“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”
Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.
Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.
Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.
Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
hasutan Bu Marni
Suasana pabrik pagi itu sedikit berbeda. Biasanya Rani datang dengan wajah letih dan pakaian lusuh, tapi hari ini ia terlihat seperti orang baru. Senyum kecil selalu terukir di bibirnya, dan itu membuatnya semakin menonjol di antara kerumunan pekerja.
Salah satu rekan kerjanya, Sinta, langsung menghampiri dengan tatapan kagum.
“Ran! Aku hampir nggak ngenalin kamu. Gila, kamu makin cantik aja sekarang. Kayak bukan Rani yang dulu.”
Rani tersenyum, sedikit kikuk.
“Ah, Sinta, jangan dilebih-lebihin. Aku cuma… pengin ngerawat diri aja. Biar lebih segar kerja.”
Lalu datang Rudi, teman kerja yang biasanya suka bercanda. Ia menepuk bahu Rani sambil tersenyum lebar.
“Bagus, Ran! Akhirnya kamu mikirin dirimu sendiri. Dari dulu aku heran, kenapa kamu rela capek kerja tapi masih terus disiksa keadaan rumah. Sekarang nih, kamu keliatan lebih kuat.”
Rani menunduk, merasakan haru di dadanya. Selama ini ia selalu dianggap “si Rani penyabar yang nggak pernah melawan.” Tapi kali ini berbeda—dan teman-temannya bisa melihat itu.
Sinta menambahkan dengan suara lembut.
“Kamu tahu, Ran? Perempuan itu bukan cuma buat nurut atau ngorbanin diri buat orang lain. Kamu juga berhak bahagia. Jangan biarin siapa pun, termasuk suamimu, ngambil itu dari kamu.”
Kata-kata itu membuat mata Rani berkaca-kaca, tapi ia cepat-cepat tersenyum untuk menahannya.
“Makasih, teman-teman. Jujur… aku baru ngerasa didukung kayak gini. Rasanya enteng banget.”
Rudi terkekeh sambil mengangkat jempol.
“Ingat ya, Ran. Kalau kamu butuh sesuatu, kita semua ada di sini. Jangan pernah merasa sendirian.”
Rani mengangguk mantap. Dukungan itu seperti energi baru yang masuk ke dalam dirinya. Ia merasa tak lagi hanya seorang istri yang dipandang remeh, tapi seorang perempuan yang bisa berdiri tegak dengan harga dirinya sendiri.
★★★★★
Siang itu, halaman rumah Bu Marni ramai oleh ibu-ibu tetangga yang baru saja pulang dari pasar. Mereka saling berbincang, dan nama Rani tiba-tiba mencuat di antara obrolan.
“Eh, kalian lihat Rani tadi pagi? Masya Allah, cantik banget sekarang. Kayak orang baru aja,” kata Bu Wati sambil tersenyum kagum.
“Iya, bener. Padahal biasanya kelihatan capek, lusuh, kayak nggak punya waktu buat dirinya. Sekarang… malah lebih anggun dari banyak perempuan di sini,” sahut Bu Yuni dengan nada setuju.
Bu Marni, yang kebetulan lewat, memasang wajah sinis. Ia menyeringai dingin sambil ikut menyela.
“Halah, palingan itu cuma dandan sebentar. Percuma cantik kalau kelakuannya tetep nyusahin keluarga.”
Namun bukannya mendapat anggukan, Bu Marni justru disambut tatapan tidak enak dari para tetangga.
Bu Wati mengangkat alisnya.
“Nyusahin gimana, Bu? Setahu saya, Rani itu yang paling rajin kerja, malah bantu-bantu keuangan rumah. Kalo bukan dia, entah gimana Andi dan keluarganya bisa hidup.”
Bu Yuni ikut menimpali dengan nada sindir.
“Iya, Bu. Jangan-jangan selama ini malah Rani yang jadi korban. Kita kan sering lihat sendiri dia kerja keras, tapi wajahnya selalu lelah. Kasihan, loh.”
Cibiran itu membuat wajah Bu Marni panas. Ia ingin membalas, tapi semakin ia mencoba, semakin banyak tetangga yang ikut bicara.
“Betul! Ibu jangan terlalu keras sama menantu. Nanti malah kebalik, orang lain yang kasihan sama Rani.”
