Satu Perempuan
Rumah Bersalin Sayang Ibu, itu yang tertulis di papan besar yang berhasil membuat anak kecil bertubuh gemuk dengan pipi seperti bakpao mendongak menatap tulisan. Sudah sejak tadi ia menatapnya namun belum mampu membacanya. Gambar wanita dengan warna yang sengaja diberi mencolok serta bayi mungil berhasil menarik perhatiannya sejak tadi.
Motor-motor yang terparkir seakan menenggelamkan tubuh gemuknya, nyaris tidak terlihat. Tubuh gemuk yang merebut satu jatah lahan kosong untuk satu parkir motor. Hobinya hanya makan, yah hanya itu lalu apa lagi? Jika anak seusianya hanya mampu makan setengah piring tapi bocah gendut itu mampu menghabisi tiga piring sekaligus. Ada yang minat untuk mengadopsinya?
Namanya Pratama Putra, panggil saja ia Prata atau si gentong berkulit sawo matang akibat panas terik matahari. Anak yang baru berusia tiga tahun itu dibiarkan sendiri diluar. Bapaknya, Abdul sengaja mengikat pergelangan tangan bocah gemuk itu dengan tali rafia pada sebuah tiang yang menopang papan yang bertuliskan nama tempat dimana Marti, mamak Prata yang kini sedang mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan adik kedua untuk Prata.
Abdul takut bocah rakus yang bisa menghabiskan tiga piring sekaligus itu hilang begitu saja. Sia-sia diberikan makan jika akan hilang begitu saja tanpa merasakan uang hasil kerja saat bocah rakus itu besar nanti.
Menghidupi satu anak gendut seperti Prata sangat susah, beras mahal setiap tahunnya. Semakin mahal beras semakin banyak pula yang dimakan oleh bocah gentong itu.
Pria berseragam satpam berwarna putih itu memandangi dari jauh. Sesekali menyeruput secangkir kopi yang ada di atas meja.
Kali ini tugasnya tidak hanya menjaga keamanan rumah sakit tetapi juga menjaga bocah gentong yang sudah beberapa menit ia pantau dari pos satpam.
"Tuh anak gendut amat, ya," komentar kawannya, Tori.
Pria kurus dengan ikat pinggang yang sampai di perutnya, terlalu tinggi. Gigi atasnya nampak keluar, terlihat sedikit agak menyeramkan sehingga Prata takut untuk mendekat di pos satpam. Takut digigit.
Kabo mendengus, membuka sedikit kancing baju pada bagian perut buncitnya yang sesak. tubuhnya juga gemuk mungkin jika Prata besar ia akan mirip dengan Kabo.
"Etdah, Jangan gitu bang! Aye juga gede gini," ujarnya dengan logat betawi ciri khasnya
"Tau gue, udah kelihatan. Anak gendut kayak gitu siapa juga yang mau curi."
"Cah ileh, pencuri mah juga milih-milih kali. bocah gentong kayak gitu mah cuman beratin mobil. Di simpan nggak guna, dijual juga nggak bakalan laku."
Lah!
...---------------...
Ruang bersalin
Marti mengedan kuat. Menjerit membuat Abdul ikut menjerit, yah rambutnya ditarik ke kiri dan kanan. Kulit kepalanya memerah sepertinya tidak lama lagi kulit kepalanya ikut terkelupas. Rohnya seakan ingin keluar, tak ada bedanya saat istrinya itu melahirkan Prata tiga tahun yang lalu tapi sepertinya yang dulu lebih parah karena ia sempat pingsan.
Bukan! bukan karena syok melihat istrinya melahirkan tapi karena kepalanya dipukul oleh botol infus oleh istrinya. Bukan tanpa alasan tetapi semua itu karena ia menyuruh istrinya untuk tidak menjerit.
Sekarang setelah kejadian itu Abdul tidak lagi berani untuk menyuruh istrinya diam. Ia pasrah dan hanya mengikuti alurnya saja, takut ia pingsan diketuk betul botol infus atau mungkin tiang infus. Hah, menyeramkan!
"Aaaa!" teriak Marti membuat Abdul juga ikut berteriak.
"Ya Allah, selamatkan rambutku!" teriak Abdul yang ikut berteriak. Matanya memerah seakan ingin meletus.
"Semangat Bu!"
Abdul melotot menatap wanita bertubuh agak berisi itu, ibu bidan. Wanita yang sama membantu persalinan istrinya saat melahirkan Prata.
