NovelToon NovelToon
Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Berondong
Popularitas:758
Nilai: 5
Nama Author: Bechahime

Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kencan Ala Anak Kos Tapi Berjiwa Filosofis (Bagian 1)

Pagi itu, udara masih sejuk, burung-burung masih ngantuk, dan aku… ya, aku masih belum sepenuhnya berdamai dengan kenyataan bahwa belakangan ini begitu banyak peristiwa absurd yang aku alami, bahkan hal-hal yang tidak pernah aku bayangkan akan terjadi selama 30 tahun umurku.

Namun pagi ini aku harus mau menggerakkan badanku untuk jogging. Bukan karena aku sangat peduli dengan hidup sehat tapi demi mempertahankan ilusi pencintraan di story Instagram. Dengan hoodie yang kebesaran, celana training yang sudah nggak elastis lagi, dan semangat yang lebih mirip baterai lowbat, aku mulai lari-lari kecil menuju perempatan.

Dan seperti biasa, di sudut sana, berdiri kokoh sebuah coffee shop mungil tapi kece, dengan papan nama bertuliskan “KOPI DARURAT”. Namanya sih dramatis, tapi isi kopinya bikin nagih. Dan dibalik meja bar, ada dia—Mas Johan. Si tetangga semi idola komplek, pemilik senyum tiga jari dan tubuh atletis yang terlalu sempurna untuk jadi manusi biasa.

Bahkan Rahma selalu pangling tiap kali bertemu dengannya, dia sampai memberi gelar “Barista Sexy nan hot”.

“Ada yang rajin pagi-pagi. Lari? Atau lari dari kenyataan?” sapanya sambil melangkah keluar dengan kain lap dan gelas ditangannya.

Kemudian dia ngelap gelas dengan cara yang terlalu sinematik buat aku yang lagi ngos-ngosan kayak kerupuk masuk angin.

“Gue… lari dari tuntutan sosial, Mas” jawabku sambil menepuk dada kayak habis marathon Padang-Jakarta.

Mas Johan tertawa kecil. “Mau kopi semangat? Gratis kalau baper.”

Aku menatapnya dengan wajah penuh pertimbangan. Gratisan memang godaan terbesar umat manusia setelah diskon skincare.

“Mas, kopi semangat itu rasanya kayak apa?”

“Rasanya kayak… lo akhirnya ngilangin semua mantan dari playlist spotify.”

Aku nyaris tersedak ludah sendiri. Astaga, ini cowok puitis atau penjual kopi dengan latar belakang mantan anak sastra?

Dengan reflex, aku ambil posisi duduk di bangku luar coffee shop-nya yang terbuat dari kayu daur ulang (yang entah kenapa aromanya selalu enak). Mas Johan keluar sambil bawa segelas kopi ber-aroma caramel dan dosa-dosa masa lalu.

“Ini, khusus buat lo. Tapi harus diminum sambil senyum.”

Aku senyum, walau agak meringis. “Mas Jo, senyum gue tuh kayak hubungan jarak jauh—ada tapi nggak kuat lama.”

Dia ketawa lagi. “Setidaknya lo nggak fake smile. Itu yang penting.”

Dan ya, disitu aku mulai merasa aneh. Bukan karena kopinya, tapi karena percakapannya terlalu…absurd. Tapi menyenangkan. Tapi absurd. Tapi menyenangkan. Pokoknya kayak nonton film indie yang kamu nggak ngerti, tapi seneng aja gitu liatnya.

Tiba-tiba dia nanya, “Lo biasanya lari lebih pagi dari ini. Apa sekarang ada perubahan jadwal?”

“Biasanya sih lebih pagi, Mas. Bahkan kita pernah bertemu beberapa kali kan? Tapi hari ini gue mimpi dikejar deadline sama muka mantan. Jadi bangun dengan keringat dosa. Trus merenung dulu. Apakah mimpi ini sebuah pertanda.”

Mas Johan mengangguk dengan ekspresi serius. “Wah, berarti lo butuh detox. Detox mantan.”

