Berkisah mengenai Misha seorang istri yang baru saja melahirkan anaknya namun sayangnya anak yang baru lahir secara prematur itu tak selamat. Radit, suami Misha terlibat dalam lingkaran peredaran obat terlarang dan diburu oleh polisi. Demi pengorbanan atas nama seorang istri ia rela dipenjara menggantikan Radit. 7 tahun berlalu dan Misha bebas setelah mendapat remisi ia mencari Radit namun rupanya Radit sudah pindah ke Jakarta. Misha menyusul namun di sana ia malah menemukan sesuatu yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ceramah
Mobil polisi bergegas pergi, meninggalkan Warung Bahagia yang kini hening. Di dalam mobil, Bu Ratmi masih terus berteriak, meronta, dan memaki Misha. "Wanita sialan! Gara-gara kamu, saya jadi begini! Kamu itu wanita murahan! Semoga kamu hidup menderita!" umpatnya, suaranya dipenuhi amarah.
Misha tidak lagi menangis. Ia hanya menatap mobil polisi yang semakin menjauh. Hatinya terasa sakit, namun juga lega. Setidaknya, penderitaannya kini akan berakhir.
Di kantor polisi, Bu Ratmi terus menyangkal semua tuduhan. Ia duduk di kursi pemeriksaan, menatap Rendy dengan tatapan penuh kebencian. "Ini semua bohong! Saya tidak menyebarkan berita bohong! Semua yang saya katakan itu benar! Dia itu memang wanita penggoda! Dia pantas dihujat!" teriak Bu Ratmi.
Seorang polisi menatapnya dengan tenang. "Ibu tidak bisa menyangkal bukti-bukti yang ada. Ada saksi yang melihat Ibu merekam video dan mengunggahnya. Ada saksi yang mendengar Ibu menyebarkan fitnah. Dan kami juga sudah memeriksa ponsel Ibu. Ada banyak bukti di sana."
Wajah Bu Ratmi memucat. Ia tidak menyangka Rendy akan secerdas itu. Ia tidak menyangka, Rendy sudah menyiapkan semua bukti-bukti. Ia hanya bisa terdiam, tidak bisa lagi menyangkal.
"Saya tidak salah, Pak! Saya hanya ingin membersihkan kampung saya dari orang-orang seperti dia!" Bu Ratmi membela diri, suaranya bergetar.
"Ibu tidak bisa membersihkan kampung dengan cara memfitnah orang lain," jawab polisi itu. "Setiap orang punya hak untuk hidup tenang dan damai. Dan Ibu sudah merusak hak itu."
Bu Ratmi tidak bisa lagi berkata-kata. Ia hanya bisa menangis, membiarkan air matanya membasahi pipinya yang kusam. Ia merasa sangat bodoh. Ia merasa sangat bodoh karena sudah meremehkan Rendy dan Misha. Ia tidak tahu, ia akan mendapatkan balasan yang begitu besar.
Rendy menatap Bu Ratmi dari balik kaca. Hatinya tidak merasa puas. Ia hanya merasa, ini adalah hal yang harus ia lakukan. Ia harus melindungi Misha. Ia harus memastikan Misha bisa hidup tenang.
"Dia akan ditahan untuk 24 jam ke depan untuk proses pemeriksaan lebih lanjut," kata polisi itu. "Jika ada yang ingin ditambahkan, Pak Rendy bisa kembali lagi."
Rendy mengangguk. Ia berterima kasih, lalu berjalan keluar. Di luar, Misha sudah menunggu. Misha menatap Rendy, matanya berkaca-kaca.
"Terima kasih, Pak," bisik Misha. "Saya... saya tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Bapak."
Rendy tersenyum tipis. "Tidak perlu dibalas. Saya hanya melakukan apa yang benar."
Misha menunduk, ia merasa sangat bersalah. "Saya minta maaf, Pak. Gara-gara saya, Bapak jadi repot."
"Tidak apa-apa, Misha," jawab Rendy. "Saya tidak repot. Saya hanya ingin membantu Anda. Anda tidak pantas mendapatkan semua penderitaan ini."
****
Suasana di depan Warung Bahagia kini sudah tenang. Polisi sudah pergi, membawa Bu Ratmi yang terus meronta dan memaki. Bu RT dan Bu Endah hanya bisa terdiam, menyaksikan kejadian itu dengan wajah pucat. Di tengah keheningan, Bu Susi melangkah maju, menghampiri mereka. Wajahnya yang tenang, kini memancarkan keseriusan. Ia tidak lagi bicara dengan nada lembut seperti biasanya.
"Bu Endah, Bu RT," Bu Susi memulai, suaranya terdengar tegas. "Saya sudah sering mengingatkan kalian. Jangan mudah termakan hasutan orang lain. Apalagi hasutan yang hanya akan menimbulkan fitnah."
Bu RT menunduk, tidak bisa berkata-kata. Ia merasa malu. Ia sudah termakan hasutan Bu Ratmi, dan sekarang ia harus menanggung malu di hadapan warga. Ia tidak bisa lagi menyangkal, karena semuanya sudah jelas. Bu Ratmi sudah ditangkap polisi.
