Sekelompok siswa SMA dipaksa memainkan permainan Mafia yang mematikan di sebuah pusat retret. Siswa kelas 11 dari SMA Bunga Bangsa melakukan karyawisata. Saat malam tiba, semua siswa di gedung tersebut menerima pesan yang menunjukkan permainan mafia akan segera dimulai. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan menyingkirkan teman sekelas dan menemukan Mafia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perlawanan Fattah
“Ada seseorang minta tolong dan gue bingunglah, terus nemu kapak ini deh, ya udah gue bakal coba pake ini”
Merah meraih ujung seragam Agil, menarik untuk memberi isyarat agar mereka segera kembali ke ruang studio itu.
“Gue Fattah, gue adalah mafianya. Gue udah bunuh Lisa dan berniat membunuh Khalil karena dia tahu rahasia gue”
Suara lirih tangis dari pengeras suara, sangat jelas bahwa suara itu milik Fattah. Pria yang ternyata adalah seseorang yang Agil dengar sembari tadi, meminta tolong.
“Fattah yang minta tolong?”
Merah menoleh pada Khalil, “Iya nggak sih?”
“Si brengsek itu ngapain lagi sih?” Sadam berujar, sambil mencari letak suara itu berasal. Bersama Khalil juga yang masih kebingungan dengan dimana letak suara itu bisa tersalurkan, sementara dalam gedung semasa mereka menginap, tidak ada satupun speaker yang tertanam di dinding.
“Ayo cepat” dengan buru-buru, Khalil melangkah lebih dulu menuju studio.
Olive Memilih Fattah.
Nathan Memilih Fattah.
"Gue udah bilang, sekarang lepasin gue”
Hagian menghela napas, menatap Fattah yang penuh luka mulai melemaskan suaranya. Tatapan sayu dan kucuran darah mengalir dipelipisnya, mengenaskan.
Wira dan Jihan mencekam tubuh Fattah lebih erat saat Hagian berdiri tepat didepan pria itu.
“Katakan sebelum lo mati di tangan gue”
“Lepasin gue, Hagian brengsek!”
Brughhh…
Bahkan Wira yang masih setia memegang tubuh Fattah saja sempat tersingkir sejenak, sebelum kembali memegang tubuh Fattah. Helaan napas kasar sekaligus kemuakan sudah mengakar ke tubuh Hagian. Pria itu menekan dagu pria itu dengan tangan kanannya.
“Katakan atau gue bunuh lo disini?!”
“Lepasin gue,” lirihannya tidak diberi ampun.
Sepuntung rokok yang belum sempat Hagian sesap, dia raih kembali dari ujung meja. Bara yang menyala dengan sempurna mulai padam bersama teriakan Fattah yang dibungkam oleh Jihan.
“Katakan brengsek!”
Fattah menitihkan air mata tepat saat Hagian kembali menatap ke arahnya. Wajah memelas itu kembali dia apit dengan tangan, memaksa Fattah tetap memandang ke arahnya tak peduli buram pandangan yang dia miliki.
“Tolong lepasin gue”
“Woi brengsek! Buka pintunya?!”
Suar gebrakan dan seruan Khalil membuat keempat pria itu menoleh ke arah pintu.
“Aish, si brengsek itu!” Decak Hagian malas, tangannya dengan mudah meraih cutter kecil yang terletak tak jauh darinya.
“Lo mau ngapain?”
Jihan dan Wira mulai melemas saat Hagian menyuruh mereka memegangi tubuh Fattah lebih erat. Jari jempol dengan lihai mendorong pembatas untuk membuat pisau itu tampak.
“Pegangin yang bener?!”
“Lo mau ngapain, jangan?!”
“Gue nggak suka lihat cara lo ngelihat gue, munafik, dan menjijikkan”
Brughhh…
Tepat satu cm didepan mata Fattah, pintu terbuka dengan segerombol orang masuk secara bergantian. Menatap kekacauan studio dengan satu orang teraniaya oleh kelompok Khalil.