"Bu bidan, kurang semangat apalagi istri saya? Saking semangatnya rambut saya juga ikut rontok."
Perawat yang berdiri di belakang Ibu bidan itu cengengesan. Baru kali ini ia melihat proses persalinan yang mengancam nyawa sang suami.
"Diam!" teriak Marti sembari menambah kekuatan jemari tangannya membuat Abdul menjerit.
Nafasnya tersengal-sengal, cucuran keringat membasahi sekujur tubuhnya. rambutnya pun ikut berantakan tetapi lebih berantakan lagi rambut suaminya. Maksudnya berantakan hingga berserakan di lantai.
Para pasien lain di depan ruangan melotot dan saling berpandangan bahkan salah satu pria mendekatkan telinganya ke permukaan pintu berusaha mendengar lebih jelas suara yang ada di dalam sana.
Setiap kali jeritan atau teriakan yang berasal dari dalam ruangan persalinan membuat para pasien lain ikut meringis ngilu.
"Gila, ngeri juga. Suara orang melahirkan bisa berubah-ubah, " ujar pria itu sembari menatap ke arah pasien yang sedang duduk di kursi antri.
"Itu bukanya suara kambing ya?"
"Lah?" kagetnya menatap nenek tua yang ikut jongkok di sampingnya.
Suara tangisan bayi terdengar memenuhi isi ruangan kamar bersalin. Jemari tangan Marti terkulai lemas. Cepat-cepat Abdul mengusap kepalanya yang terasa sakit.
Tuhan, akhirnya jemari tangan Marti lepas juga dari rambut Abdul. Jika bayi itu tidak keluar sejam ke depan mungkin saja ia akan pingsan kedua kalinya di dalam ruangan persalinan.
"Alhamdulillah Bu, pak bayinya sudah lahir."
Marti tersenyum haru, "Laki-laki atau perempuan?"
Abdul mengusap kepalanya, sakit. Berjalan sedikit berniat untuk mendekati ibu bidan yang sudah menggendong anak barunya itu.
"Laki-laki," jawab ibu bidan sembari meletakkan bayi berselimut biru itu ke dalam dekapan Marti.
"Alhamdulillah," syukur Abdul sembari berjalan di sisi ranjang.
Marti tersenyum menatap wajah tampan Putra keduanya. Wajahnya tidak jauh beda dengan wajah putra pertamanya itu tapi yang ini nampak seperti bayi perempuan hanya saja kulitnya lebih putih.
"Kita beri nama apa, Bu?"
"Pradu Putra," bisiknya lembut membuat Abdul mengernyit heran.
"Unik, artinya?"
"Pradu artinya putra kedua."
Abdul mengangguk, tidak nyambung sama sekali.
"Kita sudah punya dua anak laki-laki," bisik Abdul sembari ikut tersenyum haru.
Ujung jari telunjuknya menyentuh lembut pipi mungil yang masih terdapat sedikit bercak darah. Senang rasanya, kali ini ia sepertinya harus bekerja lebih keras lagi untuk menghidupi dua anak dan semoga saja putra keduanya ini tidak rakus seperti putra pertamanya.
Marti mendecap kesal, tak terima.
"Tapi kita belum punya anak perempuan," sinisnya sembari menjeling suaminya itu.
Senyum Abdul lenyap, itu berarti penderitaan yang dirasakan hari ini akan ia rasakan lagi nanti. Oh, Tuhan apakah Engkau akan memberikan penderitaan lagi untuk dirinya.
"Dua anak cukup, ya Bu, pak!"
Keduanya menoleh menatap ibu bidan yang nampak membereskan peralatan. Abdul tersenyum, setuju dengan ucapan ibu bidan.
"Tidak Bu bidan."
Abdul melotot, bibirnya bergetar ingin menangis.
"A-a-apa?'"
"Saya mau punya anak perempuan."
"Tapi kita sudah punya dua anak, Bu," ujarnya pelan seakan menekan intonasi suaranya.
"Tapi bukan perempuan."
la Ilaha illallah!
Abdul menepuk jidat! Rasanya ia ingin mencekik lehernya sendiri. Terserah, Abdul malas untuk berdebat dengan istrinya itu.
"lalu mau punya anak kapan?"
"Kalau tahun ini saya bisa hamil lagi, yah saya hamil. Pokoknya saya mau punya anak perempuan."
lailahaillallah!!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Purnama Pasedu
tetangga saya dulu juga,anak terakhir baru cewek
2025-08-24
2
Salju
Baru start baca nih
2025-09-08
1