Setelah orang tuanya bunuh diri akibat penipuan kejam Agate, pemimpin mafia, hidup siswi SMA dan atlet kendo, Akari Otsuki, hancur. Merasa keadilan tak mungkin, Akari bersumpah membalas dendam. Ia mengambil Katana ayahnya dan meninggalkan shinai-nya. Akari mulai memburu setiap mafia dan yakuza di kota, mengupas jaringan kejahatan selapis demi selapis, demi menemukan Agate. Dendam ini adalah bunga Higanbana yang mematikan, menariknya menjauh dari dirinya yang dulu dan menuju kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Encounter
Satu tahun berlalu sejak Akari mengambil Katana ayahnya dan memulai perburuannya. Dalam kurun waktu itu, Akari telah bekerja dalam bayangan, didukung oleh data dari Miku dan arahan tak terucapkan dari Indra. Ia kini jauh lebih terampil dan dingin.
Pagi itu, Akari menerima pesan singkat yang berisi koordinat dan waktu pertemuan. Ia mengikuti pesan yang dikirim Indra dan berjalan ke sebuah gang sepi dekat rumahnya.
Akari tidak perlu menunggu lama. Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berwarna hitam meluncur perlahan dan berhenti. Akari mengenali siluetnya. Itu adalah BMW M8 COMPETITION hitam yang mencolok, yang terpasang logo kecil Guardian Taxi.
Akari mendekat. Ia melihat sosok pengemudi di balik kemudi.
Akari mendekat dan mengetuk pintu kaca dengan sopan.
Pengemudi itu menoleh. Pria itu tampak santai namun waspada, mengenakan kacamata hitam yang menyembunyikan matanya.
"Maaf, apa benar Anda adalah Goto-san?" tanya Akari, suaranya tenang.
Pria itu, yang tak lain adalah Indra, hanya terdiam. Ia memandang Akari sejenak, mengamati perubahan dari gadis SMA yang hancur menjadi pembalas dendam yang dingin. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Indra membukakan pintu penumpang dari tombol dekat kursinya.
Ini adalah pertemuan pertama Akari dan Indra, yang akan menjadi awal dari kemitraan mereka di garis depan. Indra tahu persis siapa Akari, tetapi Akari hanya mengenalnya sebagai sopir taksi yang misterius dan diandalkan.
Akari segera masuk ke kursi penumpang. Tanpa bertanya ke mana tujuannya, Indra melajukan mobilnya BMW M8 Competition hitam itu, membelah jalanan kota. Mobil itu terasa senyap dan kuat.
Selama perjalanan, Indra melirik Akari dari kaca spion atas. Ia melihat gadis yang kini mengenakan pakaian gelap itu, wajahnya tegang, dan terlihat Akari yang matanya sembab—tanda bahwa dendam yang ia kejar telah menguras semua air matanya.
Keheningan yang panjang akhirnya dipecahkan oleh Akari.
"Goto-san, kita mau ke mana?" tanya Akari, suaranya tenang namun ada nada mendesak.
Indra, tanpa menoleh, menjawab dengan dingin.
"Tentu saja, kita akan pergi ke tempat di mana kau bisa balas dendam."
Akari terkejut dengan jawaban lugas itu. Namun, Indra melanjutkan, nadanya kini sedikit melunak.
"Aku tahu kau punya tujuan yang jelas, Akari. Tapi sebelum kita sampai, aku ingin kau ceritakan padaku. Ceritakan masalahmu dari awal."
Indra menambahkan dengan sengaja, menguji Akari.
"Aku tidak mau mengantar orang buta ke medan perang. Aku hanya tahu kau mencari keadilan. Jadi, jelaskan siapa yang harus kita hancurkan."
Indra merahasiakan bahwa ia sudah tahu seluruh cerita dari Araya, berkas, dan Miku. Namun, ia ingin mendengarnya langsung dari Akari—sebuah langkah strategis untuk mengukur seberapa besar tekad Akari dan memastikan gadis itu tidak menyembunyikan detail penting.
Akari menghela napas, menyadari bahwa ia tidak punya pilihan. Sopir taksi misterius ini sudah mengetahui terlalu banyak.
"Mereka Mafia Agate," ujar Akari, dan ia pun mulai menceritakan semua kebohongan, penipuan, Haruna, dan bagaimana hal itu menyebabkan kematian tragis orang tuanya.
Akari berbicara panjang lebar, sama sekali tidak tahu Indra adalah partner Araya, detektif yang seharusnya mengadilinya, atau bahwa pria di balik kemudi ini adalah satu-satunya orang yang ditugaskan untuk menjaga gadis itu agar tetap hidup.
Akari terus melanjutkan ceritanya, mengalirkan semua detail kebohongan, penipuan, dan malam mengerikan ketika orang tuanya memilih mati demi melindunginya. Ia menceritakan semuanya sambil menahan tangisnya, hanya menyisakan getaran halus di suaranya.
Indra, yang mendengarkan tanpa interupsi, tahu bahwa ia harus menjaga suasana tetap dingin dan profesional agar Akari tidak runtuh.
"Di sekitar dashboard ada tissue," kata Indra dengan nada dingin yang khas. "Ambil, dan jangan kotori mobilku."
Perintah itu, meskipun kejam, efektif. Akari tersentak dan mengambil tisu, fokusnya kembali pada cerita.
Ketika Akari selesai, keheningan menyelimuti mobil.
Indra menyalakan lampu sein, bersiap untuk belok.