“Bedebah!”
Setelah berusaha mendobrak dan menggunakan kapak sebagai alternative membuka pintu itu. Akhirnya mereka bisa menyelamatkan Fattah dari ancaman kacau Hagian. Tubuh kekar itu melangkah mundur sebelum menatap ke arah Khalil dan pasukannya.
“Kalian mau liat gue bunuh mafianya?”
“Orang gila, lepasin Fattah!”
Hagian terkekeh, “dia mafia, Khalil. Dan gue pengen dia bicara secara ikhlas dari dalam hati dia, bukankah begitu Intan?”
Semua pasang mata tertuju pada Intan, sebelum akhirnya Khalil beranjak untuk membantu Fattah terlepas dari ketiga babi hutan itu.
“Astaga lo suka banget sih ganggu rencana gue?!” Hagian menarik seragam Khalil. Membanting tubuhnya kesembarang arah disusul ringisan kecil dari mulut Khalil.
Benturan antara punggung dan pintu dan sekarang pada tembok di studio, persetan!
“Gue nggak peduli kalo kalian mau mikir gue mafianya atau bukan, tapi yang jelas dia mafia aslinya?!” Hagian mendekati Khalil.
“Nggak gini caranya”
“Kalian ini berisik sekali”
Entah apa yang baru saja mereka lewatkan atau mereka terlalu fokus dengan perkelahian Khalil dan Hagian. Fattah sudah lebih dulu meraih kapak yang Khalil gunakan untuk menyelamatkannya. Dengan wajah penuh darah dan amarah, tubuhnya melangkah meraih tubuh Hagian.
“Bajingan ini!”
“Fattah, jangan gila!” Khalil beranjak lebih dulu, tepat saar mata katak itu tertanjam pada tempat punggung Khalil sempat bersandar.
Semua orang yang takut mulai meninggalkan ruangan, menyisakan mereka bertiga yang saling berkuasa satu sama lain dengan egonya.
“Lo gila?! Lepasin kapaknya?!” Seruan Khalil membuat Fattah menyeringai. Tangan yang semula ingin menyamah ke bagian Hagian berdiri. Mulai terarah pada Khalil yang melangkah keluar. Jalan satu-satunya untuk menghindar walau semua irang berpotensi dalam bahaya.
“Lari, jangan disini?!” Seruan Khalil membuat semua orang meninggalkan tempat, berhamburan tak karuan. Kecuali Arsya yang masih gemetar, berdiri di tempatnya sambil menatap Khalil yang tertodong kapak.
“Kalo gue mati, lo juga harus mati”
“Orang gila!” Hagian dari arah belakang, melempar kursi yang paling mudah dia raih. Dia hantamkan pada punggung Fattah yang justru membuat orang tersisa sempat terdiam.
Khalil beranjak, tepat saat Hagian berlari ke arah yang lebih sulit di jangkau. Pada lorong menuju aula lewat jalur kiri. Sementara Khalil yang hendak menyusul mulai memperhatikan tubuh Arsya yang masih terdiam kaku, berdiri tak jauh darinya tepat pada jalur kanan menuju asrama penginapan.
“Brengsek”
Lirihan Fattah membuatnya segera menarik lengan Arsya. Berlari sekencang mungkin untuk meninggalian Fattah. Sekiranya melindungi Arsya lebih dulu sebelum kembalinya bertemu dengan Fattah.
“Dimana Dion?! Astaga dia bahkan ninggalin lo disaat hal kayak gini?”
Arsya yang panik terus menoleh ke belakang. Tidak berharap Fattah mengikuti mereka dan lebih tepatnya tidak mengubris omongan Khalil.
“Arsya, katakan sesuatu?!”
“Gue nggak tahu, lebih baik kita sembunyi!” Gadis itu menangis? Khalil bisa lihat betul setetes air mata jatuh sebelum tubuh mungil itu dia tarik dalam lorong sempit yang jadi pusat perhatiannya.
