Berawal dari sebuah gulir tak sengaja di layar ponsel, takdir mempertemukan dua jiwa dari dua dunia yang berbeda. Akbar, seorang pemuda Minang berusia 24 tahun dari Padang, menemukan ketenangan dalam hidupnya yang teratur hingga sebuah senyuman tulus dari foto Erencya, seorang siswi SMA keturunan Tionghoa-Buddha berusia 18 tahun dari Jambi, menghentikan dunianya.
Terpisahkan jarak ratusan kilometer, cinta mereka bersemi di dunia maya. Melalui pesan-pesan larut malam dan panggilan video yang hangat, mereka menemukan belahan jiwa. Sebuah cinta yang murni, polos, dan tak pernah mempersoalkan perbedaan keyakinan yang membentang di antara mereka. Bagi Akbar dan Erencya, cinta adalah bahasa universal yang mereka pahami dengan hati.
Namun, saat cinta itu mulai beranjak ke dunia nyata, mereka dihadapkan pada tembok tertinggi dan terkokoh: restu keluarga. Tradisi dan keyakinan yang telah mengakar kuat menjadi jurang pemisah yang menyakitkan. Keluarga Erencya memberikan sebuah pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Dapet surat dari Erencya itu beneran udah jadi sistem penunjang kehidupan buat Akbar. Surat terakhirnya, yang isinya nyuruh dia makan bener dan jaga kesehatan, sukses bikin hatinya ambyar sekaligus hangat. Sumpah, di tengah semua drama ini, gadis itu masih sempet-sempetnya khawatir dia kurusan atau nggak. Akbar ngebaca ulang bagian itu berkali-kali di kamar kosnya yang pengap, sambil senyum-senyum sendiri kayak orang gila.
...Aku nggak mau Kakak sakit...
Kalimat itu, entah kenapa, lebih nampol dari minuman berenergi mana pun. Tapi di saat yang sama, kalimat itu juga kayak tamparan realitas. Akbar ngelihat pantulan dirinya di cermin kecil yang retak di dinding. Lusi bener. Erencya juga bener. Dia emang kurusan. Lingkaran hitam di bawah matanya udah mirip mata panda. Hidup dari mi instan, nasi bungkus murah, dan tekad baja ternyata ada efek sampingnya.
Dia nggak bisa terus-terusan begini. Perjuangan ini bukan lari sprint, tapi maraton. Kalau dia tumbang di tengah jalan, semuanya bakal sia-sia. Erencya di sana berjuang nahan tekanan mental, masa dia di sini kalah sama urusan perut? Malu, dong.
Jadi, hari itu, Akbar bikin keputusan. Dia bakal 'naik kelas'. Misi hari ini bukan cuma jalan kaki di depan kompleks Erencya, tapi juga makan enak. "Enak" versinya dia, tentunya. Setelah menjalankan ritual jam 4 sorenya—yang sekarang terasa kayak nge-charge baterai jiwa—dia nggak langsung balik ke kosan. Dia jalan kaki ke arah lain, ke sebuah rumah makan Padang yang kelihatan ramai dari luar. Ini bakal nguras budgetnya, tapi persetan lah. Ini demi Erencya. Demi perjuangan.
Dia masuk dan langsung pesan menu paling mewah yang bisa dia bayangkan: nasi rendang plus telur dadar. Dia duduk di pojokan, makan pelan-pelan, menikmati setiap suapan. Sumpah, rendang di Jambi rasanya beda sama buatan ibunya, tapi saat itu, rasanya kayak makan di restoran bintang lima. Ini bukan cuma soal makanan. Ini adalah caranya menepati janji pada Erencya. Setiap suapan terasa kayak bilang, "Aku baik-baik aja, Ren. Aku masih kuat." Ini adalah steak nasi Padangnya.
Sambil makan, dia ngelamun. Adrenalin awal dari semua drama ini mulai turun. Sekarang yang tersisa adalah kenyataan yang keras. Uangnya menipis. Dia nggak tahu sampai kapan bisa bertahan di sini. Dia butuh pemasukan. Kemarin dia iseng-iseng nanya ke beberapa kedai kopi, apa ada lowongan cuci piring atau apa pun, tapi semuanya bilang penuh. Jambi bukan kota yang gampang buat pendatang tanpa kenalan.
Sempet, ada satu momen di mana rasa putus asa nyelip di hatinya. Apa yang gue lakuin di sini, sih? pikirnya. Dia sendirian, kere, di kota orang, berjuang buat hubungan yang mungkin nggak ada masa depannya. Keluarganya Erencya jelas-jelas nggak akan pernah nerima dia. Apa semua ini cuma buang-buang waktu dan tenaga? Apa lebih baik dia nurut aja sama Erencya, pulang ke Padang, dan coba lupain semuanya?
Pikiran itu terasa menggoda sekaligus menyakitkan.