“Mas, detox mantan bisa dikemas kayak teh celup nggak? Biar tinggal di seduh dan move on.”

“Bisa. Tapi harga jualnya mahal. Harus dibayar pakai kenangan.”

Aku terdiam, sambil menatap secangkir kopi seolah-olah itu adalah portal menuju kehidupan yang lebih stabil.

Lalu dia nyengir. “Besok mau jogging bareng? Biar bisa ngopi gratis dua kali.”

Aku nyaris bilang “deal” tapi sadar harga diri harus dijaga, minimal sampai jam 10 pagi.

“Lihat nanti deh, Mas. Kalau semesta nggak ngajak bercanda lagi.”

Kami sama-sama tertawa. Dan untuk pertama kalinya di pagi itu, aku nggak merasa lari cuma demi pencitraan story. Tapi demi kopi gratis dan absurditas ringan yang membuat hati hangat.

**

Setelah sesi obrolan absurd bareng Mas Johan, sorenya aku jalan-jalan ke mall buat nyari diffuser, padahal sebenarnya cuma pengen ngeliat manusia lain biar ingat bahwa aku juga salah satu dari mereka.

Awalnya aku udah ajak Rahma, tapi karena drama Mall-nya minggu lalu dia lebih sering menghabiskan waktu bersama Andika, tunangannya itu. Lebih seperti mematai-matainya sih dari pada menghabiskan waktu bersama. Tapi aku rasa ini juga waktu yang tepat bagiku untuk mulai membiasakan diri pergi kemana-mana sendiri.

Karena setelah Rahma menikah, kemungkinan komunikasi kita juga tidak akan seintens biasanya.

Lagi asik liat-liat aromaterapi, tiba-tiba ponselku getar.

WA from: Felix

“Kalau lo mau, gue bisa bantu pilih diffuser yang wangi tapi gak lebay.”

Aku terdiam. Aku cek kembali pesan di layar HP ku.

‘Apa gue sedang berhalusinasi? Apa karena gue terlalu kesepian tanpa Rahma?’

Aku kembali memeriksa pemilik dari pesan WA itu. Felix-Game Dev tertera dengan jelas di layar.

Lalu kupegang dada sendiri. BERDETAK.

Aku langsung panik dan bilang dalam hati.

‘INI BUKAN SUKA. INI CUMA… AROMA DIFFUSER TERLALU HARUM!’

‘Tapi demi apa dia tiba-tiba mengirim pesan?’

Aku mencoba berspekulasi di kepalaku. Tapi kemudian menggeleng.

“HAHAHA—Meisya, lo terlalu percaya diri gak sih? Kenapa lo udah mikir jauh banget?” gumamku.

Aku akhirnya bales, dengan gaya casual-casual lucu tapi tetep kayak anak KKN yang takut dosen pembimbing.

“Hah? Lo bisa baca pikiran ya? Jangan-jangan lo bagian dari Badan Intelijen Nasional?”

Lalu balasan masuk:

“Enggak. Gue bagian dari yang memperhatikan. Dari kemarin lo posting diffuser di story WA.”

Aku tidak tahan. Senyum aneh muncul dari sudut bibirku dan seketika aku pengen teriak kenceng walau dalam dari hati.

‘UWAAAAA JANGAN SENYUM MEISYA…LO TERLALU GAMPANG BAPER!!’

Lalu aku kembali menenangkan hatiku yang sudah lepas kendali kayak ayam kepanasan.

‘GIGIT GULALI GIGIT GULALI INI TERLALU GEMES YA TUHAN.’

Tapi tentu, aku tidak bisa membiarkan diriku kehilangan ke-absurdan yang telah menjadi nafas hidupku. Jadi apa yang aku lakukan?

Aku mengiyakan ajakannya ketemu—dengan syarat: di tempat yang tidak terlalu romantik, tidak terlalu sepi dan ada makanan.

Pilihan jatuh pada: food court dan toko alat tulis di sebelahnya.

Karena nothing says “aku normal” seperti ngobrol sambil liatin pulpen warna pastel.

