Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bercerita sama ibu mertua .
Malam ini Reva duduk di tepi kasur empuk yang disediakan Bu Laras. Tangannya memegang selimut lavender itu erat, seolah itu satu-satunya pelindung dari masa lalu yang mulai merayap kembali ke permukaan. Matanya menatap gelap langit, tapi pikirannya melayang jauh—ke kampung halaman yang dulu ia tinggalkan dengan luka di hati dan rasa takut yang menggerogoti jiwa.
"Ibu ! sekarang ibu lagi apa ? apakah ibu khawatir padaku ? maafkan aku Bu,aku tidak bisa menjadi anak yang berbakti ." Reva duduk melamun sendiri di dalam kamarnya
"kamu kenapa ? kenapa menangis ? kamu nggak betah disini ?" Raka tiba tiba datang ,dan duduk disampingnya
"Nggak ! aku cuma kangen dengan ibuku !"
"Maafkan aku ,saat ini aku sedang sibuk ,nanti kalau aku sudah longgar ,kita akan kekampung kamu ,sekarang sudah malam ,Tidurlah !"
Tanpa banyak protes Reva segera merebahkan dirinya disamping Raka ,dan Reva tidur didalam pelukan Raka .
mereka berdua berkomitmen,untuk menjadi pasangan suami istri yang sesungguhnya,walaupun awal pernikahan mereka didasari atas paksaan .
-----------------
Pagi datang , setelah sarapan nasi uduk dan telur dadar ala Bu Laras yang selalu hangat dan penuh kasih, keluarga kecil itu duduk di ruang keluarga. Raka dan ayahnya sedang berada di dalam ruang kerja ayahnya , sementara Bu Laras mengajak Reva duduk di teras belakang—tempat yang kini jadi favorit mereka berdua.
“Reva,” kata Bu Laras pelan, sambil menyuguhkan secangkir teh jahe hangat. “Kamu tadi malam kelihatan… gelisah. Ada yang ingin kamu ceritakan?”
Reva menunduk. Tangannya menggenggam cangkir teh erat, seolah mencari kehangatan yang bisa menenangkan detak jantungnya yang mulai tidak karuan. Ia menghela napas panjang, lalu perlahan mengangkat wajahnya.
“Ma… saya ingin jujur. Tapi… saya takut Mama kecewa.”
Bu Laras tersenyum lembut. “Tidak ada kejujuran yang membuatku kecewa, Nak. Justru aku takut kalau kamu menyimpan beban sendirian.”
Reva menelan ludah. Matanya berkaca-kaca. “Saya… bukan dari keluarga yang utuh. Ibu saya masih hidup, tapi… dia menikah lagi. Sejak usiaku sepuluh tahun . Suaminya—Pak Slamet hanya bekerja buruh serabutan ,tapi dia tipe bapak yang bertanggung jawab dan dia juga sayang padaku .
Ia berhenti sejenak, menahan napas.
“Dia punya anak dari pernikahan sebelumnya. Namanya Dian Umurnya dua tahun lebih muda dari saya. Tapi… hubungan kami… tidak pernah baik. Sejak saya kecil, Dian selalu iri. Katanya, saya merebut perhatian ayahnya . Padahal… saya cuma ingin kasih sayang.”
Suara Reva mulai bergetar. Ia menunduk lagi, rambutnya yang panjang menutupi wajah yang mulai basah oleh air mata.
“Setelah lulus sekolah ,saya harus bekerja keras untuk membantu perekonomian keluarga sampai lupa kapan terakhir kali saya punya waktu untuk diri sendiri. Tapi saya tahan. Karena saya pikir… ini harga yang harus saya bayar untuk tetap punya keluarga.”
Bu Laras diam. Ia hanya mendengarkan, tangannya menggenggam tangan Reva erat.
“Tapi… semuanya hancur saat bapak tiri saja kecelakaan di tempat kerjanya ,dia merusakkan mesin penggilingan padi milik pak Ringgo ,yang harganya sangat mahal ,pak Ringgo mengancam bapak untuk membayar dan menggantinya ,kalau bapak tidak mau menggantinya ,maka bapak akan di penjarakan oleh pak Ringgo ,dan bapak akan terlepas dari ancaman penjara ,kalau bapak dan ibu mau menikahkan saya dengannya ."
Nama itu terucap pelan, tapi terasa seperti petir yang menyambar.
“Pak Ringgo…?” tanya Bu Laras pelan.
Reva mengangguk, air matanya jatuh ke permukaan teh. “Dia juragan tanah di kampung sebelah. Sudah tua—umurnya hampir enam puluh. Punya tiga istri. Anak-anaknya lebih tua dari saya. Tapi… dia tertarik pada saya. Katanya, saya cantik, penurut, dan ‘mudah diatur’.”
Reva tertawa getir. “Mudah diatur… karena saya diam saja saat disakiti.”
Bu Laras menarik napas dalam. “Apa yang terjadi, Nak?”
“Dia datang ke rumah kami. Menawarkan uang—banyak sekali—untuk meminang saya. Lima juta. dan melunaskan hutang bapak. Ibu… awalnya menolak. Tapi melihat tidak ada jalan lain … maka bapak langsung setuju. Katanya, ini kesempatan emas. ‘Reva sudah cukup umur , belum laku. Mending nikah sama orang kaya,’ begitu katanya.”
Reva menutup wajahnya dengan tangan. “Saya menangis. Saya mohon. Tapi tidak ada yang mendengar. Bahkan ibu… akhirnya diam. Katanya, ‘Ini demi kebaikanmu juga, Nak. Kamu akan hidup enak.’”
Ia mengangkat wajah, matanya merah. “Tapi saya tidak mau hidup enak dengan laki-laki yang bahkan tidak tahu namaku dengan benar! Saya tidak mau jadi istri keempat yang cuma dianggap sebagai pembantu berwajah muda!”
Suara Reva pecah. “Saya kabur, Ma… malam sebelum akad nikah. Bawa tas kecil, uang tabungan dari saya bekerja di toko sembako di pasar .
Bu Laras terdiam lama. Matanya berkaca-kaca. Ia menarik Reva ke dalam pelukannya.
“Kamu berani, Nak,” bisiknya. “Sangat berani.”
Reva menangis di pelukan itu—tangisan yang selama ini ditahan, yang selama ini disembunyikan di balik senyum dan kekuatan semu.
“Saya datang ke Jakarta dengan harapan bisa kerja, bisa hidup sendiri. Saya di terima di mini market Bu Lusi ,Sampai… sampai saya ketemu Raka.”
Ia mengusap air matanya. “ Saat aku melihat Dia terluka, tergeletak di gang sempit. Saya pikir dia preman atau hantu ,karena berada di tempat gelap Tapi… dia tidak mengancam. dia hanya minta tolong ,dan dia juga minta maaf karena merepotkan. Saya bawa dia ke kontrakan saya,karena saya nggak mau kalau dia spai mati ketika saya tinggalkan di tempat itu ,dan yah ...begitulah ..warga salah paham ..dan menikahkan kami berdua ."
Bu Laras mengusap punggung Reva perlahan. " Terimakasih nak ,kamu sudah menolong Raka ,kalau tidak ada kamu ditempat itu ,aku nggak bisa bayangkan apa yang terjadi pada Raka ."
Reva mengangguk. “ Saya sudah iklas menerima pernikahan ini ..tapi ...Saya takut… takut kalau suatu hari nanti Pak Ringgo cari saya. Atau ibu marah karena saya merusak rencana mereka.”
“Kamu tidak merusak apa-apa,” tegas Bu Laras. “Kamu menyelamatkan dirimu sendiri. Dan Tuhan membawamu ke sini—ke keluarga yang akan melindungimu.”
***
Sore itu, Raka pulang dari garasi dengan wajah berdebu tapi senyum puas. Ia melihat Reva dan ibunya duduk di teras, mata Reva masih sedikit bengkak. Tapi kali ini, ada kelegaan di wajahnya.
“Semuanya baik?” tanya Raka pelan, duduk di samping istrinya.
Reva mengangguk. “Aku sudah cerita semuanya… pada Mama.”
Raka menatap ibunya, lalu kembali ke Reva. Ia menggenggam tangannya. “Aku tahu kamu punya masa lalu yang berat. Tapi sekarang… kamu punya masa depan yang aman. Aku janji.”
Bu Laras tersenyum dan memeluk Reva . “Dan kami juga janji. Tidak akan ada yang menyakitimu lagi di bawah atap ini.”
***
Setelah makan malam yang hangat—nasi liwet dengan ayam goreng dan sambal terasi,menu kesukaan mereka —Pak Hartono memanggil Raka dan Reva ke ruang keluarga.
“Saya sudah bicara dengan pengacara keluarga,” katanya serius. “Kami akan mengurus surat nikah resmi kalian di KUA. Juga akta pernikahan yang sah secara hukum.”
Reva terkejut. “Tapi… kami sudah menikah secara agama, Pa.”
“Ya, tapi secara hukum, kalian belum terdaftar. Dan itu penting—terutama untuk melindungimu, Reva,” jawab Pak Hartono “Kalau suatu hari ada yang mengklaim kamu masih lajang atau mencoba memaksakan pernikahan lain… dokumen resmi ini akan jadi tamengmu.”
Raka mengangguk. “Terima kasih, Pa.”
“Jangan berterima kasih,” kata Pak Hartono matanya tajam tapi hangat. “Kamu menikahi perempuan yang berani melawan takdir. Itu membuatmu layak jadi pria sejati. Dan kami… bangga.”
Reva menunduk, air matanya kembali mengalir—tapi kali ini, bukan karena sedih. Melainkan karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa *dilindungi*, bukan dimanfaatkan.
***
Reva mulai terbiasa dengan rutinitas rumah megah itu. Ia membantu Bu Laras memasak, belajar merawat taman stroberi, dan bahkan diajak berbelanja ke pasar modern —hal yang dulu tidak pernah ia lakukan karena selalu diawasi.
Suatu sore, saat mereka duduk di dapur sambil mengupas bawang merah untuk sop buntut, Bu Laras bertanya pelan, “Kamu pernah ingin menghubungi ibumu?”
Reva diam sejenak. “Saya… rindu. Tapi takut juga. Takut dia marah. Takut dia bilang saya egois.”
“Mungkin dia memang marah dulu,” kata Bu Laras. “Tapi cinta ibu itu seperti akar—kadang tersembunyi, tapi tidak pernah benar-benar mati. Kalau kamu siap, kami akan dampingi kamu menghubunginya. Bahkan kalau perlu… kami yang bicara dulu.”
Reva menatap ibu mertuanya dengan mata penuh haru. “Mama… terima kasih.”
“Jangan terima kasih terus,” jawab Bu Laras sambil tersenyum. “Kamu sudah jadi bagian dari keluarga ini. Dan keluarga tidak membiarkan anggotanya sendirian—apalagi saat mereka sedang berperang dengan masa lalu.”