Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.
Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Alma?
Senja menjelang malam ketika Abraham melangkah keluar dari gedung Biantara. Udara Jakarta dipenuhi riuh kendaraan, lampu-lampu kota mulai menyala, seolah menyambut babak baru dari hari yang melelahkan. Di belakangnya, Julio menyusul dengan membawa map berisi berkas-berkas presentasi.
“Restoran mawar sudah siap, Pak,” ujar Julio singkat, menyesuaikan langkahnya. Abraham hanya mengangguk, rahangnya masih tegang setelah perdebatan dengan Rania tadi.
Mobil hitam mewah itu melaju menuju restoran bintang lima di kawasan elit. Restoran mawar terkenal sebagai tempat makan yang sekaligus ruang pertemuan eksklusif. Tak semua orang bisa memesan ruang privat di sana, kecuali mereka yang benar-benar berkuasa atau berpengaruh. Abraham termasuk di antaranya.
Begitu tiba, pelayan langsung membukakan pintu, menyambut dengan penuh hormat. Abraham dan Julio diarahkan menuju ruang privat di lantai dua, sebuah ruangan dengan meja panjang berlapis kain putih, lilin hias, dan lampu gantung kristal yang memancarkan cahaya hangat.
Di sana sudah menunggu tiga orang investor asing dan satu pengusaha lokal yang menjadi perantara. Mereka berdiri, menjabat tangan Abraham dengan penuh antusias.
“Mr. Abraham Biantara,” ucap salah satu investor asing dengan aksen berat, “sungguh sebuah kehormatan akhirnya bisa bertemu langsung. Kami banyak mendengar tentang kejayaan Biantara.”
Abraham tersenyum tipis, memberi jabatan tangan singkat namun berwibawa. “Kejayaan tidak datang sendiri, Tuan. Dia datang karena kerja keras semua pihak yang saling percaya.”
Suasana makan malam dimulai dengan penuh formalitas. Hidangan demi hidangan tersaji, sup krim jamur, steak wagyu, hingga dessert klasik. Namun lebih dari sekadar makanan, malam itu adalah medan pertempuran kata-kata.
Julio menyiapkan berkas, namun Abraham lebih memilih berbicara langsung. Dengan suara tenang dan penuh percaya diri, ia menjelaskan rencana ekspansi perusahaan, strategi jangka panjang, hingga keuntungan berlipat ganda yang bisa didapat para investor.
Namun, tak lama setelah presentasi berjalan lancar, salah seorang investor lokal tiba-tiba menyebut sebuah nama yang membuat suasana meja mendadak berubah.
“Bagaimana dengan kerja sama Anda dengan Nona Rania?” tanyanya sambil menyesap anggur. “Kami dengar beliau punya pengaruh besar dalam proyek ini.”
Julio menatap Abraham dengan ragu. Semua mata kini tertuju pada pria itu. Abraham menarik napas dalam, lalu meletakkan garpu di atas piring dengan tenang.
“Rania memang salah satu perwakilan dari perusahaan rekanan. Namun, perlu saya luruskan, Biantara berdiri di atas pijakan sendiri. Tidak ada satu pun individu yang bisa menggoyahkan pondasi kami.”
Investor asing mengangguk, tampak puas dengan jawaban itu. Namun investor lokal tadi masih menekan. “Tapi gosip yang beredar cukup kuat, Tuan Abraham. Katanya … ada hubungan pribadi antara Anda dan Nona Rania. Itu bisa memengaruhi keputusan bisnis, bukan?”
Julio langsung menegang, sementara Abraham tetap tenang. Matanya menatap lurus, penuh wibawa.
“Gosip tetaplah gosip. Jika saya harus menanggapi setiap desas-desus, maka saya bukan pebisnis, melainkan pemain sandiwara. Biantara tidak berdiri untuk rumor. Kami berdiri untuk hasil nyata.”
Keheningan sesaat. Lalu salah satu investor asing tertawa kecil, memecah ketegangan. “Bagus, jawaban yang jelas. Saya lebih suka mitra yang bicara dengan data, bukan dengan drama.”
