NovelToon NovelToon
Suster Kesayangan CEO Lumpuh

Suster Kesayangan CEO Lumpuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / CEO / Cinta Seiring Waktu / Pengasuh
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ra za

Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.

Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.

Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10 Pergi ke Taman

Pagi itu. Udara terasa segar, dan semangat Nayla pun tumbuh seiring harapan baru di hatinya. Ia membuka mata dengan senyum kecil di wajahnya. Meski tubuhnya masih sedikit lelah, hatinya terasa ringan.

“Aku yakin… hari ini akan lebih baik dari kemarin,” gumam Nayla sambil bangkit dari tempat tidur.

Setelah merapikan tempat tidur, Nayla segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Air hangat menyentuh kulitnya, membawa ketenangan dan energi baru. Begitu selesai mandi, dan rambutnya masih setengah basah, terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya.

Tok tok tok…

Nayla buru-buru mengambil handuk kecil untuk mengeringkan wajahnya, lalu melangkah ke pintu dan membukanya perlahan. Di balik pintu, tampak sosok ramah yang sudah dikenalnya sejak hari pertama di rumah itu—Bibi Eli.

“Oh… selamat pagi, Bibi,” sapa Nayla dengan senyum tulus.

Bibi Eli tersenyum hangat sambil menatap Nayla dari ujung kaki sampai kepala, menyadari bahwa gadis itu baru selesai mandi. “Wah, kamu bangun pagi sekali, Nayla. Bahkan belum jam enam sudah siap begini,” ucapnya dengan nada kagum.

Nayla tersipu malu. “Iya, Bi. Tuan Leon semalam bilang kalau saya harus sudah di kamarnya jam enam. Jadi saya berusaha bangun lebih pagi.”

Mendengar nama Leon disebut, ekspresi Bibi Eli sedikit berubah. Ada rasa heran sekaligus bahagia terpancar dari wajahnya. “Benarkah? Wah… selama ini, sejak kecelakaan itu, Tuan Leon tidak pernah lagi bangun pagi, apalagi minta ditemani. Biasanya, beliau selalu murung dan memilih mengurung diri di kamar.”

Bibi Eli menghela napas, namun senyum tetap tersisa di bibirnya. “Sepertinya kehadiranmu mulai membawa perubahan, Nayla.”

Nayla hanya tersenyum, tak tahu harus menjawab apa. Ia masih belum yakin apakah Leon benar-benar berubah, atau hanya sesaat.

“Oh iya,” lanjut Bibi Eli sambil menyerahkan sebuah setelan baju, “Ini seragam perawat yang disiapkan oleh Nyonya Gaby untuk kamu. Katanya agar kamu lebih nyaman dan terlihat rapi saat bekerja.”

Nayla menerima baju itu dengan tangan bergetar pelan. “Terima kasih, Bi. Tolong sampaikan terima kasih saya pada Nyonya Gaby juga. Saya akan segera memakainya.”

“Kalau kamu butuh apa-apa, jangan sungkan ya, Nayla. Panggil saja Bibi,” ujar Bibi Eli sebelum pamit. “Sekarang Bibi ke dapur dulu. Semangat ya pagi ini!”

Nayla mengangguk sopan. “Terima kasih, Bi.”

Setelah pintu tertutup kembali, Nayla memandangi pakaian di tangannya. Seragam itu terdiri dari celana panjang dan atasan berlengan pendek berwarna putih bersih, khas seragam perawat. Dengan sigap, ia berganti pakaian. Setelah mengenakannya, ia berdiri di depan cermin—seragam itu pas di tubuhnya dan terlihat sopan serta profesional.

Tanpa membuang waktu, Nayla segera menuju kamar Leon. Ia membuka pintu dengan hati-hati, berusaha agar tidak mengagetkan siapa pun.

Begitu masuk, ia melihat Leon masih terlelap. Jam di dinding menunjukkan pukul 05:45. Masih ada lima belas menit sebelum waktu yang dijanjikan. Namun Nayla memilih mendekat, membungkuk sedikit di sisi ranjang, lalu dengan lembut membangunkan pria itu.

“Tuan Leon…,” bisiknya pelan.

Leon menggeliat pelan, kelopak matanya mulai terbuka. Ia tampak bingung sesaat, namun segera sadar di mana ia berada. Pandangannya mengarah pada Nayla.

“Jam berapa sekarang?” tanyanya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.

“Lima belas menit lagi jam enam, Tuan,” jawab Nayla lembut.

Leon mengangguk kecil. “Pindahkan aku ke kursi roda. Aku ingin mandi.”

Tanpa banyak bicara, Nayla segera bersiap membantu. Namun, saat ia mendekat dan bersiap memindahkan tubuh Leon, mata tajam pria itu menatapnya dari atas ke bawah. Wajahnya berubah masam seketika.

“Apa yang kamu pakai itu?” tanyanya tajam.

Nayla terkejut, berhenti sejenak sambil memandang pakaiannya. “Ini… seragam perawat, Tuan. Diberikan oleh Bibi Eli. Katanya ini dari Nyonya Gaby, agar saya terlihat lebih profesional saat mendampingi Tuan.”

Leon menatapnya lekat-lekat, lalu mendecak pelan. “Lain kali, jangan pakai itu lagi.”

Nayla mengerutkan dahi, bingung. “Maaf, Tuan. Apakah ada yang salah dengan seragam ini?”

