Ihsan Ghazi Rasyid, 40 tahun seorang duda beranak dua sekaligus pengusaha furnitur sukses yang dikenal karismatik, dingin dan tegas.
Kehidupannya terlihat sempurna harta berlimpah, jaringan luas, dan citra pria idaman. Namun di balik semua itu, ada kehampaan yang tak pernah ia akui pada siapa pun.
Kehampaan itu mulai berubah ketika ia bertemu Naina, gadis SMA kelas 12 berusia 18 tahun. Lugu, polos, dan penuh semangat hidup sosok yang tak pernah Ihsan temui di lingkaran sosialnya.
Naina yang sederhana tapi tangguh justru menjeratnya, membuatnya terobsesi hingga rela melakukan apa pun untuk mendapatkannya.
Perbedaan usia yang jauh, pandangan sinis dari orang sekitar, dan benturan prinsip membuat perjalanan Ihsan mendekati Naina bukan sekadar romansa biasa. Di mata dunia, ia pria matang yang “memikat anak sekolah”, tapi di hatinya, ia merasa menemukan alasan baru untuk hidup.
Satu fakta mengejutkan kalau Naina adalah teman satu kelas putri kesayangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14.
Aula hotel bintang lima itu masih ramai dengan bisik-bisik tamu yang belum benar-benar bubar.
Lampu kristal bergemerlap, wangi bunga segar masih menguar, tapi suasana keluarga kecil itu justru penuh ketegangan.
Ihsan berdiri di tengah ruangan, wajah baby face-nya tetap dingin meski sorot mata tajam seperti mengunci semua orang di sekitarnya.
Jas hitamnya rapi, dasi masih terikat sempurna, seakan tak ada yang mampu mengguncang kewibawaannya.
“Raditya, antar pulang kedua putriku Rubi dan Rayyana dan jangan biarkan salah satu dari mereka melangkah keluar tanpa izin dariku!” tegasnya Ihsan yang tak menerima bantahan dari siapapun.
Rubi mendengus kesal, langkahnya maju selangkah, sorot matanya terlihat berapi. Seragam sekolah yang dikenakan malah menambah dramatis gerakan tubuhnya.
“Papa pikir bisa ngatur aku seenaknya? Aku bukan anak kecil. Aku nggak terima punya ayah yang tega nikahin cewek sekelas aku sendiri. Jijik rasanya lihat semua ini!” ketusnya penuh emosi.
Naina yang sejak tadi berdiri agak jauh, menarik napas panjang, wajah cantiknya tampak tegar meski dalam hatinya ada getaran yang dirasakannya ketika Rubi berbicara.
Gaun putihnya masih jatuh anggun di tubuh semampai, tapi sorot matanya tidak kalah kuat. Ia melangkah maju, berdiri sejajar dengan Ruby teman kelasnya sekaligus anak tirinya.
“Aku nggak pernah minta ini, Rubi. Aku nggak pernah nyari masalah sama kamu. Aku cuma berusaha jalanin apa yang udah terjadi. Kalau kamu benci, silahkan. Tapi jangan lempar semua salahnya ke aku,” ucapnya pelan namun cukup menusuk.
Rubi mendelik, bibirnya bergetar, matanya merah menahan tangis yang tak mau keluar. Ia merasa dikhianati, kalah oleh keadaan, sekaligus terjebak dalam permainan ayahnya sendiri.
Ihsan menatap keduanya bergantian, senyum tipis licik muncul di wajahnya.
“Kalian boleh benci, boleh melawan, tapi jangan pernah lupa, aku yang pegang kendali di sini bukan kalian,” imbuhnya datar tapi kata-katanya cukup tajam seperti pisau menikam dadanya.
Suasana kian tegang, Aula megah yang awalnya riuh ketika ijab kabul sekarang berubah jadi medan perang dingin antara darah daging, cinta dan ambisi yang tak pernah bisa berdamai dengan kata-kata biasa.
Rubi dan Rayyana akhirnya berjalan keluar aula, menggandeng tangan Raditya yang sejak tadi menunggu dengan wajah tenang.
Dua bocah itu masih cemberut, terutama Rubi yang terus menoleh ke belakang, seakan ingin melawan tapi tahu malam itu bukan waktunya. Pintu besar tertutup, meninggalkan keheningan.
Rayyana tiba-tiba melepaskan genggaman Raditya lalu berlari kecil, wajahnya sumringah seakan lupa ketegangan barusan. Tubuh mungilnya langsung menempel di sisi Naina, membuat semua orang menoleh kaget.
“Kakak Naina, jangan lama-lama di Bandung yah. Cepat balik ke Jakarta jadi bisa temani Rayyana belajar, tidur, antar ke sekolah juga,” ucapnya polos penuh semangat.
Naina terdiam sepersekian detik, hatinya tercabik. Ia berusaha tersenyum, meski jelas terlihat betapa rapuhnya sorot mata itu. “Rayyana manis banget. Kakak Naina bakal usahain, kalau Rayyana butuh ditemenin, aku ada,” katanya lembut, sambil mengusap pelan kepala anak itu.
