Bagaimana jadinya jika kamu menjadi anak tunggal perempuan di dalam keluarga yang memiliki 6 saudara laki-laki?
Yah, inilah yang dirasakan oleh Satu Putri Princes Permata Berharga. Namanya rumit, ya sama seperti perjuangan Abdul dan Marti yang menginginkan anak perempuan.
Ikuti kisah seru Satu Putri Princes Permata Berharga bersama dengan keenam saudara laki-lakinya yang memiliki karakter berbeda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurcahyani Hayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Baru Permulaan
Abdul dan Marti saling bertatapan. Mereka sampai lupa dengan yang satu ini. Resep itu berhasil jadi resepnya harus dihentikan.
...----------------...
"Buka!"
"Nggak mau!"
"Buka bajunya Pradu!" pinta Marti sambil menarik ujung baju pink yang terpasang di tubuh Pradu yang sesekali melangkah mundur berusaha menjauhi tangan Marti.
"Pradu! Jangan aneh-aneh dong, nak! Ini itu baju perempuan."
"Tapi Pradu suka."
"Ganti nggak bajunya!" ujarnya dengan nada mengancam. Jarinya menunjuk seakan siap untuk melayangkan cubitan.
Pradu menangis. Air matanya kini sudah tumpah ruah. Ia sesenggukan sambil sesekali mengusap pipinya yang basah.
"Ingat ya Pradu Mama itu pakaikan kamu baju perempuan supaya Mama punya anak perempuan bukan berarti kamu yang jadi anak perempuan selamanya."
"Mama sudah punya anak perempuan jadi kamu harus stop jadi anak perempuan."
"Malu tahu kalau tetangga pada lihat kamu pakai baju perempuan sampai kamu besar," celotehnya.
Pradu tetap menggeleng. Ia mendorong tangan Marti menjauh dari bajunya. Pradu takut jika baju kesayangannya itu robek.
"Ayo cepetan buka!"
"Tidak mau."
"Nanti Mama beliin baju baru yang keren."
"Tidak mau," tolaknya lagi.
Marti mendecapkan bibirnya dengan kesal. Wajahnya terasa panas karena marah. Ia memukul paha anaknya itu membuat Pratama, Praga, Prapat, Pralim dan Pranam menutup pintu dengan rapat. Sudah sejak tadi mereka mengintip di balik celah pintu kamar yang dibuka perlahan.
"Kamu mau jadi bencong, hah?" teriaknya membuat anak-anak yang ada di dalam kamar tersentak kaget.
"Astagfirullah," ujar Prapat sambil mengusap dada.
"Iya Ma," jawab Pradu membuat Marti melongo.
"Kamu mau jadi bencong?" tanya Marti lagi yang masih tak percaya.
"Iya, Pradu mau jadi bencong!!!" teriak Pradu lalu berlari masuk ke dalam kamar membuat saudara-saudara yang lainnya tersentak kaget.
Marti memijat kepalanya yang sakit ditambah lagi saat ia berdiri di pintu kamar sembari menatap Pradu yang menangis sesenggukan sambil tengkurap di atas kasur. Ia menangis seperti anak perempuan.
Tolong, ini tidak bisa diselamatkan lagi. Pradu sudah belok dari arah yang lurus.
...----------------...
Abdul sibuk mengerjakan beberapa lemari yang ada di samping rumah. Ada beberapa pesanan yang ia dapat dari luar kota dan harus ia kirim besok.
Gerakan tangan Abdul yang sedang memberikan cat warna pada lemari terhenti ketika suara pertengkaran kecil terdengar dari dalam ruang tv. Anak-anaknya pasti sedang berebut sesuatu.
Mau tak mau Abdul menghentikan pekerjaannya lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Abdul menghela nafas ketika ia mendapati Praga dan Prapat saling merebutkan remote TV.
Sementara anak-anaknya yang lain hanya menjadi penonton dan tidak ada yang berani melerai pertengkaran di antara mereka karena yang terlibat adalah Praga, si bocah nakal itu.
"Loh ada apa ini? Kenapa berantem?"
"Bapak! Prapat mau nonton ceramah di TV-"
"Tapi gue mau nonton tinju," potong Praga.
Mereka masih saling tarik menarik, merebutkan remote yang siap hancur. Remote TV itu sudah diikat dengan karet agar tidak terbongkar. Sudah banyak kali remote itu jatuh akibat rebutan siaran TV.
Yah, seperti yang terjadi malam ini di mana Praga ingin menonton tinju sementara Prapat ingin menonton ceramah. Kalau bisa rasanya Abdul ingin membelah TV itu menjadi dua.
