NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:484
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17. Fakta Mengejutkan

Rayven tidak peduli. Nafasnya memburu, langkahnya cepat menuju UKS. Setiap detik rasanya panjang. Ia bisa merasakan tubuh Alendra gemetar dalam pelukannya, bisa mendengar napas beratnya yang tertahan.

“Bertahan, Len… bentar lagi sampai,” bisiknya nyaris tak terdengar, seolah lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.

Begitu sampai di UKS, ia hampir menerobos masuk. Perawat sekolah langsung terkejut.

“Astaga! Cepat baringkan dia di sini!” seru Dokter Sinta, perawat UKS.

Rayven menurunkan Alendra perlahan ke ranjang. Tangannya sempat menahan kepala Alendra agar tidak terbentur. Wajahnya kaku, matanya tak lepas dari wajah pucat gadis itu.

“Apa yang terjadi?” tanya Dokter Sinta, segera memeriksa denyut nadi Alendra.

“Dia… kena bola. Dari saya,” jawab Rayven, suaranya rendah tapi jelas terdengar ada rasa bersalah yang berat.

Dokter Sinta mengangguk, lalu memeriksa lebih lanjut. Namun, saat ia menekan pelan perut Alendra, gadis itu spontan meringis keras.

Rayven yang melihatnya langsung merasakan sesuatu menghantam dadanya. Matanya melebar, napasnya tercekat.

“Kenapa… kenapa dia pegang perutnya?” gumam Rayven, hampir pada dirinya sendiri.

Rayven berdiri kaku di sisi ranjang, jantungnya berdegup kencang, pikirannya kacau balau. Sebuah firasat buruk menghantam kepalanya: sesuatu yang lebih besar daripada sekadar insiden bola basket.

Dokter Sinta selesai memeriksa kepala Alendra, lalu matanya jatuh pada tangan gadis itu yang terus menekan perut. Gerakannya tidak biasa, bukan sekadar refleks karena sakit. Ada sesuatu yang janggal.

“Alendra…” suara Dokter Sinta melembut, penuh kehati-hatian. “Kamu… sebenarnya ada kondisi khusus, ya?”

Alendra langsung terdiam. Wajahnya pucat, matanya bergetar panik. Ia menggigit bibirnya, seolah tidak tahu harus menjawab apa.

Rayven yang berdiri di samping ranjang menelan ludah. Jantungnya berdetak tak karuan. Pandangannya jatuh ke arah perut Alendra. Ada rasa takut yang menyelinap, rasa takut yang sejak hari itu ia pendam—semenjak semuanya terjadi.

Dokter Sinta menghela napas, lalu menoleh ke arah meja kecil di mana tas Alendra diletakkan. “Kalau kamu punya obat atau surat keterangan dokter, keluarkan, Nak. Supaya saya tahu harus gimana nanganinnya.”

Sebelum Alendra sempat menolak, Nayla—yang sejak tadi menemani dengan wajah cemas—langsung berlari mengambil tas milik Alendra. “Iya, Bu. Biar saya cariin.”

“Nay—jangan!” suara Alendra tiba-tiba meninggi, membuat semua menoleh kaget. Ia buru-buru menutup mulutnya sendiri, tapi sudah terlambat.

Rayven menatap Nayla yang baru saja membuka resleting tas Alendra. Degup jantungnya makin keras, seakan tubuhnya sendiri tahu apa yang akan keluar dari sana. Nayla mengacak isi tas, menarik beberapa buku, tempat pensil, lalu… selembar kertas terlipat rapi.

“Ini kayaknya surat dokter deh,” gumam Nayla polos.

Tangannya hendak menyerahkan kertas itu ke Bu Sinta, tapi Rayven lebih cepat. Ia meraih kertas itu, genggamannya kaku. Tatapannya jatuh pada tulisan di atas amplop: Hasil Pemeriksaan Pasien – Alendra Safira Adelia.

Suasana seketika hening.

Rayven menatap kertas itu lama, seolah dunia di sekitarnya berhenti berputar. Tangannya bergetar, napasnya memburu. Ia tahu… apa pun isi kertas ini akan mengubah segalanya.

“Rayven…” suara Alendra bergetar, matanya berkaca-kaca. “Tolong… jangan.”

Rayven menatapnya, lalu menunduk kembali ke kertas itu. Ia ingin sekali membukanya, tapi rasa takut menahan. Ada teriakan dalam kepalanya: Kalau ini benar… kalau firasat gue bener… hidup gue bakal berubah selamanya.

Dokter Sinta memperhatikan mereka berdua dengan heran. “Kalau itu hasil dokter, sebaiknya saya yang lihat dulu. Supaya saya bisa tahu apa yang harus saya lakukan.”

