NovelToon NovelToon
Beginning And End Season 2

Beginning And End Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Misteri / Cintapertama / Balas Dendam / Romansa Fantasi / Anime
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: raffa zahran dio

Lanjutan dari Beginning And End.

Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.

Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.

Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.

Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 : Mike melihat foto Lynn.

Udara dingin Moskow menusuk kulit mereka saat keempat anggota tim—Reina, Alisiya, Mike, Jimmy, dan Helena—muncul dari pintu teleportasi laboratorium Reiz dan Tia. Cahaya biru menyilaukan sekejap, lalu menghilang, meninggalkan mereka di lorong laboratorium yang bersih dan modern. Malam itu terasa istimewa bagi Reina; ini misi pertamanya di bawah komando Craig, dan sebuah senyum tipis bermain di bibirnya. Aroma logam dan sesuatu yang samar-samar manis—mungkin sisa-sisa pembersih udara—menggelitik hidungnya.

Mereka berjalan menuju ruang istirahat, sebuah ruangan yang nyaman dengan sofa-sofa kulit dan meja kopi rendah yang elegan. Reina bersandar di sofa, menggerakkan bahunya, mencoba melepaskan ketegangan otot setelah pertarungan sengit. "Wah… ternyata asyik juga ya!" serunya, suaranya bercampur lega dan sedikit tak percaya.

Mike, duduk di sofa di sampingnya, tersenyum kecil. Ia mengusap rambutnya yang sedikit berantakan, menunjukkan kelelahan namun juga kepuasan. "Iya, Reina… dan jujur… aku nggak nyangka kau secepat itu bertarung. Gerakanmu… luar biasa." Suaranya tulus, menunjukkan kekaguman yang tulus.

Reina tertawa kecil, menunjukkan sedikit rasa bangga. "Ya… di Tokyo, waktu aku kelas 10, aku langsung turun tangan untuk penyelamatan pernikahan Bang Reiz dan Tia. Sebelum itu, aku minta diajari karate sama seorang gadis imut, suka banget makan permen, dan agak kekanak-kanakan. Namanya Sun San Ryu. Orang Cina, aslinya." Ia menggoyangkan kakinya dengan riang, mengingat kembali masa lalunya. Ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih lembut, menunjukkan kenangan yang menyenangkan.

Alisiya, yang duduk di sofa seberang, mengangguk setuju. Ia menyilangkan tangannya di dada, menunjukkan sedikit rasa tidak percaya. "Mike… kenapa kau masih nggak percaya? Lihat sendiri waktu dia melawan aku. Dia cuma pakai besi buat lawan sabitku…" Suaranya sedikit kesal, menunjukkan sedikit rasa frustrasi karena keraguan Mike.

Jimmy, yang selalu tenang, menambahkan dengan suara lembut, "Ya… Mike… Mike… makanya… kalau kita satu tim, kita nggak boleh ragu sama rekan. Itu yang selalu Reina katakan." Ia menepuk pundak Mike pelan, menunjukkan dukungan dan pengertian.

Helena, yang selalu mengamati, berkata dengan suara tenang, "Iya… ngomong-ngomong, Reina… bisa berhenti sebentar? Alisiya, Mike, kalian berdiri di dekat Reina." Suaranya datar, namun tatapan matanya menunjukkan bahwa ia sedang melakukan sesuatu yang penting.

Ketiga orang itu—Reina, Alisiya, dan Mike—berdiri berjajar di depan Helena. Helena menekan jam tangannya, dan sebuah hologram biru muncul, menampilkan data vital mereka bertiga. Angka-angka itu berkedip-kedip, menunjukkan persentase daya tubuh mereka: Reina 87%, Alisiya 75%, dan Mike 81%.

Helena menghela napas pelan, menunjukkan kelelahan namun juga kepuasan. "Dan Reina yang punya daya tahan tubuh tertinggi di antara kalian. Sedangkan aku… 63%." Ia tersenyum kecil, menunjukkan bahwa ia menerima kondisi tubuhnya. Suasana di ruangan itu menjadi lebih rileks, dipenuhi dengan rasa lega dan persahabatan yang kuat di antara mereka. Mereka telah melewati sesuatu yang sangat berbahaya bersama-sama, dan itu telah memperkukuh ikatan persahabatan mereka.

Keheningan pasca-pertempuran di ruang istirahat laboratorium Reiz dan Tia di Moskow terasa berat, dipenuhi aroma kopi dingin dan logam. Reina, rambutnya yang panjang terurai di bahu, menggerakkan bahu, mencoba melepaskan ketegangan otot. Ekspresinya, meski kelelahan, tetap tajam dan waspada. "Ngomong-ngomong," katanya, suaranya memecah kesunyian, "Alice mana?"