"Bapak, saya mau nonton bikin laper," ujar Pratama sambil mengacungkan jari tangannya.
"Enak aja, saya mau nonton tutorial make up," sahut Pradu yang tak mau kalah.
"Bagusan juga stand up komedi," tambah Pranam.
Di balik keributan yang terjadi malam itu ada satu yang tidak ikut campur. Yah, dia adalah Pralim, si bocah tampan yang baru Abdul sadari jika anaknya itu yang paling pendiam di antara anaknya yang lain.
Semuanya saling berdebat mempertahankan kemauannya masing-masing. Abdul mendecapkan bibirnya kesal. Ia merem*s kepalanya yang begitu sangat sakit. Rasanya ada yang berdenyut di dalam sana ketika ruangan TV penuh dengan suara pertengkaran.
Sudah! Ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus mengambil keputusan.
5 Menit Kemudian....
Pratama, Pradu, Praga, Prapat, Pralim dan Pranam mendongak menatap TV yang sudah ada di atas lemari. Abdul memutuskan untuk menyimpan TV yang menjadi bahan rebutan itu di atas lemari. Jika seperti ini tidak ada lagi anak-anaknya yang bertengkar.
Abdul tersenyum lalu melangkah pergi untuk melanjutkan pekerjaannya sementara anak-anaknya yang lain kini terdiam lalu beberapa saat kemudian saling bertatapan satu sama lain.
"Kita main tinju-tinju, yuk!" ajak Praga sambil tersenyum licik, Ini kesempatan baginya untuk menghajar saudara-saudaranya itu.
"Mending kita main princess-princessan," usul Pradu membuat yang lainnya mengernyit bingung.
"Kan Incces udah tidur, terus siapa yang mau jadi putrinya," ujar Pratama.
"Ya nggak mungkin inces lah, kan Incces masih bayi jadi putrinya akyuuu," jawab Pradu dengan centil.
"Ish," geli Praga merasa jijik.
"Aku jadi apa?" tanya Pratama sambil mengangkat jari telunjuknya.
"Kamyu jadi pengawal."
"Tidak ah, saya mau jadi tukang masak aja," tolak Pratama.
Pradu menjelingkan mata, tak suka dengan jawaban itu. Selalu saja berhubungan dengan makanan.
"Udahlah jadi pengawal akyu aja. Abang Pratama jadi pengawal, adek Praga jadi orang jahatnya-"
Praga tersenyum bahagia, ia mendapat peran yang ia suka.
"Prapat jadi-"
"Saya jadi ustad aja, ya!" minta Prapat dengan wajah penuh harap.
"Gila kali kamyuuu, di istana nggak ada ustad! Kamuuu jadi pengawal juga," tolaknya mentah-mentah membuat Prapat cemberut.
"Saya jadi apa?" tanya Pranam yang sejak tadi menunggu peran.
"Kamu jadi pengawal juga."
Pranam menghela nafas. Ia tidak suka dengan perannya.
"Nah si Pralim jadi apa?" Tunjuk Pranam ke arah Pralim yang sejak tadi hanya terdiam.
"Kalau si Pralim jadi pangeran akyuuu," ujar Pradu lalu berlari dan memeluk tubuh Pralim yang hanya terdiam.
Sudut bibir Praga nampak naik, wajahnya menatap tak suka pada Pradu yang menggeliat manja di tangan Pralim yang hanya bisa terdiam.
"Dah, gue nggak jadi main," ujar Praga lalu melangkah pergi meninggalkan saudara-saudaranya yang lain.
"Harus main dong! Praga!" teriak Pradu tak terima.
Praga tak mempedulikan teriakan itu. Baginya suara teriakan Pradu mirip suara tikus kejepit atau mungkin lebih mirip suara yang berusaha dimanja-manjakan. Praga tidak suka sesuatu yang manja.
"Pengawal tangkap dia!!! Teriak Pradu membuat para pengawal abal-abal itu berlari berniat untuk menahan Praga.
Tapi langkah mereka terhenti saat menatap wajah Praga yang menoleh. Wajah si tukang tinju itu seakan menakut-nakuti Pratama, Prapat dan Pranam.
"Ayo tangkap dia!!!" jerit Pradu begitu melengking.
Abdul menggelengkan kepalanya setelah mendengar suara teriakan anak-anaknya di dalam rumah. Ia pikir ketika ia sudah meletakkan TV itu di atas lemari bisa membuat anak-anaknya diam tapi tetap saja selalu ada sesuatu yang membuat keributan.
Tapi sabar saja, ini baru permulaan.
Seru juga bacanya