TERPERANGKAP
Samantha Hill membuka matanya perlahan, mengedarkan pandangan. Langit-langit kamar itu terasa asing baginya, putih pucat seperti rumah sakit, tapi tak ada suara mesin, tak ada perawat. Hanya keheningan. Ketika kepalanya berpaling, ia menyadari bahwa ia tidak sendiri di ruangan itu. Ada orang lain yang tengah terbuai dalam tidur lelapnya. Tapi itu bukan tubuh suaminya. Jantung Samantha berdesir ngilu. Hampir separuh badan pria tersebut tertutup selimut, menyisakan sedikit punggung kekar tanpa balutan.
Seluruh tubuhnya terasa remuk, dengan rasa sakit yang berpusat di selangkangan. Pakaiannya berserakan di lantai. Selimut kusut menutupi sebagian tubuhnya, namun dingin ranjang hotel itu tetap menyusup hingga ke tulang belulang.
Samantha nyaris menjerit, tapi tenggorokannya kering. Tak ada suara yang keluar. Yang ada hanya air mata, diam-diam mengalir, bersaing dengan aliran rasa bersalah yang begitu dalam.
Dia menikah. Dia punya keluarga. Dia mencintai suaminya.
Leonard Hill adalah pria sempurna di mata siapa pun. Cerdas, elegan, dan penuh kasih. Suami yang dicintainya sejak tahun pertama kuliah. Mereka membangun hidup bersama dari bawah, dan kini telah berdiri sebagai pasangan yang hampir tak tergoyahkan.
Hampir.
Sampai malam itu.
Samantha tak ingat bagaimana ia sampai di kamar itu. Ia hanya ingat gelas anggur ketiga, rasa kantuk yang tak wajar, dan... lalu gelap. Sekarang, gelap itu meninggalkan jejak di kulit dan jiwanya.
Samantha bangkit perlahan, bergerak tanpa suara. Ia mengumpulkan sisa bajunya, mengenakannya satu per satu dengan tangan gemetar. Tapi belum sempat tangannya menyentuh pintu...
"Pergi tanpa pamit, Samantha?"
Suaranya dalam, nyaris angkuh. Pria itu telah bangun dan duduk di ranjang, pria tampan dengan garis tegas di wajahnya. Tatapannya tajam, menatapnya tanpa malu, tanpa penyesalan. Justru sebaliknya. Ia menatap seperti seseorang yang baru saja memenangkan sebuah permainan.
"Anda tahu nama saya?" bisik Samantha, ketakutan.
"Aku tahu lebih banyak dari itu," jawabnya. "Kau adalah milikku sekarang."
Namanya adalah Nathaniel Graves. Seorang pengusaha muda yang sedang naik daun. Kaya, cerdas, dan... sangat berbahaya.
Rasa takut menjalar dalam diri Samantha. Tubuhnya bergetar hebat. Ia berlari keluar dari kamar hotel dengan sisa-sisa kekuatannya, seolah dikejar setan. Tapi rasa bersalah itu tetap menempel, menggerogoti setiap langkah, setiap tarikan napas.
...****************...
Dan saat ia sampai di rumah, menemukan Leonard sedang membuatkan sarapan sambil bersenandung kecil, dunia Samantha runtuh untuk kedua kalinya.
"Kamu baru pulang? Kenapa tidak memberi kabar? Aku sempat khawatir," kata Leonard lembut.
"Maaf sayang... ada begitu banyak pekerjaan malam kemarin dan ponselku kehabisan daya." Sambil menunjukkan ponselnya. Hanya kebohongan pertama yang keluar dari mulutnya. Dan mungkin bukan yang terakhir.
"Kamu pasti kelelahan, kamu bisa membersihkan diri. Sarapan sebentar lagi siap!" Leonard berkata sembari mencium lembut kening istrinya, yang hanya dijawab anggukan ringan dari Samantha.
Samantha berjalan menuju kamar utama dengan tubuh lunglai dan berakhir terduduk lemas di sisi tempat tidur. Derai air mata mulai turun menganak-pinak. Hingga akhirnya ia tersadar, dia tidak boleh seperti ini. Samantha menyeka air mata dan beranjak dari tempatnya.
Air menyentuh kulitnya seperti ribuan jarum dingin menusuk daging. Di bawah pancuran yang menderas tanpa henti, tubuhnya bergetar. Ia menggigil bukan karena suhu, melainkan karena rasa jijik yang tak sanggup ia redam. Tangannya menggosok kulitnya dengan kasar, seolah ingin mengikis seluruh dosa yang melekat, seluruh kenangan yang menodai.
"Aku kotor... aku kotor..." gumamnya berulang-ulang, nyaris tak terdengar di tengah deras air dan isak tangis yang memecah pagi yang hening. Bahunya berguncang hebat, napasnya tersendat di antara tangisan yang pecah dari dada yang sesak oleh penyesalan.
Samantha mencoba kembali mengingat apa yang terjadi semalam. Namun seberapa keras ia mencoba, tetap tidak berhasil.
