NovelToon NovelToon
Teman Level Adalah Pokoknya

Teman Level Adalah Pokoknya

Status: sedang berlangsung
Genre:Trauma masa lalu / Teen Angst / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.

​Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.

​Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13: SUARA DI LORONG PUTIH

Malam di pedalaman Bontang biasanya hanya diisi oleh suara serangga malam dan desau angin yang melewati tajuk pepohonan hutan hujan. Namun bagi Firman, malam ini terasa sunyi yang mematikan. Ia duduk di teras penginapan kayu yang reyot, menatap layar ponselnya yang baru saja mendapatkan secercah sinyal.

Hanya ada satu pesan masuk. Dari Yasmin.

Yasmin: Mas Firman, maaf mengganggu liputanmu. Sarah kecelakaan. Sekarang dia di IGD RSUD Samarinda. Kondisinya stabil setelah tindakan. Tolong... kalau sudah ada sinyal, hubungi saya.

Dunia Firman seolah berhenti berputar. Kalimat itu seperti peluru yang menembus dadanya, menyisakan lubang yang dingin. Sarah. Kecelakaan. Stabil.

Pikirannya langsung melayang ke foto lama yang diunggah Sarah siang tadi. Apakah kecelakaan itu terjadi karena Sarah terlalu sibuk dengan ponselnya? Atau karena dia sedang menuju ke suatu tempat untuk mencarinya? Rasa bersalah mulai merayap naik, mencekik kerongkongannya. Namun, ada satu hal yang jauh lebih menyesakkan: Yasmin-lah yang menangani Sarah.

Firman segera menekan tombol panggil. Jantungnya berdegup kencang, lebih kencang daripada saat ia dikejar preman saat investigasi.

"Halo, Yas?" suara Firman bergetar.

"Mas..." suara Yasmin terdengar sangat lelah di seberang sana. Ada suara pengumuman rumah sakit di latar belakangnya. "Kamu sudah dapat sinyal?"

"Iya, baru saja. Yas, apa yang terjadi? Bagaimana kondisi Sarah? Dan... kenapa kamu yang menanganinya?" tanya Firman bertubi-tubi.

"Kecelakaan tunggal di jalan poros. Mobilnya menabrak pembatas jalan. Dia luka-luka cukup serius di bagian kepala dan tangan, tapi syukurlah organ vitalnya aman," Yasmin menjelaskan dengan nada profesional, namun Firman bisa mendengar ada getaran yang ia tahan. "Kebetulan saya yang sedang jaga di IGD saat dia masuk. Saya tidak punya pilihan, Mas. Dia pasien, dan saya dokter."

Firman terdiam. Ia membayangkan betapa hancurnya perasaan Yasmin saat itu. Menyelamatkan wanita yang selama beberapa hari terakhir meneror mentalnya.

"Yas, maafkan saya... saya harusnya ada di sana," ucap Firman lirih.

"Nggak perlu minta maaf, Mas. Selesaikan tugasmu di Bontang. Sarah sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Dia... dia terus memanggil namamu saat setengah sadar tadi."

Kalimat terakhir Yasmin terasa seperti vonis mati bagi Firman. "Yas, dengerin saya. Saya akan balik ke Samarinda sekarang juga."

"Mas, liputanmu gimana? Bang Surya bisa marah besar—"

"Persetan dengan liputan, Yas! Saya nggak bisa diam saja di sini sementara kamu harus menghadapi semua ini sendirian!" bentak Firman, bukan pada Yasmin, tapi pada ketidakberdayaannya sendiri. "Tunggu saya. Saya akan sampai dalam tiga jam."

Firman memacu motor sewaan milik warga dengan kecepatan gila-gilaan menembus kegelapan jalan poros Bontang-Samarinda. Angin malam yang dingin menusuk jaketnya, tapi ia tidak peduli. Matanya fokus pada aspal yang diterangi lampu motor yang redup.