Rayven menggenggam kertas itu makin erat. Pandangannya tak lepas dari wajah pucat Alendra yang menatapnya penuh ketakutan.

Akhirnya, dengan tangan gemetar, Rayven membuka lipatan kertas itu. Pandangannya jatuh pada tulisan tegas di bagian bawah.

Hasil: POSITIF HAMIL.

Deg.

Dunia Rayven seakan berhenti berputar. Suara di sekitarnya lenyap. Nafasnya tercekat. Tangannya refleks meremas kertas itu hingga kusut.

“Rayven, kenapa? Biar ibu lihat, supaya ibu tahu cara ngasih obat ke Alendra.” Suara Dokter Sinta memecah keheningan.

Rayven menoleh pelan, suaranya parau, dingin, penuh tekanan. “Itu… hasil pribadi Alendra, Dok.”

“Dok, saya minta tolong… keluar dulu.” Rayven memotong, nadanya dalam dan tegas, tak memberi ruang untuk debat.

Ruangan seketika tegang. Nayla dan Selena saling pandang dengan mata membulat, tidak percaya. Elvira yang sejak tadi diam pun menoleh, alisnya berkerut.

“Rayven, lo apaan sih? Itu kan buat kebaikan Alendra—” Nayla mencoba bersuara.

“Keluar.” Sekali lagi Rayven memerintah, kali ini dengan suara yang lebih tegas, hampir menakutkan. Ia berdiri, menatap satu per satu teman Alendra. “Kalian semua keluar sekarang. Gue mau bicara sama dia, berdua.”

“Lo gila? Kita sahabatnya, Len butuh kita!” Selena protes, suara gemetar karena takut tapi juga ingin melawan.

Rayven maju selangkah, sorot matanya menusuk. “Gue bilang keluar.”

Suasana makin mencekam. Selena hendak membantah lagi, tapi Nayla menahan lengannya. “Udah, Sel. Keluar dulu aja. Kayaknya Rayven serius banget.”

Dokter Sinta masih berdiri di samping Alendra, ragu untuk meninggalkan muridnya. Rayven menoleh padanya lagi, tatapannya memaksa. “Dok, saya janji nggak bakal nyakitin dia. Tapi ini masalah pribadi. Tolong hargai.”

Dengan berat hati, Dokter Sinta menepuk bahu Alendra. “Kalau ada apa-apa, panggil Dokter ya, Nak.” Lalu ia berjalan keluar, diikuti tiga sahabatnya.

Pintu UKS menutup dengan suara klik.

Kini hanya ada mereka berdua.

Rayven berdiri kaku, kertas hasil pemeriksaan masih tergenggam di tangan. Hanya terdengar napas mereka yang berat. Alendra menatap Rayven dengan mata berkaca-kaca, wajahnya penuh ketakutan.

“Rayven… tolong balikin,” bisiknya, suara nyaris patah.

Rayven menunduk, menatap kertas itu lagi. Tangannya bergetar, jantungnya berdetak kencang. “Lo hamil… kenapa nggak langsung bilang ke gue?” suaranya serak, ada rasa sakit yang jelas di balik kemarahannya.

“Kan gue udah bilang… lupain semuanya, Lo. Lo nggak perlu tanggung jawab,” jawab Alendra, suaranya bergetar tapi penuh keberanian.

Rayven menghela napas panjang, kepalan tangannya mengepal kertas itu hingga berkerut. “Gimana gue bisa lupain? Gue udah buat dosa besar, Alendra. Gue mau tanggung jawab, tapi Lo… Lo nggak mau itu. Itu bikin gue terus ngerasa bersalah dan nggak bisa lupain. Terlebih lagi… satu fakta yang Lo nggak bisa elak… Lo hamil anak gue. Anak gue, Alendra. Gue harus tanggung jawab.”

Alendra menunduk, air matanya jatuh membasahi pipi. “Lo nggak perlu lakukan itu. Ini anak gue. Lo nggak berhak.”

Rayven tertawa pahit, hampir menangis. “Enggak berhak gimana? Itu anak gue juga! Jangan egois, Lo. Lo mau anak Lo lahir tanpa ayahnya? Lo mau anak Lo jadi cibiran orang-orang? Lo mau itu semua?”

“Kalaupun nanti Lo tanggung jawab… anak ini tetap akan kena cibiran, Ray… anak haram…” Alendra menahan tangis, suaranya serak dan patah.

Rayven menatap Alendra, wajahnya campur aduk antara amarah, putus asa, dan cinta yang terluka. Ia berjalan mendekat, menunduk sehingga wajah mereka hampir sejajar. “Dengar… gue nggak peduli omongan orang. Gue peduli sama Lo, sama anak ini. Gue nggak mau Lo sendirian, gue nggak mau anak kita… nggak punya ayah. Gue nggak akan ninggalin Lo, Alendra. Gue janji.”

Alendra menggigit bibir, berusaha menahan tangis. “Tapi… Lo nggak ngerti… Lo nggak ngerti tekanan yang bakal gue alami. Semua orang bakal nyalahin gue… nyalahin kita…”

Rayven mengulurkan tangan, menahan tangan Alendra yang gemetar. “Gue ngerti lebih dari yang Lo kira. Gue ngerti ketakutan Lo, tapi kita nggak bisa lari dari ini. Gue mau kita hadapi bareng-bareng. Lo nggak sendirian lagi.”

Alendra menunduk, terisak pelan. Air mata mengalir deras, tapi ada sedikit kelegaan di matanya. Ia menatap Rayven, ragu tapi mulai percaya. “Gue… gue takut, Ray… takut semua bakal salah…”

“Gue juga takut, Len… tapi gue nggak akan biarin Lo hadapin ini sendiri,” jawab Rayven lembut, matanya menahan emosi. “Lo sama anak kita… itu tanggung jawab gue juga. Kita hadapin bareng-bareng, iya?”

Alendra menutup wajahnya dengan tangan, terisak dalam-dalam. Rayven mencondongkan tubuh, memeluknya dengan lembut, menunggu Alendra menerima pelukan itu. Dalam diam, mereka berdua berdiri di sana, hanya suara napas dan detak jantung yang menemani.

Sejenak, dunia di luar UKS lenyap. Hanya ada mereka berdua dan kenyataan yang harus mereka hadapi… bersama-sama.

---

Sementara itu, di luar UKS, Nayla, Selena, dan Elvira berdiri membeku. Mereka tidak mendengar sepatah kata pun dari dalam; ruang UKS di sekolah ini memang kedap suara. Suasana gang terasa sunyi, hanya suara langkah kaki yang sesekali terdengar dari jauh.

Tiba-tiba, Ravenclaw muncul di ujung koridor. Darren, Aksa, Rayven—eh, bukan, Rayven sedang di dalam—Julian, Alvaro, Kenzo, dan Axel berjalan santai, tapi tatapan mereka penuh penasaran.

“Kok kalian di sini? Rayven mana?” tanya Julian, suaranya terdengar ringan tapi ada nada ingin tahu yang jelas.

“Rayven… di dalam sama Alendra,” jawab Nayla seadanya, suaranya sedikit bergetar.

“Kenapa memangnya… nama lo siapa?” tanya Julian lagi, mencoba menebak situasi tapi terdengar terlalu penasaran.

Nayla menyipitkan mata, menatap Julian. “Gak tau. Kepo banget sih, tanya nama segala,” jawabnya, nada judes dan dingin.

Darren menatap mereka, alis terangkat. “Dih gak jelas lo. Maksud lo… serius nih?”

Selena yang berdiri di samping Nayla menelan ludah. “Tolong… kita nggak boleh campur. Ini masalah mereka.”

Alvaro menyeringai. “Eh, seriusan? Masalah pribadi? Kan kita juga temen Rayven. Pasti ada yang gede banget nih.”

Kenzo mencondongkan tubuh, menatap pintu UKS. “Lo yakin kita nggak boleh intip sedikit? Gue penasaran banget.”

Axel menepuk bahu Julian. “Tenang, bro. Biarin aja. Tapi… gue juga penasaran sih, kayaknya ini bakal panas banget.”

Di sisi lain, Elvira menatap gang dengan cemas. “Lo… kita harus tunggu mereka keluar. Jangan nekat masuk, nanti malah tambah masalah.”

Nayla menekankan, “Bener, kita harus percaya Rayven. Dia pasti tahu apa yang dia lakukan.”

Tiba-tiba, terdengar suara terisak dari dalam UKS. Semua sahabat Alendra tersentak.

“Len… Len, jangan nangis…,” terdengar bisikan parau yang membuat ketegangan makin terasa.

Darren menatap teman-temannya, ragu-ragu. “Eh… gue rasa… ada yang serius banget nih di dalam. Lebih baik kita tunggu aja.”

Julian mengangguk pelan, tapi sorot matanya tidak lepas dari pintu UKS. “Semoga aja nggak parah-parah amat…”

Di dalam UKS, sementara itu, Rayven masih memeluk Alendra dengan erat. “Gue nggak akan ninggalin Lo, Len… anak kita… kita hadapin bareng-bareng.”

Alendra menunduk, terisak pelan, tapi kini ada secercah rasa aman di pelukan Rayven. Suara langkah sahabat-sahabat mereka di luar gang terdengar samar, tapi di dalam ruang kedap suara, hanya ada mereka berdua—dan keputusan besar yang harus mereka hadapi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!