Tak peduli seberapa keras ia menyiram tubuhnya, mencuci setiap inci kulitnya, bekas itu tak juga hilang. Tidak dari tubuhnya, tidak dari hatinya.
“Apa yang sudah kulakukan...?” jeritnya akhirnya. Suaranya melengking, menggema di kamar mandi, bersatu dengan gemuruh air dan denting waktu yang seolah ikut mencibir.
Ia tenggelam dalam genangan air mata dan luka, berusaha menenggelamkan seluruh dosanya bersama air yang tak lagi suci. Tapi dosa tak bisa hanyut begitu saja. Dosa tinggal. Dan ia tahu, sejak malam itu, ia takkan pernah jadi perempuan yang sama lagi.
...****************...
Beberapa hari berlalu.
Samantha mencoba melupakan. Menyapu bersih semua dari ingatannya. Tapi mimpi buruk menghantui.
Layar ponsel itu menyala, menyibak gelap kamar yang sunyi. Hanya satu notifikasi, satu pesan singkat. Tapi cukup untuk membuat jantungnya seakan berhenti berdetak.
“Kau mencuri hatiku malam itu, Samantha. Aku ingin mencurimu sepenuhnya.”N
Tangannya gemetar hebat. Ponsel nyaris terlepas dari genggaman, dan tubuhnya perlahan merosot di sudut ranjang, seolah kehilangan kekuatan. Napasnya tertahan di tenggorokan. Ruangan yang semula tenang mendadak berubah jadi penjara pengap. Matanya menatap kosong ke layar, membaca ulang pesan itu seakan berharap ia salah lihat. Tapi kenyataannya tetap sama, lelaki itu kembali. Lelaki asing yang seharusnya tinggal dalam kenangan kelam, yang seharusnya tak tahu di mana ia berada.
"Jangan... jangan ganggu aku lagi..." bisiknya parau, padahal tak ada siapa-siapa di sana. Hanya dinding dingin yang membisu, dan malam yang semakin dalam.
Ketakutan itu menjalar liar, seperti belatung yang menggerogoti pikirannya. Ia menggenggam ponsel itu erat-erat, tapi juga ingin membantingnya, membuangnya jauh-jauh. Namun rasa takut menahannya. Bagaimana jika ia benar-benar datang? Bagaimana jika ia sudah mengawasinya?
Lelaki itu tak hanya mengambil tubuhnya malam itu, ia mengambil rasa aman, harga diri, dan seluruh ketenangan dalam hidupnya. Sekarang, dengan satu pesan, ia merenggut napasnya lagi.
Air mata mengalir tanpa suara. Tubuhnya mulai berguncang, tenggelam dalam kepanikan yang membunuh perlahan. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tertelan oleh ketakutan yang membatu di dadanya. Ia merasa terperangkap, oleh masa lalu, oleh dosa, oleh pria yang kini menghantui kembali.
Dan di tengah malam yang bisu itu, ia tahu satu hal: ia belum benar-benar bebas.
Ia menghapus pesan itu. Tapi tidak bisa menghapus rasa takut. Apalagi saat lelaki itu mulai mengirimkan bunga ke kantornya, tanpa kartu. Atau saat ia melihat siluet mobil yang sama terparkir jauh di ujung jalan rumahnya, hampir setiap malam.
...****************...
Pagi ini Samantha sedang membuat sarapan untuk dirinya dan Leonard. Roti panggang dengan isian ham dan sayuran hijau kesukaan suaminya. Saat Samantha menyusun sarapan di meja makan, Leonard muncul dari kamar utama dengan setelan rapi yang telah disiapkan Samantha pagi tadi. Wajah tampan dengan senyum manis yang selalu menggetarkan hati Samantha.
"Selamat pagi, sayang!" sapa Samantha, menghampiri suaminya dan memberikan kecupan singkat di bibirnya.
"Pagi, sayang...." jawab Leonard seraya menarik kursi dan mengambil roti panggangnya.
"Sayang, apa kamu senggang minggu depan?" tanyanya sambil mengunyah roti.
Samantha tersenyum manis. "Apakah kita akan pergi berkencan? Aku akan menyesuaikan jadwal agar kita bisa pergi bersama!"
Leonard tertawa renyah, kemudian berkata, "Ini bukan kencan, sayang."
Samantha mengernyitkan dahinya. "Lantas?"
"Sayang, kau tahu Nathaniel Graves? Dia sahabat lamaku dari New York. Kita akan makan malam bersama minggu depan."
Samantha menggeleng ringan.
"Kamu pasti akan menyukainya!"
"Bagaimana kamu bisa seyakin itu?"
"Dia adalah tipe yang selalu disukai banyak orang!"
Samantha kembali tersenyum, dan berkata, "Tapi tidak akan sebanyak aku menyukaimu."
Leonard tertawa ringan, tanpa menyadari bahwa tawa itu menggema seperti suara lonceng kematian di telinga istrinya.
Dan Samantha tahu, permainan ini belum selesai. Bahkan belum benar-benar dimulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments