Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.
Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?
PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 : Dibunuh Perlahan
Malam itu, setelah semua pulang.
Samantha duduk sendirian di kursinya, lampu ruang kerjanya satu-satunya yang masih menyala di lantai editorial. Gelap di luar sana, dan sunyi merambat masuk dari lorong-lorong. Tapi hatinya justru terisi dengan hiruk-pikuk pikiran yang membenturkan nama Nathaniel Graves dari segala arah.
Ia membuka laptop pribadi yang selalu ia bawa, bukan milik kantor. Jari-jarinya gemetar saat mulai mengetik di mesin pencarian, menelusuri nama-nama perusahaan investasi yang pernah bekerja sama dengan Leonard, lalu mencocokkannya dengan entitas bisnis milik Nathaniel.
Satu per satu, tautan demi tautan ia buka.
Ada kemiripan. Pola yang berulang. Nama pengurus yang sama. Laporan merger yang tertutup. Bahkan ada nama-nama pemilik saham minoritas yang jika ditelusuri lebih jauh, berafiliasi dengan Graves Holdings, induk perusahaan Nathaniel.
"Dia menanam orang-orangnya ke mana-mana…" gumam Samantha pelan, nyaris seperti desahan. Napasnya tercekat.
Semakin dalam ia menggali, semakin jelas bahwa kejatuhan Leonard bukanlah kebetulan. Nathaniel tidak hanya menghancurkan karier suaminya, dia melakukannya secara sistematis, rapi, dan licik… tanpa jejak yang mudah dikenali oleh orang biasa.
Tapi Samantha bukan orang biasa lagi.
Malam itu ia juga menyusup ke arsip digital kantor, menggunakan akses khusus yang diberi Evelyn padanya beberapa bulan lalu. Ia tidak tahu harus mencari apa, tapi tangannya digerakkan oleh rasa dendam yang perlahan tumbuh di bawah kulitnya.
Di dalam folder-folder lama, Samantha menemukan dokumen internal yang menunjukkan transfer dana dari salah satu anak perusahaan Graves Holdings, yang belakangan memutus kontrak dengan perusahaan Leonard.
"Dibunuh perlahan..." pikirnya. Mata Samantha panas, dadanya bergemuruh.
Di sela pencariannya, ada momen ketika ia memandangi foto Nathaniel yang terpampang di profil internal perusahaan, foto resmi, tersenyum kharismatik. Dan di balik layar kaca, Samantha menatap pria itu seperti menatap monster bertopeng.
Bukan hanya karena ia telah merenggut tubuhnya.
Bukan hanya karena ia telah menghancurkan pria yang dicintainya.
Tapi karena Nathaniel melakukannya dengan senyuman.
...****************...
Malam itu, setelah menemukan cukup banyak benang merah...
Samantha bersandar di kursinya, napasnya masih berat, matanya nanar menatap layar laptop yang menampilkan deretan bukti tak terbantahkan. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya terjaga penuh. Ia tahu, ini belum cukup untuk menjatuhkan seorang Nathaniel Graves. Lelaki itu terlalu cerdas untuk membiarkan dirinya terlihat sebagai dalang.
Namun satu hal jelas, ia telah menekan terlalu jauh.
Samantha menutup laptopnya perlahan, lalu berdiri, menatap refleksinya di kaca jendela. Di balik bayangan itu, ia melihat sosok dirinya yang dulu, naif, patuh, dan mudah dipermainkan. Kini, yang berdiri di sana adalah seorang wanita yang terluka tapi mulai memegang kendali atas lukanya.
"Kau pikir kau bisa kendalikan aku selamanya, Nathaniel?" bisiknya pada pantulan kaca.
"Kau lupa... aku juga bisa berpura-pura."
Keesokan harinya, Samantha menyusun strategi dengan kepala dingin. Ia mulai menyimpan rekaman percakapan mereka diam-diam, terutama saat Nathaniel bersikap manipulatif, posesif, atau mengancam. Ia menyematkan alat perekam mungil di bawah ID card-nya, selalu aktif setiap kali ia berada di dekat lelaki itu.
Ia juga menghubungi seseorang yang dulu direkomendasikan Evelyn, seorang mantan analis hukum perusahaan yang kini bekerja freelance. Mereka bertemu diam-diam di sebuah kedai kecil, jauh dari pusat kota. Samantha membayar mahal agar pria itu mau membantunya menelusuri semua jalur keuangan ilegal, potensi konflik kepentingan, dan penyalahgunaan kekuasaan yang mungkin dilakukan Nathaniel.
Semua gerakan dilakukan hati-hati.
Tidak ada satu pun perubahan dalam ekspresinya di kantor. Ia tetap tersenyum saat menyajikan kopi untuk Nathaniel. Tetap mengangguk saat menerima tugas. Bahkan sesekali masih membiarkan dirinya disentuh, agar Nathaniel tidak curiga. Tapi setiap sentuhan itu kini bagai luka terbuka yang ia simpan sebagai bukti.
Ia mulai mencatat semuanya.
Jam pertemuan. Tanggal transaksi. Saksi diam. Tatapan para staf yang mencurigai tapi memilih bungkam.
Hari demi hari, Samantha menyulam jaringannya sendiri.
Ia tahu, waktunya belum tiba. Tapi ketika semuanya siap, ia ingin melihat pria itu kehilangan kendalinya. Menyaksikan Nathaniel Graves jatuh dari takhta kekuasaannya...dan tahu bahwa wanita yang ia anggap miliknya, ternyata adalah algojo yang paling ia remehkan.
