NovelToon NovelToon
Terpaksa Menjadi Madu

Terpaksa Menjadi Madu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Alya adalah gadis mandiri yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Hidupnya sederhana namun bahagia, hingga suatu hari ia harus menghadapi kenyataan pahit, ayahnya terlilit utang besar kepada seorang pengusaha kaya, Dimas Ardiansyah. Untuk melunasi utang itu, Dimas menawarkan satu-satunya jalan keluar—Alya harus menikah dengannya. Masalahnya, Dimas sudah memiliki istri.

Dengan hati yang terpaksa dan demi menyelamatkan keluarganya, Alya menyetujui pernikahan itu dan menjadi madu. Ia masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang dingin, penuh rahasia, dan ketegangan. Istri pertama Dimas, Karin, wanita anggun namun penuh siasat, tidak tinggal diam. Ia menganggap Alya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.

Namun di balik sikap dingin dan keras Dimas, Alya mulai melihat sisi lain dari pria itu—luka masa lalu, kesepian yang dalam, dan cinta yang belum sempat tumbuh. Di tengah konflik rumah tangga yang rumit, kebencian yang mengakar, dan rahasia besar dari masa lalu,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 6

Hujan turun deras malam itu. Kota seakan ikut meratap bersama Alya yang duduk di dekat jendela apartemennya, mengenakan hoodie abu-abu dan memeluk lututnya. Hari itu, Dimas pulang lebih awal. Bukan dengan kemarahan, tapi dengan bunga lili putih di tangannya—bunga favorit Alya.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” katanya, basah kuyup, berdiri di depan pintu. “Tapi tolong... izinkan aku belajar menjadi laki-laki yang lebih dari sekadar suami di atas kertas.”

Alya hanya menatapnya. Tidak membukakan pintu. Tapi juga tidak mengusir.

“Kamu ingat,” ucap Alya pelan, “bunga ini kamu berikan dulu... bukan karena cinta. Tapi karena kewajiban.”

Dimas menggenggam bunga itu erat. “Dulu iya. Sekarang tidak.”

Ia akhirnya duduk di sofa, dan mulai membuka semua yang selama ini ia pendam. Tentang tekanan dari keluarga, ketakutannya kehilangan segalanya—perusahaan, citra, dan akhirnya… hatinya sendiri.

“Setelah Karin menggugat cerai, aku pikir semuanya akan tenang. Tapi nyatanya, aku kehilangan pegangan. Dan kamu… kamu tetap di situ. Diam. Menanggung semuanya. Sendiri.”

Alya menoleh perlahan. “Lalu kenapa kamu baru bicara sekarang? Saat Rey sudah hadir dan menunjukkan bahwa aku pantas dicintai, tanpa syarat?”

Dimas menatapnya. “Karena aku bodoh.”

Hening menggantung. Alya berdiri, berjalan ke dapur, lalu kembali membawa dua cangkir teh jahe. Ia menyodorkan satu untuk Dimas, tapi tak bicara lagi malam itu.

Hari-hari berikutnya.

Dimas mulai berubah. Ia pulang lebih awal, membantu membersihkan dapur, menjemput Alya ke tempat kegiatan sosial Rey, bahkan mengantar ayah Alya ke rumah sakit. Tapi entah kenapa, di hati Alya, semua kebaikan itu terasa… terlambat?

Sementara Rey, dengan cara yang lebih tenang, terus hadir tanpa meminta. Ia tak pernah menuntut Alya membalas cintanya. Ia hanya berkata:

“Kalau kamu butuh bahu untuk bersandar, bukan pelarian, aku ada.”

Alya mulai berada di pusaran perasaan yang tak mudah dijelaskan. Dimas adalah suaminya. Rey adalah seseorang yang membuatnya merasa hidup.

Sampai malam itu.

Alya diundang menjadi narasumber dalam diskusi kampus bertema “Perempuan dalam Jerat Poligami Paksa”. Ia awalnya menolak. Tapi Rey mendorongnya.

“Kamu punya suara, Alya. Suaramu bisa jadi nyawa untuk mereka yang bungkam.”

Alya akhirnya hadir. Dengan mengenakan gamis hitam dan kerudung krem, ia naik ke podium, jantungnya berdetak cepat.

Dan di hadapannya, duduk para mahasiswi, beberapa dosen, dan... Rey. Bahkan Dimas pun datang diam-diam, duduk di bangku belakang.

Alya membuka pidatonya dengan suara tenang:

“Saya bukan korban. Tapi saya juga bukan pilihan. Saya berada di tengah—antara kehendak orang tua, janji suami, dan suara hati saya yang hampir mati.”

“Menjadi istri kedua bukan hanya soal status. Itu tentang identitas. Tentang bagaimana kamu dibagi, dilihat sebagai pelengkap, bahkan sering dianggap perusak.”

“Tapi saya percaya, setiap perempuan bisa memilih. Termasuk saya. Dan hari ini, saya memilih... untuk hidup dengan suara saya sendiri.”

Tepuk tangan menggema. Tapi tak satu pun semerdu suara hatinya sendiri yang kini menggema di dalam dirinya.

Di parkiran.

Dimas menghampirinya. Wajahnya tenang, tidak lagi panik seperti dulu.

“Alya,” katanya lirih. “Aku tahu aku terlambat. Tapi aku ingin kamu tahu jika apa pun pilihanmu, aku akan terima. Karena aku akhirnya paham. Kamu bukan milikku. Kamu milik dirimu sendiri.”

Alya tak menjawab. Ia hanya menatap langit, hujan rintik mulai turun. Lalu suara lain menyusul:

“Aku titipkan dia padamu dulu,” ujar Rey dari samping Dimas. “Tapi sekarang, aku juga ingin memperjuangkannya. Karena aku mencintainya. Bukan karena dia istri orang, tapi karena dia perempuan yang layak dicintai dengan penuh.”

Dimas menatap Rey, tak ada amarah. Hanya kesadaran –pria itu mencintai Alya dengan cara yang tak pernah ia pelajari.

Alya berdiri di antara mereka.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak merasa harus memilih karena terpaksa—tapi karena ia ingin memilih.

Beberapa hari kemudian.

Alya mengambil keputusan besar. Ia tidak langsung menggugat cerai. Ia tidak langsung menerima Rey.

Ia memilih pergi—sementara.

Ia menyewa kamar kecil di pinggiran kota. Hidup sendiri. Membaca, menulis, dan menyusun ulang hidupnya. Rey tak mengganggunya. Dimas hanya mengirim pesan singkat tiap minggu.

Dan suatu hari, di jurnal harian, Alya menulis,

“Cinta itu bukan tentang siapa yang datang paling dulu atau paling belakangan. Tapi siapa yang tinggal saat aku tidak lagi sempurna.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!