Jimmy, yang sedang membersihkan sedikit darah kering yang menempel di sarung tangannya, menunjuk ke arah kursi empuk di sudut ruangan. Alice tertidur lelap di sana, kepala bersandar pada bantal kucing putih kesayangannya. Lima layar monitor di depannya masih menyala, menampilkan deretan kode yang rumit, bukti dari kerja kerasnya mengendalikan armada lebah robot. Napasnya teratur dan dalam, menunjukkan tidur yang nyenyak, namun ada sedikit keringat yang menempel di keningnya.

Mike, dengan senyum tipis yang memperlihatkan sedikit lesuh di wajahnya, mengatakan, "Jimmy, angkat dia ke kasur. Tidurkan dengan baik, dan jangan lupa selimutnya." Ia bersandar ke sofa kulit, mencoba meredakan otot-ototnya yang tegang.

Jimmy mengerutkan dahi, menunjukkan ketidaksetujuan. "Loh? Kenapa aku? Aku kan udah capek juga." Ia menggaruk kepalanya, gerakannya sedikit kikuk, menunjukkan rasa ragu dan sedikit malas.

Helena, dengan tenang, menatap Jimmy dengan tatapan yang tajam. "Yaelah, Jimmy. Kau yang paling dekat dengannya. Jangan banyak alasan." Suaranya datar, namun nada suaranya menunjukkan sedikit ketidaksabaran. Ia menyilangkan kaki, menunjukkan sikap yang tegas dan tidak mau berdebat.

Jimmy menghela napas panjang, menunjukkan kepasrahannya. "Haaah… Baiklah!" Ia berdiri, gerakannya lambat dan enggan, menunjukkan keengganannya untuk melakukan tugas tersebut. Ekspresi wajahnya menunjukkan campuran rasa jengkel dan sedikit rasa bersalah.

Menjelang Alice, Jimmy memperhatikan detail-detail kecil: cara Alice memeluk erat bantal kucingnya, helai rambutnya yang jatuh di wajahnya, napasnya yang teratur dan tenang. Ia mengangkat Alice dengan hati-hati, namun ia mengerutkan kening. "Astaga… mungil-mungil, berat juga ya!" Ia bergumam, menunjukkan rasa heran dan sedikit rasa kesal.

Alice menggumam dalam tidurnya, suaranya sedikit merengek. "Bau… busuk… Jimmy… mandi… sana…"

Jimmy langsung meledak. "Dasar…!" Ia hampir saja mengumpat, namun ia menahan diri. Ia meletakkan Alice di kasur dengan sedikit kasar, lalu menyelimutinya dengan asal-asalan. Ia kembali ke tempat duduknya, menunjukkan kemarahan yang terpendam. Wajahnya merah padam, menunjukkan rasa kesalnya.

Ketika Jimmy duduk, keempat rekannya menatapnya dengan tatapan tajam, menciptakan suasana yang menegangkan. Jimmy meringis, menunjukkan rasa tidak nyaman. "Apa sih? Kalian natap aku kayak gitu!" Suaranya sedikit berteriak, menunjukkan rasa jengkelnya.

Reina menahan tawa, mencoba untuk tidak tertawa terlalu keras. "Jimmy," ia bertanya dengan suara yang sedikit mengejek, "kamu jarang mandi, ya?" Senyum kecil terlihat di bibirnya.

Wajah Jimmy memerah, menunjukkan rasa malu dan sedikit tersinggung. "Jangan asal tuduh!" Ia mengatakan itu dengan suara yang sedikit keras, menunjukkan bahwa ia sedikit tersinggung.

Reina, Alisiya, Mike, dan Helena tertawa kecil, suara tawa mereka memecah ketegangan dan menciptakan suasana yang lebih rileks. Mereka telah melewati sesuatu yang sangat berbahaya bersama-sama, dan itu telah memperkukuh ikatan persahabatan mereka. Kelelahan dan ketegangan pertempuran sebelumnya tergantikan oleh rasa lega dan kehangatan persahabatan yang kuat, dibumbui dengan sedikit canda dan tawa yang mencairkan suasana. Aroma kopi dingin dan logam seakan tergantikan oleh aroma persahabatan yang hangat dan nyaman.

