"Aku tidak mau dijodohkan! Bukankah kalian semua tau kalau aku sudah memiliki kekasih? " "Kami semua tau nak, tapi tidak bisakah kamu menolong papa sekali ini saja, ? " "Tidak! Yang menjadi anak dirumah ini bukan hanya aku saja, masih ada Melodi di rumah ini, kenapa bukan dia saja yang kalian jodohkan! "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alizar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Arkan duduk termangu di ruang kerja yang remang-remang, hanya diterangi cahaya lembut dari lampu samping sofa. Tangan kanannya masih meremas ponsel yang telah mati, seolah mencari jawaban yang tidak akan pernah ia temukan di sana. Di wajahnya tergambar kebimbangan yang mendalam, seiring dengan kerutan di dahinya yang semakin menonjol.
Saat itu, ingatan tentang Rina kembali menghantui pikirannya. Wajah Rina yang ceria, tawanya yang lepas, dan momen-momen indah yang pernah mereka bagi bersama-sama. Namun, di balik kenangan itu, ada rasa sakit yang tak terhindarkan, mengingatkan Arkan bahwa Rina kini bukan lagi bagian dari hidupnya.
Dengan napas yang berat, Arkan berusaha mengusir bayang-bayang masa lalu itu. Dia menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi kebahagiaan rumah tangga yang telah dibangun bersama Melody, istri tercintanya. Tekadnya menguat, dia bangkit dari kursi, langkahnya mantap menuju saklar untuk mematikan lampu. Kegelapan yang menyelimuti ruangan semakin menambah kesan dramatis pada detik-detik keputusannya itu.
Tanpa suara, dia berjalan menuju kamar, di mana Melody sudah tertidur pulas. Arkan duduk perlahan di sisi tempat tidur, memandangi wajah damai Melody yang terlelap. Dalam hati, dia berharap bahwa esok hari akan membawa kabar baik tentang Rina, agar dia bisa menutup lembaran itu dengan tenang dan fokus pada kehidupan barunya. Dengan perasaan yang bercampur aduk, Arkan merebahkan tubuhnya, mencoba untuk mendapatkan sedikit kedamaian dalam pelukan malam yang hening.
"Aku tidak akan pernah lupa bagaimana dulu kau meninggalkan ku, hanya karena aku mengalami kecelakaan hingga cacat sementara. Lalu sekarang, entah bagaimana ceritanya setelah beberapa tahun lamanya kau muncul begitu saja, dan mencoba mengganggu rumah tangga ku. Aku tidak akan membiarkan kau melakukan nya, Rina! " Gumam Arkan sebelum benar benar terlelap dipelukan istrinya.
***
Dini hari, Arkan terbangun sebelum fajar menyingsing. Dia tahu ini akan menjadi hari yang berat karena harus berangkat ke kota A untuk mengatasi masalah di cabang perusahaannya. Melody, istrinya, mengikutinya ke ruang tamu, masih dengan piyama dan rambut acak-acakan, sambil terus mengomel tentang betapa dia tidak ingin Arkan pergi.
"Aku tahu, Sayang, tapi ini penting," ujar Arkan sambil menyesuaikan dasinya di depan cermin.
Melody mengerucutkan bibirnya, "Baiklah, tapi janji padaku, mas akan menjaga diri. Dan jangan lupa untuk meneleponku setiap hari."
Arkan mendekat dan mengangkat dagu Melody agar tatapan mereka bertemu. "Aku berjanji," katanya dengan lembut, "Dan kau juga, jagalah dirimu di sini. Terutama ketika masuk sekolah nanti, bukan kah ini hari pertama mu melanjutkan pendidikan? Maka aku minta jaga diri baik baik disana. aku tidak ingin ada yang mengganggumu."
Melody mengangguk, matanya terlihat sedikit berkaca-kaca. "Aku akan," bisiknya tidak sanggup melanjutkan kata katanya.
Mereka berpelukan erat, mencoba mengabadikan kehangatan itu sejenak sebelum Arkan harus pergi. Setelah itu, dengan tas kerja di tangan, Arkan melangkah keluar dari rumah, meninggalkan Melody yang berdiri di ambang pintu, mengawasi mobilnya menjauh sampai tak terlihat lagi.