**

Besoknya tepat hari minggu jam 11 siang. Aku tiba duluan. Duduk di kursi besi yang terlalu pendek buat proporsi badanku yang ideal (menurutku sendiri). Tanganku memegang bubble tea ukuran besar, karena aku yakin semua keputusan hidup bisa dihadapi dengan boba yang cukup.

Felix datang… dengan outfit yang rapi tapi santai. Hari ini dia memakai baju kaos hitam, celana khaki, dan sneakers putih. Minimalis. Tapi bersih. Beda dari cowok-cowok sebelumnya yang kayak campuran style korporat dan anime cosplay.

Felix yang pertama membuka obrolan. Di luar ekspektasi.

“Lo suka food court ya?”

Aku menyeruput boba kayak pengacara sedang mempersiapkan saksi. Lalu menjawab.

“Food court adalah tempat netral. Semua kelas sosial bersatu. Yang flexing bisa makan steak, yang stress bisa beli batagor.”

Felix…tersenyum.

‘YA AMPUN DIA TERSENYUM.’

Bukan senyum”ngajak debat”, bukan senyum “gue lebih tau dari lo”, tapi senyum “gue ngerti logika absurd lo dan gue gak masalah.”

Itu…menenangkan.

Kami ngobrol. Tentang kerjaan. Tentang game. Tentang algoritma.

Dan karena aku gak ngerti apa-apa soal algoritma selain yang bikin tiktok tau aku suka video anak kucing dan orang gagal masak, aku jujur aja.

“Gue tuh gak ngerti coding. Tapi gue ngerti ngebaca gesture cowok di kencan buta. Dan lo… lumayan… stabil.”

Dia mengernyit. Tangannya mengetuk meja dengan pelan.

“Cuma lumayan?”

Aku menyeruput boba dengan cepat dan mengangguk.

“Iya. Karena terlalu sempurna juga mencurigakan. Gue gak langsung percaya cowok yang gak flexing, gak nyebut mantan dan gak nyuruh gue bayar parkir sendiri.”

Dia menunduk tetapi ada gestur yang menunjukkan bahwa dia sangat nyaman. Terlihat dari sudut mulutnya yang sedikit terangkat dan suaranya yang terdengar datar tapi lebih bersahabat.

“Kalau gue nyuruh lo bayar parkir sendiri, lo langsung percaya?”

“ENGGAK LAH. GUE NGAK BAWA KENDARAAN, NGAPAIN GUE BAYAR PARKIR.”

Dan kami ketawa. Serius. Ketawa bareng.

Bukan tawa kikuk. Tapi tawa yang…lepas. Tawa yang… aneh, tapi pas.

Bahkan aku bisa menemukan dua lesung pipi di bawah mulut Felix. Pemandangan yang sangat langka untuk terjadi.

Setelah kencan food court dan sesi tawa-tawa di toko alat tulis, aku kira semuanya akan berakhir seperti biasanya: awkward pamitan, salaman dan ghosting.

Tapi tidak.

Felix, si pria misterius yang dulu manggil aku cabul karena salah paham soal pelecehan di penyebrangan dan video iklan kolor Kevin Klein., menyimpan janji.

Dia bener-bener ngechat. Dengan isi yang…gak nyebelin. Gak flirting lebay. Gak juga basa-basi yang bikin aku pengen mukul tembok. Bahkan hanya karena chat singkatnya mampu membuat jam kerja di kantorku terasa berjalan lebih cepat.

Felix:

“Gue nemu tempat jual bubble tea yang pakai es batu bentuk dadu. Lo pasti suka.”

“Dan satu lagi, di dalamnya ada toko yang jual sticky note bentuk ayam goreng drumstick. Lo harus liat.”

**

1
nide baobei
berondong gak tuh🤣
kania zaqila
semangat thor💪😊
nide baobei
ya ampun meisya🤣🤣🤣
nide baobei
ngakak🤣🤣, semangat thor💪
nide baobei
🤣🤣🤭
nide baobei
udah pede duluan🤣🤣
nide baobei
🤣🤣🤣 si meisya lucu banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!