“Sekarang aja banyak yang salut sama dia. Cantik, mandiri, pekerja keras. Andi tuh yang beruntung.”
Bu Marni menggertakkan giginya. Ia langsung bergegas masuk ke rumah dengan muka masam, meninggalkan bisik-bisik tetangga yang semakin ramai.
---
Di dalam rumah, Andi yang baru pulang dari luar langsung dihujani kemarahan ibunya.
“Ndiii! Kamu dengar gosip di luar nggak? Semua orang sekarang muji-muji Rani! Malah aku yang dibicarakan jelek-jelek sama mereka! Dasar perempuan itu, bisa-bisanya bikin ibumu sendiri malu!”
Andi mengernyit, wajahnya muram.
“Apa-apaan, Bu? Masa iya mereka lebih bela Rani daripada keluarga sendiri?”
Bu Marni mendengus, wajahnya merah padam.
“Iya! Aku nggak bisa terima ini, Ndi. Perempuan itu harus ditaruh di bawah, jangan sampai dia naik kepala! Kalau kamu biarin, lama-lama dia yang akan nginjek kita semua!”
Andi mengepalkan tangan, amarahnya makin membuncah.
“Tenang, Bu. Aku nggak akan biarin dia seenaknya. Kalau Rani pikir bisa bebas dan lebih hebat dari aku, dia salah besar. Aku akan kasih dia pelajaran.”
Mereka berdua saling pandang, sama-sama diliputi emosi—tak sadar bahwa justru perubahan Rani sudah menjadi bahan pembicaraan positif di mata banyak orang, dan itu adalah ancaman terbesar bagi harga diri mereka.
Bu Marni mendengus keras, matanya menatap Andi dengan penuh desakan.
“Makanya, jangan biarkan dia terus naik kepala! Kamu harus tunjukkan siapa yang berkuasa di rumah ini.”
Andi melirik ibunya, keningnya berkerut.
“Caranya gimana, Bu? Kalau aku salah langkah, dia bisa kabur. Dan kamu tahu sendiri, Bu… kalau Rani kabur, semua orang bakal makin bela dia.”
Bu Marni mendekat, duduk di sebelah Andi sambil menepuk lutut anaknya.
“Caranya gampang. Ambil semua ATM dia. Uang gajiannya biar kamu yang atur. Jangan kasih dia kesempatan pegang uang sepeser pun. Kalau dia masih berani protes, jangan segan-segan kasih dia pelajaran. Kamu ini laki-laki, Ndi. Jangan kalah sama perempuan!”
Andi terdiam. Kata-kata itu menekan telinganya, menusuk hatinya. Ia menggertakkan gigi, menahan campuran marah dan ragu.
“Ambil ATM-nya, ya… kalau aku lakukan itu, dia pasti ngamuk. Bisa-bisa dia berani ngelawan aku.”
Bu Marni menyipitkan mata, nada suaranya tajam seperti pisau.
“Biarkan dia ngamuk! Lebih baik dia ngamuk di dalam rumah, daripada bikin kita malu di luar. Ingat, uang itu sumber kekuatan. Kalau dia masih bisa atur duitnya sendiri, dia nggak akan pernah nurut sama kamu.”
Suasana ruang tamu hening sejenak, hanya suara kipas plastik yang berdecit. Andi menunduk, lalu mengepalkan tangan.
“Baik, Bu. Besok aku akan ambil ATM itu. Aku yang atur semuanya mulai sekarang. Biar dia tahu, aku masih kepala rumah tangga.”
Senyum puas muncul di bibir Bu Marni. Ia menepuk bahu Andi, seperti orang yang baru saja memenangkan sebuah strategi.
“Itu baru anakku. Jangan kasih dia kesempatan buat merasa lebih tinggi. Biar dia belajar, siapa yang sebenarnya berkuasa di rumah ini.”
Di kamar lain, Rani yang tengah membereskan pakaian tidak tahu bahwa di ruang tamu, hidupnya sedang direncanakan ulang oleh dua orang yang paling ingin menjatuhkannya.
bukan ada apanya🤲🤲🤲
apa dibilang temanmu n tetanggamu itu betul sekali sayangila dirimu sendiri
kamu itu kerja banting tulang kok gak perna dihargai sih
mendingan pisa ajah toh blm punya anak
Nasibmu bakal tragis marni andi ma melati