"Ngomong-ngomong," Reina memulai, suaranya bersemangat, mata emeraldnya berkilat. Ia bersandar ke sofa kulit, menggerakkan kaki jenjangnya dengan santai, menunjukkan rasa santai namun tetap waspada. "Kalian mau lihat kenangan masa laluku? Foto-foto jadul yang bikin ngakak?" Senyumnya merekah, menunjukkan gigi putih yang sempurna.

Alisiya, yang sedang asyik memainkan ponselnya, langsung mengangkat wajah, rambut pirangnya yang panjang tergerai di bahu, menunjukkan semangat yang tinggi. "Mau banget! Aku pengin lihat Andras dan Leon! Khususnya Leon, aku dengar dia punya koleksi komik langka!" Ia menggerakkan kakinya dengan semangat, menunjukkan rasa ingin tahu yang membuncah.

Reina tertawa kecil, menunjukkan bahwa ia mengerti rasa ingin tahu Alisiya. Ia mengangguk, jari-jarinya menari dengan cepat dan terampil di atas remote TV yang berkilau di bawah cahaya lampu ruangan. Layar TV HD menyala, menampilkan album foto digital yang tersimpan dengan rapi. Foto pertama muncul: Reina, Kei, Andras, dan Leon berdiri di pinggir lapangan bola yang sedang direnovasi. Reina tersenyum ceria, menunjukkan gigi putihnya yang bersinar, sementara Kei, Andras, dan Leon menunjukkan ekspresi wajah yang lebih pendiam, bahkan sedikit dingin. Kei menyilangkan tangan di dada, menunjukkan sikapnya yang selalu datar.

Reina menjelaskan, suaranya sedikit melambat, mengingat kembali kenangan itu, "Ini waktu kita lagi liat lapangan yang lagi direnovasi. Kei lagi marah karena proyeknya tertunda. Dia sampai ngomel-ngomel terus sampai kita pusing dengernya." Ia menggerakkan jari tangannya, mencoba untuk mengingat detail-detail kecil dari kenangan itu, ekspresinya berubah menjadi sedikit lucu saat mengingat kemarahan Kei.

Jimmy, yang sedang menyeka keringat di keningnya dengan handuk kecil, menambahkan, suaranya penuh dengan rasa mengerti, "Wah… Kei kekasihmu memang wajahnya selalu datar ya. Sedangkan kamu… ya udah ketauan… ekspresimu berubah-ubah banget! Dari ceria sampai bisa jadi garang dalam sekejap." Ia tersenyum kecil, menunjukkan rasa mengerti dan sedikit mengejek.

Reina tertawa kecil, menunjukkan sedikit rasa malu. "Ya… gatau juga sih…" Ia mengelengkan kepala dengan riang, menunjukkan bahwa ia juga tidak mengetahui kenapa ekspresi wajahnya bisa berubah-ubah dengan cepat. Ia menggerakkan bahunya dengan santai, menunjukkan bahwa ia tidak terlalu memikirkan hal itu.

Reina menekan remote lagi, menampilkan foto lainnya. Kali ini, foto saat konser TKCS-8. Reina berdiri di tengah-tengah teman-temannya, menunjukkan senyum yang sangat ceria dan penuh energi. "Ini waktu konser TKCS-8. Lihat, aku sama mereka semua. Yang pegang gitar listrik dan rambutnya pink itu… sepupu aku, Amane Yumi. Dia jago banget main gitarnya, sampai-sampai aku iri!" Suaranya penuh dengan rasa bangga dan sedikit rasa iri. Ia menunjuk ke arah foto itu dengan jari tangannya, menunjukkan rasa bangga.

Alisiya langsung bereaksi, matanya membesar karena terkejut. Ia menggerakkan badannya ke depan, menunjukkan rasa ingin tahu yang sangat besar. "Amane Yumi? Tunggu… Yumi, Emi, Earl, dan Max… kamu berteman sama anggota YMEE Band?! Serius?!" Suaranya penuh dengan ketidakpercayaan dan kekaguman. Ia adalah penggemar YMEE Band, dan ia tidak percaya bahwa Reina berteman dengan anggota band tersebut. Ia menggerakkan tangannya dengan semangat, menunjukkan rasa kagumnya.

Reina menunjukkan senyum bangga, menunjukkan bahwa ia bangga dengan persahabatannya dengan anggota YMEE Band. "Lebih tepatnya, mereka semua—total 14 orang—itu kelompok kita waktu SMA! Kita sering main musik bareng, dan kadang sampai malam!" Ia menggerakkan tangannya untuk menekankan perkataannya.

