Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.
Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.
Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Uji Warna
Melly berdiri di sampingnya, senyum puas terpatri di wajahnya.
“Gue udah betulin semua. Lo sekarang bisa milih warna cat lewat kontrol ini,” katanya sambil menunjuk ke panel sentuh di lengan kanan armor. “Tinggal pencet, dan armor lo bakal narik aliran warna dari tubuh lo secara presisi. Gak bakal delay lagi kayak kemarin.”
Ajie berdiri di depan cermin besar, mengenakan Spectrum Core Suit yang kini terasa lebih nyaman dan menyatu dengan tubuhnya. Setiap gerakan terasa ringan, responsif. Seperti kulit kedua.
“Gila, Mel. Ini lebih canggih dari mobil balap,” katanya sambil meraba bagian dadanya. “Dan tombol warna ini... kayak remote ajaib.”
Melly tertawa. “Gue bahkan kasih mode otomatis kalau lo pengen sistem nentuin warna tergantung situasi. Tapi hati-hati, kadang insting armor lo bisa kelewat agresif.”
Ajie mengangguk. “Oke, kita coba.”
Ajie berdiri di puncak bukit kecil, tak jauh dari markas. Di bawah sana, jalanan kota Bandung mulai ramai. Suara klakson dan deru mesin terdengar samar. Melly dan Faisal memantau dari jauh, melalui monitor drone kecil yang melayang di atas bahu mereka.
“Testing satu... aktifkan warna biru,” gumam Ajie.
Ia menekan tombol biru di lengannya. Seketika, aliran biru mengalir dari tubuhnya ke ujung sarung tangan kanan. Pancaran warna itu keluar dalam bentuk cairan yang langsung membeku menjadi dinding es tipis di udara.
“Pendingin darurat aktif,” katanya.
Ia lalu menekan kuning. Kali ini, semburan cat menyebar seperti gel lengket, menempel ke tanah dan menghasilkan pijakan elastis.
“Nice,” ucapnya sambil meloncat.
Di udara, Ajie menekan tombol merah. Pancaran cat merah meledak di tangannya, membentuk dorongan kecil yang membuatnya terbang lebih tinggi beberapa meter. Sistem dorong darurat—berhasil.
Tiba-tiba, suara interkom dari helmnya menyala.
“Ajie, lo harus turun ke kota sekarang,” kata Melly, nadanya panik. “Ada kecelakaan kereta api di jalur Selatan. Dua gerbong keluar jalur, dan satu hampir jatuh ke jurang!”
Ajie tak menjawab. Ia hanya menatap ke kejauhan—ke arah kepulan asap hitam yang mulai naik dari balik perbukitan.
“Aktivasi mode cepat,” katanya sambil menekan tombol oranye.
Armor-nya menyala. Pendorong merah menyembur dari kedua telapak kaki dan punggung. Dalam sekejap, ia melesat ke arah lokasi kejadian.
Kereta itu tergelincir tak jauh dari jembatan sempit di jalur perbukitan. Beberapa gerbong hancur, dan orang-orang mulai berteriak panik. Di ujung rel, satu gerbong miring nyaris tergantung di ujung jurang, berderit pelan seperti menunggu waktu untuk jatuh.
Ajie mendarat keras di aspal, menimbulkan bekas cat merah menyala.
Orang-orang langsung menoleh.
“Itu siapa?”
“Superhero ya?”
“Lho, bajunya warna-warni!”
Ajie tak menjawab. Ia langsung bergerak. Panel di lengannya terbuka, menunjukkan tombol-tombol warna.
“Oke. Mulai dari biru.”
Ia menembakkan cat biru ke bagian bawah gerbong yang tergantung. Warna biru itu berubah jadi bekuan es yang memperlambat gerakan gerbong.
“Stabilisasi awal... aktif.”
Lalu ia beralih ke cat hijau—ditembakkan ke rel yang retak dan tanah sekitarnya. Cat itu berubah menjadi zat lengket yang mengeras dalam sekejap, mencengkeram roda dan rel seperti lem super.
Orang-orang mulai bersorak.
Tapi tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam gerbong. Seorang anak kecil masih terjebak di jendela yang remuk. Ajie berlari, menekan tombol ungu. Cat ungu keluar membentuk perisai elastis di lengannya, dan ia menembus kaca tanpa terluka.
“Tenang, dek. Abang bawa kamu keluar,” katanya sambil menggendong anak itu.
Begitu keluar, ia menekan merah. Semburan kecil meledak dari punggungnya, membantunya melompat kembali ke tanah dengan selamat.
Gerbong berhasil distabilkan. Korban selamat dibawa menjauh.
Ajie berdiri di tengah rel, napas berat, tapi matanya menyala.
“Armor ini... gila,” katanya dalam helmnya. “Kita masih punya tenaga. Mana lagi?”
Sore harinya, saat langit mulai memerah, alarm di helm Ajie kembali menyala.
“Kebakaran gedung di pusat kota. Lantai lima ke atas udah dilalap api,” lapor Melly dari markas.
Ajie melesat lagi, kali ini lebih cepat. Ia mendarat tepat di jalanan depan gedung apartemen tua. Api menjilat dari lantai atas, asap mengepul ke langit. Orang-orang berlarian, dan petugas pemadam masih dalam perjalanan.
Ajie masuk tanpa ragu.
Di dalam, ia menekan tombol kuning. Gel lengket melapisi sepatu dan tangannya, membuatnya bisa merayap di dinding dengan cepat.
Lantai enam. Seorang wanita tua terjebak di balkon, batuk parah.
Ajie melompat, menekan tombol biru. Cat biru menyebar menjadi kabut dingin, menurunkan suhu udara di sekitarnya. Api perlahan mereda.
“Bu! Pegang tangan saya!”
Wanita itu diselamatkan. Tapi dari dalam gedung terdengar suara tangisan lain.
Ajie menyusup masuk, menembakkan cat hijau ke pintu yang terbakar, membuatnya padam dan keras. Di dalam, ada dua anak kecil bersembunyi di bawah meja.
“Gue rasa ini bonus,” gumam Ajie sambil mengambil mereka.
Begitu keluar, ia menekan tombol merah dan terbang rendah menembus asap.
Dari bawah, orang-orang bersorak.
“Siapa dia?”
“Superhero baru?”
Ajie mendarat, memutar badannya, dan melambaikan tangan. Helm-nya menyala.
“Nama gue...” Ia berhenti sejenak, lalu tersenyum kecil.
“...The Painters.”
Malam itu, di markas Torque Queen, Melly dan Faisal menatap layar drone yang memperlihatkan rekaman aksi Ajie.
“Lo tahu,” gumam Faisal sambil mengangkat cangkir kopi. “Gue rasa Paint Man juga oke, tapi... The Painters punya style.”
Melly mengangguk pelan. “Dia bukan cuma orang yang disemprot kekuatan. Dia pelukis. Dunia ini kan udah kacau. Mungkin... saatnya dikasih warna baru.”
Ajie masuk, membuka helmnya. Wajahnya lelah tapi puas.
“Warna-warna itu... sekarang terasa lebih hidup,” katanya.
Melly tersenyum. “Lo udah siap?”
Ajie menatap jauh, ke arah malam gelap di balik jendela.
“Belum. Tapi gue siap jadi warna yang dibutuhkan dunia.”