itu juga tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu karena klan serakah itu.
"Ini adalah pengingat," lanjut Hwa-young, "bahwa tidak semua yang berharga bisa diukur dengan kekuasaan."
Yi Seon masih belum sepenuhnya yakin, tapi ia melihat sebuah peluang. Jika Hwa-young benar-benar hanya mencari pernak-pernik sentimental, itu tidak mengancamnya. Dan jika usahanya itu membuat Nenek Suri Kang marah ... yah, itu adalah sebuah bonus yang manis.
"Kau ingin pergi mencarinya?" Yi Seon mengangkat alis. "Kau pikir bisa seenaknya berkeliaran di pasar? Sebagai Putri Mahkota?"
"Saya tidak akan pergi sebagai Putri Mahkota," jawab Hwa-young, senyum tipis yang menantang terbit di bibirnya. "Saya akan menyamar. Seperti yang sering ibu lakukan."
Yi Seon mendengus. "Menyamar? Kau pikir Nenek Suri akan membiarkannya?"
"Itulah mengapa saya membutuhkan Anda, Yang Mulia," kata Hwa-young, mengambil satu langkah lebih dekat, memasuki ruang pribadinya. "Saya tidak meminta Anda untuk percaya. Saya meminta Anda untuk bertaruh."
"Bertaruh?"
"Ya. Izinkan saya mencari cincin itu. Jika saya menemukannya, jika saya membuktikan bahwa cerita saya benar ... maka izinkan saya mengunjungi pasar itu setahun sekali. Hanya sekali. Dengan pengawasan ketat dari Anda. Untuk mengenang ibuku."
Tawaran itu sangat pribadi, dibungkus dengan kerapuhan seorang putri yang merindukan ibunya. Sebuah permintaan yang tidak berbau politik.
Yi Seon menatapnya lama, matanya menyipit. Ia melihat seorang wanita yang menantangnya dengan kecerdikan, bukan dengan pedang. Jika Hwa-young gagal, ia bisa menertawakan kenaifannya. Jika ia berhasil dan itu mengusik ketenangan Nenek Suri ... itu adalah kemenangan kecil baginya.
"Dan jika kau tidak menemukannya?" tanya Yi Seon, kembali sedingin es. "Jika semua ini hanya akal-akalanmu?"
Hwa-young mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Jika saya gagal, Yang Mulia, maka saya tidak akan pernah lagi meminta izin untuk meninggalkan istana. Saya akan menyerahkan jurnal ibuku kepada Anda ... untuk Anda bakar."
Itu adalah pertaruhan yang gila. Tapi kebebasan menuntut pengorbanan.
Yi Seon menghela napas panjang, berbalik memunggungi Hwa-young. "Kau ini pemberani," gumamnya, "atau bodoh."
"Hanya seorang putri yang merindukan ibunya, Yang Mulia," balas Hwa-young, menjaga tetap lirih.
Setelah hening yang terasa abadi, Yi Seon berbalik. Matanya berkilat dengan kalkulasi yang dingin.
"Baiklah, Putri Mahkota," katanya, menggema. "Aku setuju."
Gelombang kelegaan hampir membuat lutut Hwa-young lemas.
"Tapi jangan salah," Yi Seon melanjutkan, menancapkan tatapannya. "Aku tidak melakukannya karena percaya padamu. Aku melakukannya karena aku ingin melihat wajah Nenek Suri saat mendengarnya. Jika kau berbohong ... aku sendiri yang akan menghancurkanmu."
Ancaman itu nyata. Hwa-young mengangguk. "Saya mengerti, Yang Mulia."
"Bukan kepercayaan yang kuberikan," Yi Seon mendengus. "Aku hanya memberimu tali yang lebih panjang untuk menggantung dirimu sendiri. Sekarang, pergi. Dan temukan 'cincin'mu itu."
Hwa-young membungkuk dalam-dalam, lalu berjalan keluar dengan punggung tegak, jantungnya berdebar kencang oleh kemenangan.
Malam itu, di dapur kecil Paviliun Bulan Baru yang remang-remang, bau logam terbakar yang samar menguar di udara. Di bawah cahaya lampu minyak yang berkedip-kedip, Hwa-young dan Mae-ri membungkuk di atas sebuah kompor kecil.
"Cincin warisan? Tapi ... Yang Mulia, benda itu tidak ada," bisik Mae-ri cemas beberapa jam sebelumnya.
"Tentu saja ada," sahut Hwa-young, matanya berbinar licik. "Tepatnya, akan ada. Kita akan membuatnya."
Dan kini, di tangan Mae-ri yang ternyata luar biasa terampil, dua sendok perak curian yang usang telah meleleh dan dibentuk kembali. Dengan alat ukir kecil peninggalan ibunya, Mae-ri mengukir kelopak bunga teratai yang rumit di permukaan cincin yang baru mendingin.
"Buat terlihat tua," bisik Hwa-young. "Gores sedikit di sana. Jangan terlalu sempurna."
Beberapa saat kemudian, sebuah cincin perak yang tampak kuno, dengan ukiran bunga teratai yang anggun tapi usang, tergeletak di telapak tangan Hwa-young. Dingin, padat, dan nyata. Itu adalah kunci kebebasannya.
"Ini dia, Yang Mulia," bisik Mae-ri, matanya bersinar bangga. "Cincin warisan Anda."
Hwa-young tersenyum, senyum kemenangan yang sesungguhnya. Pertaruhan telah dibuat, dan ia akan memenangkannya. Ia menggenggam cincin itu erat-erat, merasakan dinginnya logam meresap ke kulitnya. Besok, ia akan "menemukan" harta karun ibunya. Permainan yang sebenarnya baru saja akan dimulai.
Ia menyelipkan cincin itu ke dalam kantong tersembunyi di jubah tidurnya, tepat saat mereka selesai membersihkan semua jejak pekerjaan mereka.
Tepat pada saat itu.
TOK ... TOK ... TOK...
Ketukan keras dan mendadak di pintu utama paviliun memecah keheningan malam. Hwa-young dan Mae-ri membeku, saling pandang dengan mata terbelalak ngeri.
Siapa yang datang di jam selarut ini?