Melody menghela napas lega ketika Arkan akhirnya meninggalkan rumah dengan ciuman singkat di keningnya. "Semoga hari pertamamu menyenangkan, Sayang," ucap Arkan sambil melambaikan tangan. Setelah pintu tertutup, Melody bergegas ke kamar mandi untuk mandi dan bersiap. Tak ada waktu untuk rasa gugup atau takut, hari ini adalah hari pertamanya sebagai mahasiswa baru di kampus ternama di kota tersebut, dan dia tidak ingin membuat kesan buruk dengan terlambat.
"Baru juga semalam aku bicara, dan meminta izin untuk sekolah lagi. Ternyata mama mertua secepat itu melakukan nya, dan hari ini aku mulai kuliah. Huft! Padahal mataku masih mengantuk, tapi? Ah sudahlah, lebih baik aku bersiap siap. " Gerutunya sambil terus berjalan
Melody memilih pakaian terbaiknya, gaun biru muda dengan aksen putih di bagian kerah, mencerminkan kesan ceria namun profesional. Rambutnya diikat rapi menjadi ponytail, dan ia memilih sepatu flat yang nyaman untuk berjalan. Setelah sarapan singkat dengan segelas jus dan roti bakar, ia mengambil tas kuliahnya yang telah disiapkan sebelumnya.
Di perjalanan, hati Melody berdebar, memikirkan semua kemungkinan yang akan dihadapi. Dia membayangkan kelas-kelas yang akan diikuti, teman-teman baru yang akan ditemui, dan tentunya, dosen-dosen yang akan memberinya ilmu. Gedung kampus tampak megah dan penuh dengan kegiatan saat ia memasuki gerbang utama. Mahasiswa baru lainnya tampak sama gugupnya, namun semua berjalan dengan semangat.
Melody mengambil jadwalnya dari tas dan memeriksa ruang kuliah pertamanya. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju gedung kuliah, siap menatap masa depan dengan penuh harapan dan keberanian. Hari ini, Melody tidak hanya memulai perjalanan akademiknya, tapi juga perjalanan hidup baru sebagai seorang istri dan mahasiswa, menggabungkan dua dunia yang sangat dia cintai.
Hari pertama kuliah biasanya menyenangkan, tetapi tidak bagi Melody. Semua berjalan lancar hingga jam istirahat tiba. Melody yang hanya seorang mahasiswa baru, atau maba, memutuskan untuk makan siang di kantin. Namun, ketenangan itu buyar ketika sekelompok perempuan yang terkenal sebagai geng dominan di kampus mulai menggoda dan mengganggunya. Awalnya, Melody memilih untuk diam dan tidak menanggapi provokasi mereka, berharap mereka akan berhenti. Namun, kelompok itu tampaknya tidak puas dengan kediaman Melody. Mereka mulai meningkatkan intensitas ejekan mereka, bahkan sampai menumpahkan minuman ke atas meja Melody.
Melihat keadilan dan haknya sebagai individu dilanggar, Melody tidak bisa lagi hanya duduk dan diam. Dengan napas yang terengah-engah dan jantung berdebar, ia bangkit dari tempat duduknya. Mata Melody yang semula tampak pasrah, kini berkilat tajam penuh dengan keberanian. "Cukup," ucapnya tegas, suaranya mengandung kekuatan yang tidak terduga.
Para perempuan itu terkejut. Mereka tidak mengira bahwa Melody, yang tampak lembut dan tidak berbahaya, akan berani melawan. Tapi Melody tahu ia harus berdiri untuk dirinya sendiri. "Saya hanya ingin makan siang dengan tenang. Saya tidak mengganggu siapa pun, dan saya berhak mendapatkan rasa hormat yang sama seperti yang Anda berikan kepada yang lain," lanjut Melody, suaranya mantap.
Ketegangan di kantin meningkat, namun beberapa mahasiswa lain mulai memberikan dukungan kepada Melody, memberikan tepuk tangan dan seruan agar geng perempuan itu berhenti mengganggu. Melihat dukungan itu, kelompok perempuan tersebut akhirnya mundur, meski dengan cemoohan terakhir.
Melody menghela napas lega dan kembali ke meja makanannya. Meskipun gemetar, ada rasa kepuasan dalam dirinya. Ia telah mempertahankan dirinya dan belajar pelajaran penting tentang keberanian pada hari pertama kuliahnya.