"Aku mengerti," kata Indra datar. "Kisah yang tragis, tapi tidak unik di kota ini. Sekarang, mari kita bicara fakta."
Indra bertanya, matanya yang tersembunyi di balik kacamata hitam menatap lurus ke jalan.
"Apa ada informasi yang Akari tahu tentang Agate maupun Haruna yang tidak ada di berita? Detail kecil. Kebiasaan. Sesuatu yang luput dari pandangan polisi."
Akari berpikir keras, wajahnya masih sembab. Ia tahu polisi gagal, dan ia hanya bisa mengandalkan ingatannya.
"Haruna..." Akari mengingat wajah cantik dan senyum yang mematikan itu. "Dia selalu memakai parfum yang sangat kuat. Dan dia bilang AgateX adalah perusahaan yang bergerak di 'bidang sumber daya manusia' yang membantu orang sulit, tapi dia juga bilang mereka 'menjamin harga terendah' hanya untuk hitungan detik saat kontrak. Dan..."
Akari berhenti sejenak.
"Saat mereka di restoran, Ayah pernah bilang, dia merasa 'tangan Haruna sangat dingin', seolah-olah dia tidak punya darah."
Indra menyerap semua detail itu, menyimpan setiap informasi non-faktual tersebut—parfum, klaim harga terendah, dan tangan dingin—sebagai petunjuk psikologis yang berharga.
Indra melanjutkan mengemudi, meluncur di jalanan kota yang kini mulai gelap. Setelah menceritakan kisah yang menyakitkan, Akari kembali ke mode pragmatis.
"Goto-san," tanya Akari. "Bagaimana saya membayar taksi ini? Saya tidak tahu berapa lama perjalanan kita, dan saya tidak punya banyak uang."
Indra hanya tertawa kecil.
"Kau tidak perlu khawatir," jawab Indra, nadanya santai. "Taksiku sudah dibayar. Anggap saja kau dapat voucher perjalanan gratis dari pelanggan yang budiman."
Akari mengangguk, mengerti bahwa ini adalah bagian dari misteri sopir taksi yang diandalkan itu.
Indra kemudian melambatkan mobilnya di depan sebuah gedung tua yang tampak ditinggalkan. Ia memandang Akari di kaca spion, kacamata hitamnya tetap terpasang. Ia memberikan pertanyaan yang kritis, menguji mental Akari sebelum mereka turun.
"Akari, dengarkan aku baik-baik. Di kendo, kau punya aturan, pelindung, dan wasit. Di dunia yang akan kita masuki, tidak ada aturan, dan tidak ada yang namanya 'keadilan' selain yang kau ciptakan sendiri."
"Aku akan menanyakan ini, dan jawab dengan jujur. Kau sudah melihat orang tuamu. Kau tahu apa yang dilakukan Agate. Jika kau bertemu seseorang yang terlibat, yang harus kau lakukan untuk mendapatkan informasi... apakah kau siap menghancurkan tulang mereka, atau apakah kau akan berhenti hanya karena darah mulai mengalir?"
Indra menekankan pertanyaannya, memaksa Akari memilih garis batasnya sendiri.
"Kau bisa memilih untuk mundur sekarang, sebelum kau melintasi batas."
Indra menantikan jawaban Akari, menyadari bahwa inilah momen penentuan garis batas Akari.
Akari tidak ragu. Ia menunduk dan meletakkan tangan di gagang katana ayahnya yang ia bawa di punggung. Akari menjawab dengan lugas dan dingin.
"Mereka mengambil segalanya dari saya, Goto-san. Tidak ada aturan di kendo yang bisa menjelaskan pemandangan yang saya lihat. Mereka mengambil nyawa dan kehormatan orang tua saya," ujar Akari, suaranya kini sekeras baja.
"Saya tidak akan berhenti hanya karena darah mulai mengalir. Saya akan menghancurkan tulang mereka. Saya akan membuat mereka berbicara. Alasan kuat saya adalah membuat mereka merasakan penderitaan yang sama seperti yang saya rasakan selama setahun terakhir."
Indra mengangguk. Dia mendapatkan jawaban yang dia butuhkan. Akari siap menjadi Higanbana.
"Baik," kata Indra. "Kalau begitu, dengarkan kesepakatan dariku. Kau punya kebebasan untuk menghancurkan, tapi ada batasnya."
Indra memandang Akari di kaca spion, matanya di balik kacamata hitam tampak tajam.
"Jika kita mencapai petinggi Agate, yang mengatur semua penipuan ini, aku yang akan mengurusinya."
Indra tidak menyebutkan Araya atau pengadilan. Ia hanya menegaskan kekuasaannya.
"Aku setuju kau bisa menghadapi Haruna, dia hanya penjilat di sana, agen lapangan. Dia bisa kau hadapi sepuasmu."
Akari mempertimbangkan tawaran itu. Ia ingin membalas dendam pada semua orang.
"Saya mengerti. Tapi saya butuh kompromi," tawar Akari. "Bisakah saya setidaknya diberikan kesempatan menebas para petinggi itu sedikit? Hanya untuk memastikan pesan itu tersampaikan. Setelah itu, Anda bisa mengambilnya."
Indra hanya tersenyum dingin, sebuah ekspresi licik yang jarang ia tunjukkan.
"Kita lihat saja nanti, Akari. Sekarang, berpeganganlah."
Indra menekan pedal gas. Mobil BMW M8 Competition hitam melaju kencang ke suatu tempat di distrik industri yang gelap. Malam telah dimulai, dan Akari telah menemukan pemandunya dalam perjalanan menuju pembalasan.