Sebagai seorang istri Maysa adalah seorang istri yang pengertian. Dia tidak pernah menuntut pada sang suami karena wanita itu tahu jika sang suami hanya pegawai biasa.
Maysa selalu menerima apa pun yang diberi Rafka—suaminya. Hingga suatu hari dia mengetahui jika sang suami ternyata berbohong mengenai pekerjaannya yang seorang manager. Lebih menyakitkan lagi selama ini Rafka main gila dengan salah seorang temannya di kantor.
Akankah Maysa bertahan dan memperjuangkan suaminya? Atau melepaskan pria itu begitu saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Sama-sama emosi
Rafka terdiam, dia memikirkan bagaimana menjawab pertanyaan dari istrinya. Rasanya sudah tidak ada alasan yang bisa dikatakannya. Pria itu menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan guna menutupi kegugupannya.
"Kenapa diam, Mas? Apa kamu sedang berpikir untuk mencari alasan yang lain? Selama ini aku sudah cukup bersabar menghadapi kamu. Aku tidak menyangka kamu bisa setega itu padaku dan juga pada Eira. Di mana Rafka yang dulu, yang selalu perhatian pada keluarga, yang selalu mengutamakan anak daripada yang lain. Ke mana perginya suamiku?" Maysa benar-benar emosi.
Dia bahkan sampai meninggikan suaranya karena sudah sangat geram pada sang suami. Kesabarannya sudah ada dibatasnya. Rafka tahu istrinya sedang marah karena selama ini, Maysa selalu bertutur kata lembut dan tidak pernah menyakiti orang lain.
"Kamu bicara apa, sih? Tentu saja aku masih memikirkan kalian. Apa salahnya kalau aku mentraktir teman-temanku. Secara tidak langsung mereka juga yang membuatku naik jabatan."
"Tapi tidak harus melupakan kewajiban kamu sebagai seorang suami dan juga Ayah."
"Aku tidak pernah melupakan kewajibanku. Aku masih menghidupi kalian."
"Dengan uang lima ratus ribu satu bulan? Kamu pikir itu cukup? Jangankan untuk keperluan keluarga, itu hanya cukup untuk kebutuhanmu sendiri selama satu bulan. Setiap sarapan kamu minta makan enak. Kebutuhan seperti parfum dan lainnya, kamu mau yang mahal. Dari mana semua itu?"
"Seharusnya kamu bersyukur, aku setiap hari pulang. Bagaimana kalau aku sama sekali tidak memikirkan kalian berdua?"
"Itu akan lebih baik menurutku, daripada kamu hanya bisa membuatku susah. Setiap hari, Eira selalu menanyakan bagaimana papanya? Kapan papanya pulang? Apakah papanya membelikan dia mainan? Selama ini aku sudah sangat berusaha agar kebutuhan kita selalu tercukupi. Aku banting tulang dan tidak pernah kenal waktu. Bahkan aku tidak bisa mencurahkan kasih sayangku sepenuhnya pada putriku, tetapi di luar sana, kamu berbahagia dengan wanita lain! Apa kurangnya aku? Kalau kamu ingin aku cantik, aku juga bisa asal kamu bisa memfasilitasinya. Kurang baik apa aku pada keluargamu."
Maysa tidak kuasa menahan air matanya. Dia menangis, meratapi nasib rumah tangganya. Bagaimana bisa Rafka berubah begitu banyak. Wanita itu sudah berusaha agar keluarganya baik-baik saja. Namun, jika suaminya tidak memikirkan keluarganya, bagaimana keluarga ini akan baik-baik saja.
Keutuhan rumah tangga tidak bisa dijaga satu orang saja. Maysa juga perlu seseorang untuk menjadikannya lebih kuat. Akan tetapi, saat ini sepertinya sudah tidak memungkinkan lagi. Tiang rumahnya sudah rapuh, tidak bisa diperbaiki lagi.
"Wanita lain apa maksud kamu?" tanya Rafka dengan suara keras. Dia tidak terima dengan apa yang istrinya katakan.
"Kamu tidak perlu berpura-pura. Aku sangat tahu kalau kamu punya simpanan dan dia teman kerja kamu, kan? Dia juga yang membuat kamu melupakan kami. Kamu menggunakan gajimu untuk bersenang-senang dengannya, kan?"
"Dengar! Itu gaji aku. Aku yang sudah bekerja keras tanpa mengenal waktu dan kamu seenaknya hanya meminta dan meminta. Terserah aku mau memberimu berapa. Kamu cukup bersyukur saja, jangan banyak bertingkah."
Maysa tertawa miris. "Apa katamu bersyukur? Lalu membiarkan suamiku bermain gila di luar sana. Mungkin saat ini Eira belum mengerti apa-apa tentang kelakuan ayahnya. Bagaimana suatu hari nanti jika dia sudah mengerti! Apa yang harus aku sampaikan padanya? Tidakkah kamu mengerti sekarang statusmu adalah seorang ayah! Berikanlah contoh yang baik untuk anakmu. Jika kamu saat ini berbuat maksiat, bagaimana dengan anak kita kelak? Aku tidak ingin dia membuat dosa yang akan semakin membuat masa depannya hancur. Aku tidak ingin dia sepertimu!"