"Lihatlah, ini baru hari pertama tapi sudah ada keributan. Tidak SMP, SMA bahkan kuliah pun masih saja sama. Selalu saja ada kelompok geng pembuatan onar. Entah apa untung nya aku sendiri pun juga tidak mengerti, " Ucap melody menyantap makanan nya
"Yang pasti tidak ada untungnya. Aku sama denganmu, sama sekali tidak mengerti apa gunanya geng geng seperti itu di kampus. Sok berkuasa dan suka menindas orang lain. " Seseorang menyahut dan langsung duduk begitu saja tepat dihadapan Melody, membuat melody menatap nya dengan bingung
Perempuan itu tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Kenalkan. Namaku Risa Yanuarti, aku juga baru satu minggu jadi maba disini, dan setauku kampus sedang tidak penerimaan murid baru. Tapi kenapa kau bisa? " Ucapnya yang membuat melody melongo
"Cerewet juga ya ternyata haha. Kenalkan, namaku Melody Indhira, " Tawa Melody setelah beberapa saat sempat melongo karena ulah Risa tadi
Senyum Risa semakin mengembang ternyata Melody sangat welcome padanya. Ia kira tadi melody akan bersikap cuek dan sombong seperti murid murid lainnya. "Kau belum menjawab pertanyaan ku, bagaimana bisa kau masuk ke kampus ini? " Tanyanya
Melody mengangkat bahu acuh. "Entahlah, aku juga tidak tau. Mama mertua ku yang mengurusnya, baru kemarin aku meminta izin eh langsung dikabulkan aja. " Jawab Melody membuat Risa terkejut
"Mama mertua? Maksudnya, kau sudah menikah? " Tanya Risa menatap Melody dari atas hingga bawah
Melody mengangguk sambil menunjukan cincin di jari nya. "Wow, aku kira tadi kau sama seperti ku, jomblo hahaha. " Tawanya pecah riang, Melody pun ikut tersenyum
Keheningan sempat terjadi sejenak sebelum Risa pun berbicara. "Eum, Melody. Kau disini mengambil jurusan apa? " Tanya Risa penasaran
"Hanya Farmasi. " Jawab Melody cepat
"Wah benarkah? "
"Iya, kau sendiri? " Tanyanya balik
"Aku ekonomi, " Jawab Risa dan Melody mengangguk mengerti
***
"Brengsek! Fajar! Cepat bawa pria itu kehadapan ku sekarang juga. " Perintah Arkan pada Fajar yang berdiri tepat dihadapan nya
"Baik!" Dengan Sigap Fajar melaksanakan perintah yang Arkan berikan padanya. Tak butuh waktu yang lama, Fajar sudah datang kembali membawa pria tua itu ke hadapan Arkan.
Arkan menatap tajam ke arah pria yang tergopoh-gopoh dibawa oleh Fajar ke ruangannya. Sorot matanya bagai api yang siap membakar segala pengkhianatan. "Kau pikir aku tidak tahu?" suaranya menggema keras, menggetarkan dinding kantor cabang yang selama ini dia bangun dengan darah dan keringat.
Pria itu terjatuh berlutut di depan Arkan, tangannya gemetar mencoba untuk menutupi wajah yang pucat pasi. "Tuan Arkan, saya mohon, ini semua adalah kesalahpahaman..." suaranya tercekat, terputus oleh ketakutan yang melumpuhkan.
Arkan bangkit dari kursinya, langkahnya tegap mendekati pria yang berlutut itu. "Kesalahpahaman?" Arkan mengulang dengan nada mencemooh. "Kau berani memainkan uang perusahaan untuk keuntungan pribadimu, dan kau sebut itu kesalahpahaman?"
Tangannya mencengkeram kerah baju pria itu, mengangkatnya hingga hampir menyentuh wajahnya. "Aku telah bertaruh nyawaku untuk membangun bisnis ini, dan kau, dengan seenaknya, menghancurkannya!" amarah Arkan memuncak, nadanya bagaikan guntur yang siap menyambar.
Air mata mulai mengalir di pipi pria itu, namun Arkan tidak bergeming. "Tidak ada tempat bagi pengkhianat di sini. Kau telah mengkhianati kepercayaan yang kuberikan padamu!" Arkan melemparkan pria itu kembali ke lantai, suara benturan tubuhnya menambah ketegangan di ruangan itu.
Fajar, yang berdiri di sudut ruangan, hanya bisa menundukkan kepala, merasakan beratnya atmosfer yang tercipta oleh kemarahan Arkan. Diam-diam dia berdoa agar keadilan segera terpenuhi, agar tidak ada lagi korupsi yang merusak perusahaan yang telah banyak berkorban untuk karyawan dan masyarakatnya.