Ihsan menimpali dengan nada tenang tapi tetap tegas, “Kamu anak pintar. Sekarang kita semua satu rumah, jadi jangan takut. Ada aku, ada Naina. Hidup kita tetap jalan seperti biasa, malah bisa lebih baik,” ujarnya penuh keyakinan, seolah ingin menenangkan sekaligus mengikat.
Rayyana mengangguk polos, senyumnya tulus. Raditya diam saja, wajahnya tetap kalem, matanya hanya sesekali melirik kakaknya.
Rubi yang berdiri tak jauh dari mereka mendadak meledak. Nafasnya tersengal, suaranya bergetar penuh marah. “Keluarga? Jangan paksa aku terima dia jadi keluarga! Mama masih ada, aku nggak butuh pengganti. Apalagi sama perempuan yang umurnya aja nyaris sama kayak aku,” serunya lantang, tatapannya menusuk ke arah Naina.
Udara di koridor hotel terasa berat. Naina menunduk, kedua tangannya saling menggenggam menahan gemetar. Ia tak sanggup menjawab, meski jelas hatinya perih mendengar kata-kata itu.
Ihsan hanya menarik napas dalam, menatap tajam anak sulungnya. “Jaga sikapmu, Rubi. Aku ngerti kamu marah, tapi jangan sampai bikin keadaan makin hancur. Apa yang aku lakukan sekarang bukan buat aku sendiri, tapi buat kita semua,” imbuhnya dengan nada datar, tapi aura tekanannya kuat.
Rubi balik menoleh ke arah Raditya, menggenggam tangan adiknya erat. “Ayo pulang. Aku muak lihat semua ini,” ucapnya cepat lalu berjalan tergesa meninggalkan kedua pasangan suami istri itu.
Langkah kaki Rubi terdengar jelas, berat dan penuh amarah. Raditya hanya bisa menurut, sedangkan Rayyana menatap bingung, tak mengerti dan keheranan kenapa keluarganya berubah jadi ajang perdebatan, sedikit-sedikit bertengkar.
Naina berdiri kaku, tubuhnya terasa ringan tapi sesak. Ia kesulitan menelan ludah, dalam hati berkata pada dirinya sendiri, “apa aku benar-benar sanggup bertahan di dunia baru ini?”
Kini hanya tersisa Ihsan dan Naina. Lelaki itu melangkah pelan mendampingi istrinya yang baru saja sah dinikahi.
Sepasang kaki menapaki koridor hotel berbintang, lampu-lampu temaram menambah nuansa dramatis.
Di hati Naina, semua terasa tak nyata, seakan hidupnya baru saja dipaksa masuk ke dalam jalan yang bukan miliknya.
Ia masih delapan belas, masih berseragam abu-abu putih. Namun di sampingnya berjalan pria berusia empat puluh, pengusaha sukses dengan wajah muda yang membuat siapa pun nyaris tak percaya pada umur sebenarnya.
Saat pintu kamar terbuka, pemandangan mewah menyambutnya. Dinding elegan, karpet tebal, ranjang besar berhias kelambu putih.
Semua tampak megah, tapi hati Naina tetap gamang. Ada kegelisahan yang sulit dijelaskan, campuran takut, bingung dan tidak percaya diri.
Ihsan menutup pintu, lalu bergegas ke kamar mandi. “Aku bersihkan diri sebentar,” ujarnya singkat suaranya masih tenang seperti tak ada beban.
Naina hanya mengangguk, namun tubuhnya kaku. Nafasnya tak beraturan, pikirannya berputar cepat. Semua kejadian hari itu terlintas kembali, dari ijab kabul sampai sorot mata penuh amarah Rubi.
Tanpa ia sadari, air matanya menggenang di ujung pelupuknya. Tapi bersamaan dengan itu, ada dorongan aneh di dadanya.
Dorongan antara ingin menolak atau justru pasrah. Jemarinya gemetar ketika mulai melepas gaun pengantin yang masih melekat di tubuh semampainya. Kain putih itu jatuh perlahan ke lantai.
Tubuhnya kini terbuka, hanya tertutup tipis oleh sisa lapisan dalam. Ia menatap arah kamar mandi, suaranya serak namun terdengar jelas.
“Ini yang Om mau kan?” ucapnya lirih tapi ucapannya menusuk, seakan menguji apa sebenarnya yang diinginkan pria yang kini sah jadi suaminya.
Kamar hotel itu sunyi, hanya suara pendingin udara yang terdengar samar. Naina berdiri di dekat ranjang, tubuh semampainya terlihat jelas dalam balutan tipis setelah gaun pengantin terlepas. Hatinya berdebar, bingung antara takut, pasrah atau marah pada dirinya sendiri.
Ihsan melangkah keluar dari kamar mandi, handuk kecil tergantung di pundaknya. Langkahnya sempat terhenti, matanya terpaku pada sosok Naina. Baby face-nya yang biasanya tenang kini tampak terkejut sekaligus terpesona.
“Om puas sekarang!? Ini yang Om tunggu dari tadi kan?” ucap Naina yang sedikit meninggikan volume nada suaranya tapi terdengar getir bercampur pasrah.