Abraham tersenyum samar, lalu menatap Julio untuk menayangkan grafik keuntungan. Malam itu, ia membuktikan bahwa fokus dan ketegasan lebih berharga daripada seribu kata manis.
Namun, di balik ketenangannya, hatinya masih bergemuruh. Kata-kata Rania siang tadi terus terngiang.
'Setelah Alma pergi, akulah yang selalu muncul dalam hidupmu.'
Jamuan makan berakhir sukses. Para investor tampak puas, bahkan beberapa di antara mereka langsung menandatangani nota kesepahaman awal. Julio tersenyum lega, menutup berkas-berkasnya. Saat semua tamu sudah keluar, Abraham masih duduk di kursinya, memandangi gelas anggur yang belum habis. Julio mendekat, berbisik hati-hati.
“Tuan, tadi soal gosip dengan Nona Rania … apa tidak sebaiknya kita buat klarifikasi di media? Takutnya isu ini berkembang.”
Abraham mengangkat kepalanya, menatap Julio dalam-dalam. “Biarkan orang bicara, Julio. Semakin mereka membicarakan aku dan Rania, semakin cepat aku tahu siapa kawan, siapa lawan.”
Julio mengangguk pelan, meski raut wajahnya tetap khawatir. Abraham berdiri, merapikan jasnya, lalu melangkah keluar dari ruang privat. Malam Jakarta masih ramai, namun pikirannya semakin penuh. Tentang bisnis, tentang Alma, tentang Hanum yang menunggu di rumah dan tentang Rania yang seakan tak pernah berhenti membayangi langkahnya.
Pintu kaca restoran mawar berayun pelan saat Abraham melangkah keluar. Udara malam menyambut dengan hembusan angin lembap, aroma hujan yang baru saja reda masih terasa. Lampu-lampu kota berkilau di kejauhan, memantul di permukaan jalan yang basah.
Julio berjalan di belakangnya sambil sibuk dengan ponsel, melaporkan hasil rapat ke tim di kantor. Abraham sendiri hanya menatap lurus ke depan, langkahnya tegap namun pikirannya penuh. Kata-kata gosip di meja makan tadi masih menempel di benaknya, bercampur dengan bayangan Alma yang selalu muncul tanpa permisi.
Namun, tiba-tiba ...
Bruk!
Seseorang menabraknya dengan cukup keras. Seorang wanita muda, terburu-buru keluar dari arah yang berlawanan, hampir terjatuh. Refleks, tangan Abraham menahan lengan wanita itu, menariknya agar tidak jatuh ke lantai marmer yang licin. Detik itu juga, pandangan mereka bertemu.
Mata wanita itu membelalak, sementara Abraham terdiam, tubuhnya menegang. Ada sesuatu pada wajahnya, garis rahang, tatapan mata, bahkan cara helai rambut jatuh di sisi pipinya yang membuat napas Abraham tercekat.
“Al…” bibirnya nyaris berbisik tanpa sadar. Matanya melebar, jantungnya berdetak kencang hingga terasa menyakitkan.
" Alma…?"
Wanita itu menatap balik, seolah sama-sama terpaku, lalu buru-buru menarik tangannya dari genggaman Abraham. Ia menunduk cepat, menutup wajahnya sebagian dengan rambut panjangnya, dan tanpa berkata sepatah kata pun pergi begitu saja, menghilang di antara keramaian trotoar malam.
Abraham masih berdiri kaku, pandangannya tak lepas dari arah kepergian wanita itu. Sejenak dunia seakan membeku, suara kendaraan dan hiruk pikuk kota menghilang. Yang tertinggal hanya gema satu nama di kepalanya.
Julio yang baru sadar mendekat, bingung melihat ekspresi bosnya.
“Tuan, ada apa?”
Namun Abraham tidak menjawab. Matanya masih menatap kosong ke arah wanita tadi menghilang, wajahnya diliputi keterkejutan yang nyaris mustahil ia sembunyikan.
'Wanita itu ...'
terus kasihan tuh Hanum yang tulus