Raisa tidak menyangka bahwa hidup akan membawanya ke keadaan bagaimana seorang perempuan yang menjalin pernikahan bukan atas dasar cinta. Dia tidak mengharapkan bahwa malam ulang tahun yang seharusnya dia habiskan dengan orang rumah itu menyeretnya ke masa depan jauh dari bayangannya. Belum selesai dengan hidup miliknya yang dia rasa seperti tidak mendapat bahagia, malah kini jiwa Raisa menempati tubuh perempuan yang ternyata menikah tanpa mendapatkan cinta dari sang suami. Jiwanya menempati raga Alya, seorang perempuan modis yang menikah dengan Ardan yang dikenal berparas tampan. Ternyata cantiknya itu tidak mampu membuat Ardan mencintainya.
Mendapati kenyataan itu Raisa berpikir untuk membantu tubuh dari orang yang dia tempati agar mendapatkan cinta dari suaminya. Setidaknya nanti hal itu akan menjadi bentuk terima kasih kepada Alya. Berharap itu tidak menjadi boomerang untuk dirinya. Melalui tubuh itu Raisa menjadi tahu bahwa ada rahasia lain yang dimiliki oleh Ardan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eloranaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Ya.
Panas matahari siang terasa menyengat kulit. Sebenarnya bukanlah pilihan yang tepat memilih menceburkan diri di kolam renang tanpa atap pada siang hari karena dapat membuat belang, terlebih lagi jika tidak mengaplikasikan tabir surya. Tetapi hal itu tidak dihiraukan Ardan.
Selepas puas mengelilingi wisata aquarium sejak pagi kini dia, Zeean, dan Raisa telah berada di kolam renang yang tidak begitu jauh dari wisata aquarium yang tadi mereka kunjungi.
Raisa memilih untuk duduk di kursi lingkar dengan satu meja bundar lumayan jauh dari air, di bawah payung besar warna-warni yang memang sengaja dipasang oleh pihak kolam renang Raisa menepuk-nepuk kaus Ardan dan Zeean yang terlipat. Dua lelaki itu bermain air dengan bertelanjang dada. Dan sebelum tadi berangkat ke tempat tersebut Ardan benar-benar mengajak Zeean untuk mampir membeli satu stel pakaian untuk masing-masing mereka.
Raisa memilih untuk menjauh dari air karena memang dia sedang tidak minat basah-basahan.
Perempuan itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, mulai dari lansia, anak muda, hingga anak kecil semua ada. Meskipun begitu kolam renang tersebut masih terlihat lengang sewajarnya, tidak begitu penuh sehingga membuatnya merasa nyaman tidak perlu melihat kumpulan manusia-manusia dalam jumlah banyak.
Dari tempatnya duduk Raisa mampu melihat seorang anak lelaki berlarian menuju ke arahnya dengan membawa cup mie yang mengepulkan asap di udara. Anak tersebut adalah Zeean dengan diikuti Ardan di belakangnya, lelaki itu tidak menenteng seperti yang dibawa Zeean melainkan tiga bungkus roti.
"Tanteee mau mie goreng tidak?" Zeean melompat duduk di sebelahnya dan menyodorkan makanan ke arah Raisa.
Raisa menggeleng. "Enggak, ah. Zeean kok makan mie terus, sih? Jangan yaa, harus dikurangin."
Zeean yang mendengarnya cemberut.
"Nah, tuh dengerin." Raisa terperangah.
Apa tadi yang baru dia dengar?
Ardan berbicara?
Ardan menimpali, Ardan menyambung pada topik bahasannya?
"Tapi mie tuh enak, Zeean suka mie, apalagi mie goreng!"
"Iya, tapi jangan sering-sering ya. Makan sayur juga biar sehat." Raisa mengusap kepala Zeean gemas. Lantas beralih menatap Ardan yang sudah duduk diam di seberangnya. Rambut lelaki itu hitam mengkilap dengan ujungnya meneteskan air satu persatu.
Tidak terinterupsi sama sekali Ardan tetap santai menyantap roti yang ada di tangannya. Mengabaikan pandangan tanpa berkedip Raisa. Dengan mulut penuhnya dia melemparkan sebungkus roti kepada Raisa yang gesit ditangkap. Sebungkus lainnya dia berikan pada Zeean, anak kecil itu tidak langsung membukanya, dia menyimpan roti tersebut di atas meja.
Meski sedikit jengkel karena Ardan tidak ramah memberikan makanan ke dirinya, berbeda dengan saat memberikan pada Zeean, Raisa tetap tersenyum menerimanya. Dia membaca tulisan di bungkusnya: Banana Milk Flavour. Kemudian beralih ke milik Zeean yang mampu tertangkap netranya dengan mudah. Pineapple Flavour. Langsung saja Raisa menukarnya, bahkan tanpa izin terlebih dahulu. Dan Zeean yang melihat pun tidak protes sedikitpun.
Raisa membuka bungkusnya dan melahap perlahan. "Terima kasih rotinya."
Tidak mendapat jawaban dan Raisa pilih menikmati makanannya. Satu gigit, dua gigit, lima gigit, dan sampai habis tak tersisa. Raisa lalu melipat bungkusnya menjadi kecil dan menyimpannya untuk dibuang nanti.