“Aku tidak suka,” sahut Leon singkat. “Aku bukan pasien rumah sakit. Aku tidak butuh dirawat oleh suster berseragam seperti itu. Aku hanya… butuh seseorang yang membantu, bukan membuatku merasa seperti objek kasihan.”

Nayla menunduk pelan, menyadari bahwa Leon masih sensitif terhadap kondisinya sendiri.

“Baik, Tuan. Saya mengerti. Besok saya tidak akan memakainya lagi.”

Leon mengalihkan pandangannya, lalu mengangguk kecil.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Nayla membantu memindahkan Leon dari tempat tidur ke kursi roda dengan hati-hati. Gerakannya cepat, namun tetap lembut. Ia tahu, meski Leon terlihat kuat, batinnya masih sangat rapuh.

Setelah itu, Nayla mendorong kursi roda menuju kamar mandi. Pagi ini dimulai dengan perintah dan teguran, tapi di hati kecil Nayla, ada harapan bahwa perlahan… Leon akan benar-benar membuka diri.

---

Setelah mandi dan mengenakan pakaian yang rapi, Leon terlihat lebih segar dari biasanya. Rambutnya yang sedikit basah disisir rapi ke belakang, dan aroma sabun maskulin masih tercium samar dari tubuhnya. Saat Nayla tengah membereskan handuk, suara Leon terdengar memecah keheningan kamar.

“Aku ingin ke taman,” ucapnya singkat.

Nayla menoleh cepat, sedikit terkejut dengan permintaan itu. “Ke taman, Tuan?” ulangnya untuk memastikan.

Leon mengangguk tanpa menatapnya. “Sudah lama aku tidak ke sana. Bawa aku sekarang.”

Tanpa menunda waktu, Nayla segera menghampiri kursi roda, memastikan semua dalam posisi aman sebelum mendorong Leon keluar kamar. Mereka menuju lift di ujung koridor, turun ke lantai dasar, lalu menelusuri lorong menuju taman belakang rumah megah itu.

Begitu melewati pintu kaca besar yang menghubungkan ruang keluarga dengan taman, udara pagi langsung menyambut mereka. Angin bertiup lembut, membawa aroma segar dari tanaman dan bunga yang tumbuh subur di sepanjang jalur setapak.

Taman itu sungguh indah. Dipenuhi berbagai jenis bunga berwarna-warni, mulai dari mawar merah yang anggun, melati putih yang harum, hingga anggrek tropis yang ditata dengan estetika tinggi. Taman kecil dengan kolam ikan di tengahnya memberikan sentuhan damai. Suara gemericik air dan kicauan burung seolah membentuk orkestra alami yang menenangkan hati.

Leon menarik napas panjang. Udara segar memenuhi dadanya, dan untuk sesaat, ia memejamkan mata. Sudah begitu lama ia tidak merasakan kelegaan seperti ini—semenjak kecelakaan itu, hidupnya dipenuhi kemarahan, penolakan, dan keterpurukan. Tapi pagi ini, entah mengapa, udara terasa berbeda.

Nayla, yang baru pertama kali melihat taman itu, tak bisa menahan kekagumannya. “Indah sekali…,” gumamnya sambil memandangi setiap sudut taman.

Leon membuka mata, menoleh padanya. “Taman ini dirawat langsung oleh Mama. Hampir semua bunga di sini adalah tanaman kesayangannya.”

Nayla mengangguk sambil tersenyum. “Saya bisa merasakannya… tempat ini terasa hangat dan penuh kasih.”

Leon hanya menatap ke depan, matanya menerawang. “Dulu… waktu aku kecil, setiap pagi Mama selalu ajak aku ke sini. Kami akan menyiram tanaman bersama. Tapi setelah Papa meninggal, dia lebih sering ke sini sendiri.”

Kata-kata Leon mengandung kepedihan yang tersamar. Nayla memilih untuk tidak mengomentari lebih jauh. Ia hanya berdiri di samping kursi roda, mendampingi Leon dengan diam yang mengerti.

Dari balik jendela lantai atas, Nyonya Gaby memperhatikan mereka diam-diam. Wajahnya yang biasanya tegas kini menampakkan senyum lembut. Matanya berkaca-kaca, penuh rasa haru.

Akhirnya, Leon bersedia keluar kamar.

Akhirnya, putranya mulai membuka hati.

Nayla… gadis itu benar-benar membawa perubahan yang selama ini sangat ia harapkan.

“Terima kasih, Tuhan…” bisik Nyonya Gaby pelan. “Semoga setelah ini, Leon mau menjalani pengobatan lagi. Aku tahu dia pasti bisa sembuh, asal dia tidak menutup dirinya terus-menerus.”

Cahaya matahari pagi menembus jendela, menyinari wajah Nyonya Gaby dan menambah kehangatan suasana. Di taman, Leon masih duduk diam menikmati pagi, dan Nayla setia di sampingnya. Tak banyak kata di antara mereka, tapi ketenangan yang tercipta… jauh lebih bermakna dari seribu percakapan.

1
murniyati Spd
sangat bagus dan menarik untuk di baca /Good/
Guchuko
Sukses membuatku merasa seperti ikut dalam cerita!
Ververr
Masih nunggu update chapter selanjutnya dengan harap-harap cemas. Update secepatnya ya thor!
Zani: Terimakasih sudah mampir kak🥰, ditunggu update selanjutnya 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!