“Bajingan gila itu, Hagian tidak penting, Khalil adalah hamanya” desis suara Fattah yang sempat menggema di lorong membuat Arsya semakin ketakutan.
Deg… deg… deg…
Khalil membungkam mulut gadis yang berdiri dihadapannya. Mereka sama-sama menahan napas agar tidak ketahuan. Lagian kenapa Khalil membawanya ke tempat sempit ini sih? Jangankan manusia, bahkan udara saja sepertinya enggan untuk melewati tempat ini.
“Aish bedebah” Fattah berlari saat mendapati Hagian sudah lebih dulu sampai aula, bersama semua orang yang sedang sibuk bersembunyi.
“Hagian, bajingan!”
Gema itu membuat Hagian panik. Namun tetap tidak membuat Khalil dan Arsya meninggalkan tempat persembunyian mereka.
"Hagian?”
Khalil melepas bungkaman tangannya dari mulut Arsya, lantas keluar lebih dulu untuk memastikan situasi aman.
“Dia bahkan bantuin gue supaya nggak dibunuh, anjir serba salah banget gue, cok”
Saat tubuhnya hendak mengikuti langkah kaki Fattah turun ke aula. Arsya sudah lebih dulu menghadangnya, “jangan, Khal. Ini terlalu bahaya dan kita semua masih butuh lo”
Khalil terdiam. Binar dimata Arsya membuatnya tidak bisa bicara lebih. Bahkan suara kericuhan akibat Fattah yang tidak terima karena Hagian sudah menganiayanyapun tidak mereka gubris.
“Khal, jangan” Arsya kembali menggeleng.
Dion yang berada tak jauh dari mereka, yang berniat menghampiri pun terdiam menatap bagaimaan Arsya menggenggam lengan Khalil dengan erat. Atmosfer yang berbeda, bahkan saat ketika bersama.
“Seenaknya meruntuk orang lain, lo pikir lo berkuasa disini?!”
“Astaga, tolong jauhkan kapak itu!”
“Hagian akan mati!”
“Lepaskan, Fattah!”
“Orang gila!”
“Bedebah”
Hagian tersungkur saat sebuah kursi menyandungnya. Tepat saat kapak itu melayang di udara, suara gema permainan menghentikan kegiatan Fattah, menjadikan mereka juga diam sambil menunggu pesan apa yang akan di sampaikan.
Pemungutan Suara Selesai.
Fattah dengan suara terbanyak akan dieksekusi.
Khalil dan Arsya menoleh. Tepat saat semua pasang mata mulai melihat ke arah Fattah yang menjatuhkan kapaknya ke lantai. Disusul perlakuan aneh seperti bagaimana teman-teman mereka mati sebelumnya. Lebih mudahnya, Fattah bahkan hanya perlu menggunakan kapak yang hendak dia gunakan untuk membunuh Khalil dan Hagian untuk membunuh dirinya sendiri.
“Astaga, itu orang memang gila?!”
“Fattah hentikan?!”
“Orang sinting!”
Fattah adalah Mafia.
Sebagian orang masih membelalakkan mata tidak percaya. Sebagian juga bernapas lega karena telah membunuh mafia lainnya. Sementara Hagian, pria itu merasa dirinya menang dan tebakannya sukses membuat semua orang percaya dengannya.
“Lihat, gue udah bilang apa?!”
Gema suara Hagian membuat mereka semua ambruk, dengan napas yang tidak beraturan. Tentu Hagian juga, disusul Jihan dan Wira. Pria itu memejamkan kedua matanya setelah melewati hari yang panjang.
“Bedebah itu, Khalil lo dimana?!”
Arsya kembali menatap Khalil yang masih diam, “apa yang lo pikirin?”
“Gue cuman nggak nyangka aja kita ada disini, gue takut, Sya” Khalil menunduk, menatap pergelangan tangannya yang masih di genggam Arsya.
Tepat saat tangan lainnya hampir mengusap rambut Khalil, bel bersamaan berbunyi. Membuat semua murid tersisa terlelap dari tidurnya masing masing.