Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12
“Damai … udah nggak ada lagi keributan yang beberapa waktu lalu selalu aku dengar setiap kali ibu Rahayu ngelakuin panggilan telepon atau pun video. Rasanya senang banget lihat keadaan tempat yang udah besarin aku bisa kembali setenang ini setelah semua hal yang terjadi ….”
Aira mengukir senyuman manis penuh kebahagiaan saat melihat keadaan di dalam area panti asuhan yang begitu sangat damai serta menenangkan—berbeda sekali dengan hari-hari sebelumnya yang dipenuhi oleh teror serta ancaman dari pihak luar.
Perempuan berparas cantik itu keluar dari dalam mobil dengan membawa beberapa paper bag berisikan berbagai macam jenis makanan yang telah dirinya masak sendiri tadi pagi. Ia menghirup udara segar sebanyak yang dirinya bisa saat baru saja menginjakkan kaki di depan gerbang masuk panti, lantas mengembuskannya secara perlahan-lahan, sebelum membuka gerbang dan melangkahkan kaki menuju area taman yang berada di sisi kanan—tempat beberapa anak-anak panti sekarang sedang asyik bermain serta bercanda ria secara bersama-sama.
Salah satu anak yang sedang bermain—seorang gadis kecil berambut sebahu yang mengenakan bando berwarna merah muda—mengukir senyuman manis penuh kebahagiaan dan sesegera mungkin bangun dari tempat duduknya saat melihat kehadiran Aira.
“Kak Aira! Yeay … Kak Aira datang!” teriak gadis kecil itu, seraya mulai berlari sekuat tenaga mendekati tempat Aira berada, membuat beberapa temannya sontak mengalihkan pandangan dan ikut melakukan hal yang sama seperti dirinya.
Suara teriakan anak-anak panti sedang memanggil Aira mulai terdengar menggelegar ke seluruh penjuru, membuat beberapa warga yang sedang melintas refleks mengalihkan pandangan sejenak—guna sekadar melihat hal yang tengah terjadi di dalam sana, sebelum kembali melanjutkan aktivitas mereka.
Aira spontan terkekeh pelan saat mendengar teriakan dan melihat anak-anak panti sedang berlari mendekati tempat dirinya berada sekarang. Ia segera berjongkok, menaruh beberapa paper bag di atas rumput hijau, lantas merentangkan kedua tangan ke arah mereka semua—memberikan kode agar mereka sesegera mungkin masuk ke dalam pelukannya.
Melihat hal itu, membuat anak-anak panti semakin mempercepat langkah kaki mereka, lalu sesegera mungkin masuk ke dalam pelukan Aira yang begitu sangat hangat serta nyaman—pelukan yang mereka rindukan setelah melewati berbagai macam ancaman serta teror dari pihak luar akhir-akhir ini.
“Kak Aira! Aku kangen banget sama, Kakak … Akhirnya Kakak datang juga!” seru gadis kecil tadi, sembari mengeratkan pelukannya pada tubuh Aira.
“Aku juga kangen banget sama, Kakak … Kakak tahu nggak … Aku selalu takut tidur gara-gara orang-orang jahat itu … tapi ibu bilang kalau mereka udah nggak akan ganggu lagi … karena mereka udah dikasih pelajaran sama kamu, Kak … Makasih banyak, ya, Kakak!” ujar seorang anak laki-laki berkacamata, sembari ikut memeluk tubuh Aira dengan begitu sangat erat.
Anak-anak panti lain juga mengeluarkan semua hal yang ingin mereka katakan kepada Aira, membuat perempuan berparas cantik itu refleks semakin merekahkan senyumannya dengan mata mulai berkaca-kaca—campuran antara rasa senang, bahagia, lega, dan juga terharu—sembari ikut mengeratkan pelukannya kepada mereka semua.
“Jangan bilang makasih ke Kakak … tapi bilang makasih ke Tuhan ….” Aira memberikan elusan lembut serta beberapa ciuman di puncak kepala anak-anak panti asuhan. “Kalian yang rajin ibadahnya … biar nanti dapat banyak pahala dan selalu disayangi sama Tuhan, oke?”
Anak-anak panti itu refleks mendongakkan kepala untuk menatap wajah cantik Aira, lantas secara bersama-sama mulai mengangguk penuh semangat sebagai respons serta jawaban.
Setelah melihat anggukan dari para anak panti, Aira refleks mengalihkan pandangan ke arah kanan saat mendengar suara perempuan paruh baya sedang memanggil dirinya dan anak-anak panti dari arah sana.
Dari tempatnya berada sekarang, Aira dapat melihat sosok ibu Rahayu sedang melangkahkan kaki mendekat sambil mengukir senyuman lebar penuh kebahagiaan serta kelembutan.
Aira melepaskan pelukannya pada anak-anak panti, lantas sesegera mungkin bangun dari posisi jongkok dan bergegas memeluk tubuh perempuan paruh baya itu—perempuan yang selama 22 tahun menjaga serta menyayanginya layaknya seperti anak kandung sendiri. “Ibu, Aira kangen banget.”