"Tante Raisa aman?" Selang dua menit rotinya tandas suara Zeean yang bertanya memasuki pendengarannya.
"Aman. Kenapa?"
"Perutnya sakit nggak?"
Raisa menggeleng dan membalas, "Enggak."
"Alergi tante gimana?"
"Alergi?"
"Nanas." Ardan berbicara dengan wajah datarnya.
Mendapatkan informasi itu Raisa membelalak, hanya sekilas, memastikan tidak ada yang menyadarinya. Dia tertawa-tawa canggung lalu merespons, "Ahahaha, nggak kok. Nggak—aw! Tante lupa kalau punya alergi. Perut tante tiba-tiba sakit. Aduhhh." Raisa sontak memegangi perut dan wajahnya bermain agar nampak betulan kesakitan. Keningnya sampai berkerut dalam dan memejamkan matanya, berakting layaknya orang sakit perut.
"Pembohong ulung."
Lagi lagi Raisa memperdengarkan tawa canggung. Dia langsung terduduk tegak. "Yap. Perut tante enggak sakit kok, Zee. Aman ajaa, tante kan suka nanas."
"Masa, sih? Yang dulu itu tante pernah maksa makan sampai pingsan biar Om Ardan nggak pergi keluar rumah dan nemenin tante." Dalam nada bicaranya tidak ada permusuhan, murni terdengar sebagai kalimat yang justru lebih mengarah ke bertanya meminta kepastian akan kebenaran ingatan.
Raisa meringis. Entah kenapa pernyataan itu membuatnya malu padahal bukan dia yang melakukan.
"Aduh, iya kah? Tante kok lupa ya pernah begitu?"
Balasan Raisa mendapatkan anggukan pasti dari Zeean yang merasa kalau memang Raisa pernah melakukan itu. Ya, mungkin jiwa dari raga yang sedang dia tempati pernah melakukan itu, siapa tahu, dan Raisa tidak begitu penasaran.
Kemudian obrolan demi obrolan mengudara, berasal dari Zeean dan Raisa. Tentu saja seperti biasa, Ardan diam di tempatnya. Enggan menimbrung. Pembicaraan itu berisi Zeean yang menceritakan kekagumannya pada wisata aquarium yang dibeberapa momen membuatnya terkesan hingga kejadian belum lama di kolam renang, yang mana dia mengejek Ardan karena memasuki area untuk anak-anak seperti yang Zeean tempati. Dan berujung Raisa akan membela Ardan dengan menjelaskan kalau lelaki itu melakukan hal tersebut karena ingin mengawasi Zeean dan takut terjadi hal yang tidak diharapkan. Perempuan itu melakukan tugas pembelaan yang bahkan empu yang dibicarakan saja tidak mempermasalahkan celotehan Zeean.
Anak lelaki itu bercerita dengan akrab bersama Raisa, meskipun terpaut usia yang jauh mereka berdua bisa saling menyeimbangkan. Meskipun beberapa kali Zeean kebingungan akan susunan kata yang harus dikeluarkan tetapi bagi Raisa anak tersebut bisa terbilang pandai menyusun kata sehingga dalam bercerita tidak berputar dan tidak membingungkan.
Ketika sudah berhenti dan Zeean melanjutkan makan mie, Raisa melirik Ardan. Perempuan itu berujar, "Maaf kalau aku pernah sedrama itu. Pernah lakuin hal seperti yang Zeean bilang tadi."
Tidak dijawab.
"Ardan?"
Tetap diam.
"Minimal kalau diajak bicara jawab kek, kalau nggak mau ngomong bisa pakai bahasa tubuh. Dicuekin tuh nggak enak." Rentetan protes meluncur dari mulut Raisa. Tetapi yang dia ajak bicara tidak goyah, malah sibuk mengusak-usak rambut sendiri sehingga tampias airnya kemana-mana.
"You suck."
"Ya."
"Eh? Yang mana?"
Pandangan Ardan tertuju ke Zeean untuk memastikan anak tersebut tidak memahami obrolan mereka berdua, dan ya, Zeean masih sibuk menguyah tak terganggu. Ardan kemudian menjawab, "Suck."
"Ehh? Enggak, kok. Maaf aku cuman asbun."
"Lo nggak ngasal bicara, karena itu memang kenyataannya." Ardan memandang lurus menerawang ke depan matanya yang hanya mampu menangkap dinding kosong. "I suck."
"Me too."
Mendapati reaksi Ardan yang tidak merespons maafnya dan malah menyetujui ketika dikatai sontak membuat Raisa menampar mulutnya berkali-kali. Merutuki diri sendiri, gimana kalau Ardan tambah membenci sosok Alya?
Raisa menundukan pandangannya. Dia berujar pelan, "Aku bener-bener minta maaf buat yang barusan dan perilaku-ku yang bikin kamu marah sebelum-sebelumnya. Selanjutnya kalau perbuatanku ada yang buat kamu sebel, marah, dan nggak nyaman bilang ya? Biar aku stop."
"Pembohong ulung." Dua kata yang sama terucap kembali padahal mereka berpindah tempat saja belum.
"Aku beneran minta maaf, Ardan."
"Ya."
...****************...