Tapi kemudian, dia inget lagi tulisan tangan Erencya di suratnya. Dia inget gimana gadis itu nemuin kekuatan baru karena kehadirannya. Dia inget gimana mereka berdua sama-sama belajar hal baru dari semua kekacauan ini. Kalau dia nyerah sekarang, itu artinya dia juga menghancurkan semua pertumbuhan itu. Dia bakal ngecewain Erencya, dan yang lebih parah, dia bakal ngecewain dirinya sendiri.
Nggak. Dia nggak boleh kalah sama pikiran-pikiran negatif ini.
Selesai makan, dengan perut kenyang dan semangat yang terisi ulang, sebuah ide muncul di kepalanya. Ide yang lahir dari keputusasaannya, tapi juga dari cintanya. Dia nggak bisa ngasih Erencya kemewahan, tapi dia bisa ngasih sesuatu yang lain. Sesuatu yang 'Akbar' banget.
Dia mampir ke sebuah toko buku bekas, menghabiskan sisa uang makannya untuk membeli sebuah buku catatan kecil yang sampulnya polos dan satu pulpen. Lalu, dia kembali ke markas besarnya.
Malam itu, di bawah cahaya lampu 10 watt yang remang-remang, dia nggak langsung nulis surat balasan. Dia membuka buku catatan kecil itu. Di halaman pertama, dia mulai menulis. Bukan surat cinta. Tapi sebuah cerita.
Dia mulai menulis ulang kisah-kisah sejarah yang paling ia sukai, tapi dengan bahasanya sendiri. Bahasa yang ringan dan seru, seolah dia lagi ngedongeng buat Erencya. Kisah pertama yang ia tulis adalah tentang Ken Arok dan Ken Dedes, sebuah drama tentang cinta, pengkhianatan, dan takdir yang rumit. Dia menuliskannya dengan penuh semangat, menambahkan catatan-catatan kecil di pinggirnya. 'Bagian ini mirip sinetron, kan? Tapi ini beneran kejadian, lho!' atau 'Menurutmu, Ken Dedes itu sebenernya cinta nggak sih sama Ken Arok?'.
Dia menulis sampai tangannya pegal. Dia nggak sadar udah menghabiskan belasan halaman. Ini dia. Ini yang bisa dia berikan. Dia nggak bisa ngajak Erencya jalan-jalan atau nonton bioskop, tapi dia bisa membawa Erencya bertualang ke masa lalu lewat tulisannya. Dia bisa memberikan pengetahuannya, dunianya, dalam bentuk yang paling tulus. Ini adalah 'kencan' versi mereka.
Keesokan paginya, dia menulis surat pengantarnya.
Erencya,
Aku terima pesanmu. Dan aku nurut. Tadi malam aku makan 'steak' nasi Padang, hehe. Sumpah, enak banget. Aku baik-baik aja, jadi jangan khawatir lagi ya. Kesehatan panglima perangmu ini terjamin.
Makasih udah khawatir. Itu artinya besar banget buat aku. Dan karena kamu udah ngasih aku kekuatan, sekarang giliranku.
Aku tahu kamu pasti bosen banget di kamar terus. Jadi, aku siapin sesuatu buatmu. Aku nggak bisa ngajak kamu nonton Netflix, jadi anggap aja ini 'Netflix' versi kita. Sebuah cerita setiap beberapa hari. Biar kamu punya sesuatu untuk dibaca selain buku sekolah yang bikin pusing.
Ini cerita pertama. Kuharap kamu suka. Baca pelan-pelan aja. Bayangin aku lagi ceritain ini langsung di depanmu.
Jaga dirimu, pejuang.
Selalu,
Akbar.
Dia memasukkan surat pengantar itu bersama dengan lembaran-lembaran cerita dari buku catatan ke dalam sebuah amplop cokelat. Paketnya jadi lebih tebal dari biasanya.
Saat bertemu Lusi sore itu, Lusi sampai kaget melihat amplop tebal yang Akbar berikan.
"Ini apaan? Novel?" tanya Lusi heran.
"Anggap aja begitu," jawab Akbar sambil tersenyum. "Misi kali ini agak berat, bawaannya banyak."
Saat Lusi pergi membawa paket itu, Akbar merasa jauh lebih baik. Rasa putus asanya telah hilang, digantikan oleh sebuah tujuan baru. Dia mungkin miskin secara materi di kota ini, tapi dia kaya akan hal lain. Dia punya cerita untuk dibagikan, dan dia punya seseorang yang sangat ingin mendengarkannya.
Di tengah semua keterbatasan, mereka justru menemukan cara paling kreatif untuk saling mencintai. Dan pelajaran hari itu untuk Akbar adalah: saat dunia luar merampas semua pilihanmu, satu-satunya hal yang tidak bisa mereka ambil adalah kemampuanmu untuk menciptakan duniamu sendiri. Dan di dunia kecil yang terbuat dari kertas dan cerita sejarah itu, Akbar dan Erencya adalah raja dan ratunya.