Di kepalanya, terjadi perang saudara. Satu sisi hatinya merasa sangat cemas pada Sarah bagaimanapun, wanita itu pernah menjadi bagian terbesar dalam hidupnya. Namun sisi lain hatinya, sisi yang lebih dalam, merasa sangat takut kehilangan Yasmin. Ia takut pengabdian Yasmin sebagai dokter justru akan menjadi alasan bagi perempuan itu untuk menarik diri sepenuhnya dari "level" mereka.

“Teman level adalah pokoknya.”

Kata-kata itu sekarang terdengar seperti ejekan. Mana ada teman level yang merasa seperti akan mati saat tahu temannya sedang kesulitan?

RSUD Samarinda, Pukul 03.00 WITA.

Firman sampai di rumah sakit dengan penampilan yang berantakan. Bajunya penuh debu, rambutnya acak-adapan, dan matanya merah karena kurang tidur dan terpaan angin. Ia berlari menuju meja resepsionis, menanyakan kamar Sarah, namun langkahnya terhenti saat melihat sosok Yasmin duduk di bangku panjang di depan ruang perawatan.

Yasmin masih mengenakan jas putih dokternya, namun ia tampak sangat rapuh. Kepalanya bersandar di dinding, matanya terpejam. Di tangannya, ia memegang sebuah cup kopi yang sudah kosong.

Firman mendekat perlahan. Ia berdiri di depan Yasmin, menatap wajah perempuan itu yang tampak begitu tenang namun menyimpan beban yang luar biasa.

"Yas..." panggil Firman pelan.

Yasmin membuka matanya. Ia terkejut melihat Firman sudah ada di depannya. "Mas? Cepat sekali..."

Firman tidak menjawab. Ia langsung duduk di samping Yasmin, mengabaikan jarak tiga puluh sentimeter yang biasanya mereka jaga. Ia meraih tangan Yasmin yang terasa sangat dingin.

"Terima kasih, Yas. Terima kasih sudah menyelamatkannya," bisik Firman.

Yasmin menatap tangannya yang digenggam Firman, lalu menatap mata Firman. "Saya melakukannya untuk profesi saya, Mas. Dan... saya melakukannya karena saya tahu dia penting untukmu."

"Dia bukan lagi yang terpenting, Yas," tegas Firman.

"Tapi dia sedang berjuang, Mas. Saat seseorang terluka, semua kebencian itu harusnya hilang," Yasmin menarik tangannya pelan, mengembalikannya ke pangkuannya sendiri. "Masuklah. Dia baru saja bangun. Dia butuh melihatmu."

Firman ragu. Ia menatap pintu kamar rawat Sarah, lalu kembali menatap Yasmin. "Ikut saya ke dalam?"

Yasmin menggeleng. "Nggak, Mas. Saya harus kembali ke ruang jaga. Tugas saya sudah selesai. Sekarang tugasmu untuk... menyelesaikan apa pun yang harus diselesaikan."

Yasmin bangkit berdiri, merapikan jasnya, dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi. Firman menatap punggung Yasmin, merasa ada sesuatu yang retak di dalam dadanya. Ia tahu, Yasmin sedang membangun tembok yang lebih tinggi lagi.

Firman melangkah masuk ke dalam kamar rawat yang berbau antiseptik itu. Di atas ranjang, Sarah terbaring dengan perban melingkar di kepalanya dan tangan yang diinfus. Wajahnya pucat, namun saat melihat Firman masuk, matanya langsung berbinar.

"Firman... kamu datang..." suara Sarah parau, nyaris berbisik.

Firman duduk di kursi samping ranjang, namun ia tidak menyentuh tangan Sarah. "Kenapa bisa begini, Sar?"

Sarah mulai menangis. "Aku... aku mau ke Bontang, Fir. Aku mau cari kamu. Aku mau jelasin soal foto itu... aku mau kita mulai lagi..."

"Sarah, cukup," potong Firman dengan suara rendah namun tegas. "Kecelakaan ini harusnya jadi peringatan buat kamu. Kamu hampir kehilangan nyawa buat sesuatu yang sudah mati."

"Tapi aku masih cinta kamu, Fir! Kamu lihat sendiri, aku hampir mati demi kamu!" Sarah mencoba meraih tangan Firman, namun Firman menariknya.