“Ibu juga kangen banget sama kamu, Nak,” balas Ibu Rahayu dengan suara lembut dan penuh kasih sayang. Ia membalas pelukan yang sedang diberikan oleh Aira dengan begitu sangat hangat, seolah tidak ingin melepaskan dalam waktu dekat, “Udah lama banget Ibu nggak lihat wajah kamu dari dekat … terakhir kalau nggak salah waktu libur panjang tahun kemarin, kan?”
Aira mengangguk pelan, mengusap punggung perempuan paruh baya itu dengan penuh perasaan. “Iya, Bu … waktu itu Aira nginap di sini selama liburan. Tapi baru sekarang lagi bisa datang … soalnya banyak banget pekerjaan di kota … tapi, Aira janji … akan lebih sering pulang ke sini.”
Ibu Rahayu secara perlahan-lahan melepaskan pelukannya pada tubuh Aira, lantas menatap wajah cantik perempuan itu yang kini tampak sedikit lebih dewasa daripada terakhir kali mereka bertemu. “Ibu tahu kamu sibuk, Nak. Ibu nggak apa-apa … asal kamu jaga diri, ya. Dunia luar itu keras … Ibu cuma pengin kamu tetap baik, tetap jadi Aira yang Ibu kenal … yang lembut hatinya dan nggak pernah lupa sama asalnya.”
Aira menundukkan kepala, mencoba menahan perasaan yang secara tiba-tiba saja membuncah di dalam dadanya. Ia menggigit bibir bawahnya cukup kencang sambil menggenggam erat tangan Ibu Rahayu, sebelum pada akhirnya membuka suara.
“Aira janji, Bu … Aira nggak akan berubah. Aira tetap Aira yang dulu, yang Ibu besarkan dengan doa dan kasih sayang.”
Suasana di sekitar mereka mendadak menjadi begitu haru—anak-anak panti ikut menatap adegan itu dengan senyum lembut di wajah kecil mereka. Beberapa di antara mereka bahkan bertepuk tangan kecil, seolah ikut bahagia melihat reuni hangat antara Aira dan sosok ibu panti yang mereka semua cintai.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, lantaran atensi mereka semua seketika teralihkan saat tiba-tiba saja mendengar suara dari seorang anak laki-laki yang tidak memiliki rambut sama sekali.
“Ibu, Kakak … aku udah laper banget … bisa makan sekarang nggak?” tanya anak laki-laki itu, sembari mengusap-usap lembut perutnya yang sedikit buncit.
Mendengar hal itu, membuat Aira, Ibu Rahayu, dan yang lainnya spontan tertawa cukup kencang—merasa lucu serta terhibur dengan hal yang sedang anak laki-laki itu lakukan.
“Ayo, makan … kebetulan Kakak ada bawain masakan Kakak buat kalian. Kalian mau bantuin bawa nggak?” tanya Aira, menatap ke arah beberapa paper bag berisikan makanan yang masih berada di atas rumput.
Anak-anak panti itu sontak bersorak kegirangan saat mendengar ucapan Aira. Mereka berlari kecil menuju paper bag yang dimaksud sambil berebut ingin membantu membawanya ke dalam.
“Aku yang bawa, Kak!” teriak salah satu anak perempuan berambut kuncir dua, sementara yang lain cepat-cepat ikut menarik salah satu tas kertas, membuat Aira sampai terkekeh melihat semangat mereka.
“Pelan-pelan, jangan sampai jatuh, ya. Itu isinya makanan kesukaan kalian semua, loh,” ujar Aira lembut, sambil berjalan mendampingi mereka.
“Wah, serius, Kak? Ada nugget sama ayam goreng madu juga?” tanya si anak laki-laki botak tadi dengan mata berbinar-binar.
Aira menoleh sambil tersenyum lebar. “Ada, dong. Kakak nggak lupa. Terus ada juga pudding cokelat yang kalian suka.”
Begitu mendengar kata pudding cokelat, anak-anak itu langsung bersorak lebih kencang lagi, melompat-lompat kecil sambil menggenggam paper bag yang mereka bawa dengan hati-hati.
Ibu Rahayu yang berjalan di samping Aira menatap pemandangan itu dengan penuh kehangatan. “Kamu selalu ingat hal-hal kecil tentang mereka, Nak. Padahal udah lama nggak pulang.”
Aira menatap ke arah anak-anak yang kini berlarian menuju ruang makan panti, lalu kembali menatap Ibu Rahayu dengan senyuman lembut. “Mereka bagian dari hidup Aira, Bu. Sekalipun jauh, Aira nggak mungkin lupa.”
Ibu Rahayu mengangguk pelan. “Ibu bangga banget sama kamu, Aira. Kamu tumbuh jadi perempuan kuat, tapi hatimu tetap selembut dulu.”
Aira menunduk sedikit, suaranya lirih, tetapi begitu tulus. “Kalau bukan karena Ibu, Aira nggak akan jadi seperti sekarang.”
Mereka berdua lantas berjalan menyusul anak-anak ke dalam, melewati halaman panti yang dipenuhi cahaya lembut dari Sang Surya—hangat, penuh tawa, dan aroma nostalgia masa kecil yang belum pernah benar-benar pergi.