Bu Endah yang merasa dirinya tidak bersalah, langsung menyalahkan Bu Ratmi. "Ini semua salah Bu Ratmi! Dia yang menghasut kami! Dia yang membuat kami percaya kalau Misha itu wanita tidak benar!"
"Tapi kalian ikut-ikutan," potong Bu Susi, suaranya tetap tenang. "Kalian ikut menyebarkan fitnah, kalian ikut mencaci maki Misha, kalian ikut mengganggu Warung Bahagia. Bukankah begitu?"
Bu Endah terdiam. Ia tidak bisa membantah.
"Sebagai sesama umat muslim, kita seharusnya saling menolong, bukan saling menjatuhkan," lanjut Bu Susi. "Apalagi, Misha itu tidak bersalah. Dia hanya bekerja, dia hanya ingin hidup tenang. Kenapa kalian tega menyakitinya seperti ini?"
Bu RT mulai menangis. "Saya... saya minta maaf, Bu Susi. Saya menyesal. Saya terlalu cemburu dengan Misha. Saya takut suami saya digoda."
"Kecemburuan itu wajar, Bu," kata Bu Susi. "Tapi kecemburuan yang didasari fitnah itu tidak benar. Seharusnya, Ibu lebih percaya dengan suami Ibu. Seharusnya, Ibu tidak mudah terhasut."
Bu Endah menunduk, merasa sangat bersalah. "Saya juga minta maaf, Bu Susi. Saya sudah salah. Saya sudah menghina Misha."
Bu Susi tidak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang. Ia sudah sering mengingatkan mereka. Namun, mereka tidak pernah mau mendengarkan. Ia berharap, kejadian ini bisa menjadi pelajaran bagi mereka.
"Allah tidak suka dengan orang-orang yang suka memfitnah," kata Bu Susi, suaranya melembut. "Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kalian."
Bu RT dan Bu Endah tidak bisa lagi berkata-kata. Mereka hanya bisa menangis. Mereka menyadari, mereka sudah berbuat salah. Mereka sudah menyakiti hati Misha. Mereka sudah menghancurkan hidup Misha. Dan mereka harus menanggung akibatnya.
Setelah memberikan ceramah singkat, Bu Susi pergi. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, ia berharap, Bu RT dan Bu Endah bisa berubah. Ia berharap, mereka bisa meminta maaf kepada Misha. Ia berharap, mereka bisa hidup rukun dengan Misha.
****
Lampu ruang sidang yang remang-remang seolah ikut merasakan pilu. Di dalamnya, Misha duduk di samping pengacaranya, menatap Radit yang duduk tak jauh darinya. Setelah mediasi yang gagal dan kesepakatan untuk berpisah, hakim membacakan putusannya.
"Maka dengan ini, Pengadilan Agama resmi memutus perkawinan antara Saudara Radit Adhyaksa dan Saudari Misha, terhitung mulai hari ini, secara hukum negara, keduanya sudah resmi bercerai," kata hakim, suaranya terdengar tegas.
Dunia Misha terasa berhenti berputar. Kata-kata "resmi bercerai" bagai palu yang menghancurkan semua harapan yang tersisa di hatinya. Air mata Misha mengalir, membasahi pipinya. Ia menunduk, tidak sanggup lagi menatap Radit.
Setelah hakim mengetuk palunya, Radit segera bangkit, lalu berjalan keluar ruang sidang, diikuti oleh pengacaranya. Misha hanya bisa duduk di sana, membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan.
Saat Misha berjalan keluar ruang sidang, ia melihat Radit sudah menunggu di luar bersama Hana. Misha mencoba menghindar, namun Hana melihatnya. Wajahnya yang cantik kini dipenuhi amarah. Ia melangkah mendekati Misha, menatap Misha dengan tatapan penuh kebencian.
"Heh! Misha! Sekarang kamu sudah tahu kan, kalau kamu sudah bukan siapa-siapa lagi bagi Radit?!" bentaknya, suaranya melengking.
Misha tidak menjawab. Ia hanya menunduk, mencoba menghindari tatapan Hana.
"Kamu dengar baik-baik!" Hana melanjutkan, suaranya semakin keras. "Jangan pernah ganggu Radit lagi! Dia sudah resmi jadi suamiku seutuhnya! Kamu tidak pantas berada di dekatnya!"
Hati Misha terasa sakit. Ia ingin membela diri, namun kata-kata Hana terlalu menyakitkan. Ia hanya bisa menangis dalam diam.
Radit yang melihat Hana melabrak Misha, segera mendekat. Ia menarik tangan Hana, mencoba menjauhkannya dari Misha. "Hana! Sudahlah! Jangan begitu!"
Namun, Hana tidak peduli. Ia terus mengumpat pada Misha, melontarkan kata-kata kotor dan hinaan. "Dasar wanita murahan! Sudah resmi cerai saja masih berharap! Cari pria lain sana! Jangan ganggu suamiku lagi!"