...****************...
Dia belajar dari lelaki itu, bahwa kekuasaan bisa diselubungi kelembutan. Bahwa kendali tak selalu datang dari suara lantang, tapi bisa juga lewat senyuman kecil yang menyesatkan.
Samantha tahu permainan ini berbahaya, tapi ia juga tahu... satu-satunya cara untuk menang dari pemangsa adalah dengan menjadi lebih licik tanpa kehilangan wajah manusia.
Ia mulai mendekati Nathaniel lebih dulu, seolah luka-luka beberapa waktu lalu telah sembuh dengan sendirinya. Saat pria itu melangkah masuk ke ruang kerjanya tanpa mengetuk, Samantha tidak lagi melawan. Ia justru berdiri dari balik mejanya dan menawarinya kopi, bahkan bercanda ringan tentang dasi pria itu yang "terlalu kaku untuk hari Jumat."
Nathaniel sempat menatapnya curiga, tapi juga terbuai. Ia menyukai wanita yang patuh, dan jauh di lubuk hatinya, Nathaniel ingin percaya bahwa Samantha telah menerima takdirnya, sebagai milik pria itu.
Padahal, setiap kata manis Samantha adalah perangkap.
Setiap senyuman, setiap lirikan mata, bahkan cengkeraman kecil di lengan Nathaniel saat mereka bersisian... semuanya punya tujuan. Ia membuat Nathaniel lengah, membuat pria itu yakin bahwa Samantha mulai merindukannya, mulai mencintainya.
Dan ketika Nathaniel semakin terbuka, semakin sering membisikkan ambisi-ambisinya, bahkan rencana ekspansi perusahaan, Samantha merekamnya semua.
Tanpa disadari, Nathaniel mulai memberinya akses ke lebih banyak informasi.
"Kalau kau ingin, kau bisa ikut ke New York bulan depan. Aku ingin kau dampingi aku dalam pertemuan bisnis," ujar Nathaniel suatu sore sambil menyentuh pinggangnya ringan.
Samantha tersenyum dan menjawab, "Tentu, asalkan hanya aku yang kau bawa, Nathaniel."
Ia menatap tajam, dan lelaki itu tertawa kecil, menganggapnya manja. Padahal ia baru saja menyegel satu kesempatan emas, perjalanan keluar negeri, tanpa Leonard, dengan ruang dan waktu untuk menggali lebih dalam semua kebusukan Nathaniel.
Dalam kepalanya, Samantha sudah menyusun skenario. Ia akan membawa Nathaniel naik… hingga di titik tertingginya. Dan dari sana, ia akan menjatuhkannya dengan tangan sendiri.
Sementara itu, di hadapan Nathaniel, ia tetap menjadi wanita manis yang bisa ia sentuh kapan saja. Wanita yang diam saat tubuhnya dipeluk, tapi dalam hatinya menghitung waktu... kapan pria itu akan hancur.
...****************...
Sejak malam kepulangan Leonard dari keterasingannya, udara di apartemen mereka tak lagi sesesak sebelumnya. Masih ada luka, masih ada jeda, tapi tak lagi dipenuhi kemarahan atau diam yang saling melukai. Samantha menemukan dirinya menatap punggung Leonard lebih lama dari biasanya, memperhatikan bagaimana pria itu kini lebih sering diam, namun tak lagi menjauh.
Leonard mulai pulang tepat waktu. Ia tidak lagi menghabiskan malam di bar, atau menghindari rumah seperti dulu. Bahkan beberapa kali, ia memasak makan malam, sederhana, hanya pasta atau telur dadar, tapi itu cukup untuk membuat Samantha duduk bersamanya di meja makan, meski tanpa banyak bicara.
"Aku tahu ada yang kau sembunyikan," ujar Leonard suatu malam, suaranya pelan, nyaris seperti gumaman saat mereka berdua duduk di balkon, menatap cahaya kota.
Samantha tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menggenggam cangkir tehnya erat-erat. Tapi Leonard tidak memaksanya. Ia hanya mengangguk perlahan dan menambahkan, "Aku akan tunggu. Sampai kau siap."
Kalimat itu sederhana, tapi menghantam dinding di hati Samantha yang selama ini ia bangun tinggi-tinggi. Leonard tak memarahinya, tak mendesaknya, hanya… menunggu. Dan itu membuat hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya.
Sejak saat itu, Samantha mulai membuka sedikit ruang. Ia tidak lagi menepis tangan Leonard saat pria itu menggenggam jari-jarinya. Ia bahkan membiarkan dirinya tertidur dalam pelukan Leonard, untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Ada ketakutan yang masih menggantung. Rahasia yang terus menyesakkan di dadanya, seperti duri yang belum dicabut. Tapi kini, di samping Leonard yang lebih lembut dari biasanya, Samantha mulai berpikir… mungkin ia tidak harus menyimpan semuanya sendirian.
Dan di balik semua itu, Samantha juga tahu, waktunya tidak banyak. Nathaniel masih menuntut, masih mengintai, dan Samantha berada di tengah dua kutub yang perlahan akan saling bertabrakan.
Namun malam-malam seperti ini, saat Leonard menyentuh pipinya dengan tenang, tanpa curiga, memberi Samantha kekuatan. Untuk terus berpura-pura. Untuk terus bertahan. Dan mungkin, jika waktunya tepat, untuk akhirnya mengungkapkan segalanya… pada pria yang tetap menunggunya, meski luka sudah menumpuk terlalu dalam.