"Kamu diselamatkan oleh Yasmin, Sar," ucap Firman. "Perempuan yang kamu teror, perempuan yang kamu sebut 'ban serep'. Dia yang berjuang di IGD tadi supaya kamu tetap hidup. Apa kamu nggak punya rasa malu sedikit pun?"

Sarah tertegun. "Dia... dokter itu yang menyelamatkan aku?"

"Iya. Dan dia melakukannya tanpa ragu sedikit pun. Sementara kamu? Kamu sibuk menghancurkan kebahagiaan orang lain," Firman berdiri. "Sembuhlah, Sarah. Setelah kamu keluar dari sini, jangan pernah hubungi saya atau Yasmin lagi. Ini peringatan terakhir saya."

"Firman! Kamu nggak bisa tinggalin aku begini!" teriak Sarah histeris saat Firman berjalan menuju pintu.

Firman tidak menoleh. Ia keluar dari kamar itu, menutup pintu dengan pelan, dan bersandar di dinding koridor. Ia merasa mual. Ia merasa dunia ini sangat tidak adil bagi seseorang sebaik Yasmin.

Ia segera berlari menuju ruang jaga dokter. Ia harus menemukan Yasmin. Ia harus menjelaskan segalanya.

Ia menemukan Yasmin sedang berdiri di depan dispenser, mencoba mengisi cup kopinya kembali. Tangannya gemetar hebat. Begitu hebat hingga air panasnya hampir tumpah.

Firman langsung maju, mengambil cup itu dari tangan Yasmin dan meletakkannya di meja. Ia membalikkan tubuh Yasmin agar menghadapnya.

"Yasmin, lihat saya!" perintah Firman.

Yasmin mendongak. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah juga. Ia tidak lagi bisa berakting kuat di depan Firman.

"Aku takut, Mas... aku takut tadi di IGD," bisik Yasmin di sela isaknya. "Aku takut kalau aku nggak bisa menyelamatkannya, kamu bakal benci aku selamanya. Aku takut kalau aku menyelamatkannya, aku bakal kehilangan kamu selamanya. Aku merasa sangat jahat karena sempat punya pikiran itu..."

Firman tidak sanggup lagi menahan diri. Ia menarik Yasmin ke dalam pelukannya, mendekapnya erat seolah-olah dunia akan berakhir besok pagi. Ia membiarkan Yasmin menangis di dadanya, membiarkan kemejanya basah oleh air mata ketulusan perempuan itu.

"Kamu nggak jahat, Yas. Kamu manusia paling baik yang pernah saya kenal," bisik Firman sambil mengusap rambut Yasmin. "Dan kamu nggak akan pernah kehilangan saya. Level kita... level kita nggak akan pernah berubah hanya karena masa lalu muncul kembali. Malah, sekarang saya tahu... level ini sudah bukan lagi soal keamanan. Tapi soal kebutuhan."

Yasmin tidak menjawab, ia hanya semakin mengeratkan pelukannya pada Firman. Di lorong rumah sakit yang sunyi itu, di tengah aroma obat dan kesedihan, dua jiwa yang terluka itu akhirnya berhenti berpura-pura.

Namun, di dalam kamar rawatnya, Sarah sedang menatap ponselnya dengan tatapan penuh kebencian. Ia melihat sisa-sisa pesan yang belum sempat ia kirimkan.

"Kalau aku nggak bisa memilikimu, Firman... maka dokter itu juga nggak boleh."

Sarah ternyata tidak benar-benar menyerah. Dia menyewa seseorang untuk mencari tahu latar belakang Yasmin lebih dalam, dan ia menemukan satu rahasia besar dari masa lalu Yasmin di Surabaya yang belum sempat diceritakan Yasmin kepada Firman. Sebuah kasus malpraktik yang hampir menghancurkan karir Yasmin sebelum ia pindah ke Samarinda. Akankah Sarah menggunakan rahasia ini untuk menjatuhkan Yasmin tepat saat Firman mulai membuka hatinya sepenuhnya?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!