Reina menunjukkan foto lain, kali ini foto yang lebih pribadi. Ia menunjukkan foto itu dengan senyum yang lembut, mengingat kembali masa lalunya. "Dan ini… waktu aku umur 13 tahun… aku sama Arisu Lynn. Kita lagi nonton Sword Art Online! Dia fans berat Kirito!" Suaranya penuh dengan kenangan yang indah.

Mike, yang selama ini tenang, tiba-tiba menunjukkan minat yang sangat tinggi. Matanya berbinar saat melihat wajah Arisu Lynn di foto tersebut. Ia menatap foto itu dengan tatapan yang dalam dan penuh rasa ingin tahu. "Reina… aku penasaran sama temanmu itu… ada foto kalian lagi nggak?" Suaranya bergetar sedikit, menunjukkan rasa ingin tahu yang besar dan sedikit rasa gugup. Ia menggerakkan badannya ke depan, menunjukkan rasa ingin tahu yang sangat besar. Pipinya merah sedikit, menunjukkan bahwa ia sedikit gugup.

Reina tersenyum, menunjukkan bahwa ia mengerti perasaan Mike. "Ada, dong!" Ia menunjukkan foto lain, foto di mana ia dan Lynn berdiri bersama, keduanya mengenakan gaun indah. Reina mengenakan gaun hitam, sedangkan Lynn mengenakan gaun silver yang berkilauan. Rambut Lynn yang pendek dan bergelombang silver, serta mata merahnya yang tajam, membuat Mike merasa terpukau. Wajah Mike merah padam, menunjukkan bahwa ia sangat terkesan. Ia menatap foto itu dengan tatapan yang dalam dan penuh rasa kagum. Ia menggerakkan badannya ke depan, menunjukkan rasa ingin tahu yang sangat besar. Napasnya terdengar sedikit terengah-engah.

Reina, Alisiya, Jimmy, dan Helena berdehem keras, menunjukkan bahwa mereka memperhatikan reaksi Mike. Jimmy menambahkan dengan nada mengejek, "Nah! Ada yang kepincut nih… tapi siapa ya?" Ia tersenyum kecil, menunjukkan bahwa ia mengejek Mike.

Alisiya, dengan hidung yang tajam, berkata, "Hmm… aroma cinta pandangan pertama… kuat banget!" Ia menunjukkan senyum yang mengejek.

Mike, tersadar bahwa Jimmy dan Alisiya sedang mengejeknya, berkata dengan sedikit marah, "Hei!" Ia menunjukkan rasa malunya. Wajahnya merah padam.

Reina tertawa kecil, mencoba untuk menenangkan Mike. "Tenang aja, Mike. Dia masih jomblo. Tapi… kamu bakal tahan nggak sama sikapnya yang dingin? Di SMA aku, dia gadis paling dingin… tapi baik hati, kok." Ia menunjukkan senyum yang hangat, menunjukkan bahwa ia mengerti perasaan Mike.

Mike menundukkan kepala, menunjukkan rasa malu dan sedikit rasa takut. "Aku… ingin ketemu dia…" Suaranya hampir tak terdengar.

Semua orang lain berteriak serentak, "Cie… cie…" Suasana ruangan dipenuhi dengan tawa dan canda yang meriah. Mereka telah melewati pertempuran yang berat bersama, dan kini suasana rileks dan hangat menyelimuti mereka. Momen itu menunjukkan ikatan persahabatan yang kuat di antara mereka. Dan di balik tawa dan canda itu, tersimpan sebuah rasa persahabatan yang dalam dan tak tergoyahkan. Aroma kopi dingin dan logam seakan tergantikan oleh aroma persahabatan yang hangat dan nyaman.

1
Riri
ini bukan maha karya, ini sebuah wahyu yang di tulis dengan tinta jiwa dewa author 🤓🙀
secret: wihhh 😭🙏🙏
total 1 replies
Rezaa..
semoga season dua lebih bagus dari season satu... no momy Andras 😭
secret: gapapa... nanti Andras muncul lagi kok... tapi nunggu lama ya wkwkw
total 1 replies
Rezaa..
baru bangun dari kematian lansung rasis si Reina cok 🤣🤣
secret: rasis dulu sebelum membantai /CoolGuy/
total 1 replies
esere
Serius... cerita ini walaupun panjang, tapi seru... karakter karakter nya unik sama narasi nya hidup gitu... pokok nya setia dari s1 🔥
secret: yoi dong 🤝
total 1 replies
esere
hampir kenak parani gara gara Reina mati 😭😭
secret: Dawg... mereka lansung putus asa baca waktu Reina mati 🤣
total 1 replies
Author Sylvia
semangat,moga rame yang baca/Smile/
secret: makasih ya author... kamu juga!!
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!