Ihsan mendekat, sorot matanya dingin tapi jelas ada api di baliknya. “Kamu kira aku cuma pengen tubuhmu? Kamu salah, Nai. Aku pengen semuanya yaitu hatimu, waktumu, bahkan nafasmu. Sejak pertama aku melihatmu, aku tahu aku nggak bisa lepas,” ujarnya tegas.
Naina menelan salivanya dengan kesulitan, air matanya nyaris jatuh. “Aku masih sekolah, Om. Aku masih punya mimpi. Kenapa hidupku harus berubah seperti sekarang?” katanya lirih, hampir bergetar.
Ihsan tersenyum tipis, senyum arogan yang selalu muncul saat ia ingin menegaskan kuasanya.
“Karena kamu milik aku sekarang. Semua yang kamu punya, semua yang kamu rencanain, aku yang tentuin. Kamu harus belajar menerima kalau cintaku nggak akan pernah berikan kamu kesempatan untuk kabur dariku,” imbuhnya sambil menatap lurus ke dalam matanya Naina.
Naina menahan napas, mencoba untuk tetap kuat. “Kalau aku benci? Kalau aku nggak bisa lihat wajah Om tanpa ngerasa jijik gimana?” ucapnya menantang, suaranya serak tapi tetap berani.
Ihsan mendekat hingga jarak mereka tinggal sejengkal. “Kamu boleh benci, boleh lawan, tapi pada akhirnya kamu bakal sadar, nggak ada pria lain yang bisa sayangin kamu melebihi rasa sayangku padamu. Aku bakal bikin kamu nyesel udah pernah ngeraguin aku,” katanya mantap seolah kalimat itu sumpah yang tak bisa dicabut lagi.
Naina terdiam, seketika matanya basah, hatinya masih berontak. Namun dalam diam itu, ia tahu dirinya sudah masuk ke dalam lingkaran obsesi Ihsan yang tak akan mudah dilepaskan.
Ihsan berjalan perlahan, langkahnya mantap. Aura wibawanya terasa menekan, membuat udara kamar seakan lebih berat. Tingginya hampir sejajar dengan tubuh semampai Naina.
Gadis itu berdiri kaku, tangannya gemetar, matanya berkedip cepat seperti menahan sesuatu yang tak bisa diucapkan.
Tanpa peringatan, Ihsan menunduk dan mengecup keningnya. Sentuhan lembut itu justru membuat Naina semakin kalut. Ia menutup mata sejenak, tidak tahu harus melawan atau menerima keadaan.
“Aku nggak akan nyakitin kamu, Nai. Aku cuma pengen kamu ngerti, kamu sekarang bagian dari hidup aku. Kamu bukan tamu, kamu bukan orang asing. Kamu istriku,” ucap Ihsan pelan namun penuh penekanan.
Naina menoleh, matanya berkaca. “Kenapa harus aku? Dari sekian banyak perempuan yang bisa Om pilih, kenapa aku yang harus terjebak?” katanya lirih, nadanya lebih seperti rintihan.
Ihsan mengangkat wajahnya lagi, tatapannya tajam tapi bibirnya tersenyum tipis.
“Karena cuma kamu yang bikin aku ngerasa hidup lagi. Waktu pertama lihat kamu, aku tahu aku sudah kalah. Kamu bikin aku lupa umur, lupa semua aturan. Kamu satu-satunya yang aku mau bukan wanita lainnya,” imbuhnya penuh keyakinan.
Naina menggeleng lemah. “Aku takut, Om. Takut nggak bisa jadi apa yang Om harapin. Takut kehilangan diriku sendiri,” ucapnya jujur suaranya sedikit bergetar.
Ihsan mengusap pipinya, gerakannya lembut tapi terasa mengikat. “Nggak usah takut. Kamu tinggal ikut aku. Sisanya biar aku yang atur. Kamu bakal lihat sendiri, karena selama ini aku nggak pernah salah pilih,” ujarnya mantap, seakan dunia memang selalu menurut pada ucapannya.
Di dalam hatinya, Naina masih berperang dengan diri sendiri. Antara ingin melarikan diri, atau menyerah pada rasa asing yang pelan-pelan merayapi hatinya.
Tatapan mereka saling mengikat, seolah kamar hotel itu menyempit hanya menyisakan dua jiwa yang tengah berperang.
Naina mendongak, sorot matanya penuh tantangan meski hatinya masih bergetar. Bibirnya melontarkan kalimat yang tak pernah ia bayangkan keluar pada malam itu.
“Kalau gitu buktikan kalau Om bisa menunaikan ibadah kita sebagai suami istri dan bisa buat aku takluk!” serunya lantang, seolah berusaha menyembunyikan rasa takut di balik keberanian semu.
ayah sabung naina berhati mulia mau Nerima naina seperti putri kandungnya beda sama emaknya naina yg berhati siluman 😠👊
Apa mereke adek beradek tiri author???
Kenapa beda kasih sayangnya???
🤔🤔🤔🤔🤔
keluarkan Naina dari rumah itu.. 🥺🥺🥺🥺🥺