"Seharusnya kamu memberi pengertian kepadanya."
"Mendidik anak bukan hanya tugasku. Itu tugas kita berdua. Kenapa kamu seolah-olah melimpahkan semua tanggung jawab kepadaku? Apa tugasmu sebagai seorang laki-laki?"
"Tugasku tentu saja mencari nafkah. Memang apa lagi?"
"Mencari nafkah seperti apa? Yang bagaimana? Nafkah yang kamu gunakan untuk berfoya-foya dengan teman-temanmu dan juga gund*kmu itu!" pekik Maysa dengan emosi. Saat ini dia benar-benar tidak dapat mengendalikan diri. Unek-unek yang sejak tadi ditahannya seolah keluar begitu saja saat ada celah.
"Sejak kapan mulutmu jadi tidak tahu aturan seperti itu?"
"Sejak suamiku tidak tahu jalan pulang!"
"Semakin hari, aku semakin tidak mengenali kamu. Entah siapa yang sudah meracuni pikiran kamu atau jangan-jangan kamu sudah bosan denganku dan ingin mencari laki-laki lain di luar sana!"
"Jangan memutarbalikkan fakta. Nyatanya kamu sendiri yang lebih suka bersenang-senang dengan para wanita di luar sana."
"Kamu jangan bicara omong kosong. Aku tidak pernah bersenang-senang dengan wanita manapun. Kalau sekedar makan siang, bukankah itu wajar antar sesama teman kantor."
"Baiklah jika itu memang teman kantor. Sekarang jawab pertanyaanku yang pertama tadi. Ke mana saja gaji kamu selama ini? Bukankah menjadi seorang manager keuangan gajinya cukup tinggi? Lalu kamu ke mana kan uangnya?"
"Itu bukan urusanmu! Seperti yang sudah aku katakan tadi, bahwa itu gajiku. Sepenuhnya milikku, kamu tidak perlu tahu. Sudah cukup aku beri uang, selebihnya Itu urusanku sendiri."
"Tapi kamu juga punya kewajiban terhadap aku dan juga Eira!" kesal Maysa. Dia tidak tahu lagi harus menjelaskan bagaimana lagi pada suaminya jika pria itu juga punya tanggung jawab padanya dan pada putrinya.
"Dari tadi kamu hanya bicara tanggung jawab, tanggung jawab saja. Kamu tidak usah khawatir, bulan depan aku akan memberikan apa yang kamu inginkan. Berapa uang yang kamu inginkan? Akan aku berikan kepadamu. Kamu puas!" teriak Rafka.
"Aku menunggunya. Dari dulu kamu juga selalu bicara seperti itu. Nyatanya semua tidak terbukti, itu hanya omong kosong yang setiap bulan kamu katakan."
"Tunggu saja bulan depan. Uang itu akan ada di tanganmu dan setelah itu aku harap kamu bisa puas! Kamu juga bisa menguasai rumah ini." Rafka membanting pintu dan meninggalkan rumah dengan emosi.
Dia mengendarai mobil, entah pergi ke mana. Lebih baik seperti itu, keduanya sama-sama sedang emosi. Jika masih dalam satu rumah, sudah dipastikan akan ada pertengkaran lagi. Sepeninggal Rafka, Maysa menangis di ruang tamu seorang diri. Untung saja Eira sudah tidur di kamarnya yang sedikit jauh dari ruang tamu, jadi dia tidak akan terbangun.
Maysa menutup mulutnya agar suara tangisnya tidak keluar. Dia tidak ingin siapa pun mendengarnya. Apalagi sampai membangunkan putrinya. Setelah cukup menumpahkan tangisnya, Maysa pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Dia ingin mencurahkan kegelisahan hatinya pada Sang Maha Pencipta. Seperti yang pernah mamanya katakan, dia selalu menyertakan Tuhan dalam setiap langkahnya. Entah kedepannya jalan itu benar atau tidak, setidaknya dia berusaha untuk yang terbaik.
Doa-doa dia panjatkan untuk kebaikan rumah tangga dan juga putrinya. Apa pun kenyataan yang akan dihadapi nanti, dia berharap agar bisa lebih tegar. Dia harus menjadi wanita kuat bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk putrinya. Hanya gadis kecil itu kekuatan yang dia miliki saat ini. Usai mencurahkan kegelisahan hatinya, Maysa memasuki kamar Eira dan membaringkan tubuhnya di sana.
.
.
.
mknya muka nya familiar
sayang nya sama Eira tulis bgt
entah dia dari keluarga yg penuh tekanan,semua udah dia atur dia dia harus ngikutin semua aturan itu.
dan dia udah punya jodoh sendiri
kadang bingung ya..sama lelaki.
udah punya yg spek bidadari malah nyari yg kyk gelandang.
yah... begitu lah seni nya peselingkuhan.
lu makan aja tu pilihan lu
kadang bingung ya..sama lelaki.
udah punya yg spek bidadari malah nyari yg kyk gelandang.
yah... begitu lah seni nya peselingkuhan.
lu makan aja tu pilihan lu