Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Butuh istirahat
Jarum jam menunjukkan angka sembilan malam, anak-anak mengemaskan Naren telah tidur di kamar masing-masing. Namun, istrinya yang pergi sejak siang belum datang. Naren sudah menghubunginya berulang kali, tapi tidak satu pun panggilannya di jawab.
Pria itu duduk tidak tenang di balkon kamarnya. Ia khawatir terjadi sesuatu pada Nadira. Namun, ia tidak tahu harus mencari kemana istrinya.
Naren bernapas lega melihat Nadira baru saja turun dari mobil. Akan tetapi sebuah pertanyaan muncul di kepalanya? Kenapa Nadira pulang tanpa membawa mobil dan di antar oleh pria?
Tanpa membuang waktu lama, Naren menghampiri istrinya di pintu gerbang. Tersenyum menyambut wanita yang berusaha ia bahagiakan setengah mati.
"Sayang, apa terjadi sesuatu padamu? Kamu baik-baik saja?" tanya Naren.
"Kenapa sih mas berlebihan banget? Orang cuma kerja juga," jawab Nadira berjalan lebih dulu dari Naren memasuki rumah.
"Bukan berlebihan, hanya saja ini sudah malam. Banyak kejahatan terjadi akhir-akhir ini." Naren mengikuti langkah istrinya sampai di kamar. "Kenapa bisa di antar sama orang lain? Mobil kamu kemana?"
"Di Agensi, kepala aku pusing jadi nggak bisa menyetir sendiri. Alhasil bosku yang mengantar pulang." Melempar tasnya ke tempat tidur.
"Mau mas antar jemput?"
"Nggak usah. Mas kok cerewet banget sih? Aku tuh lelah kepala aku rasanya mau pecah," ucap Nadira dengan nada mengerutu.
"Kamu sudah makan malam?"
"Sudah."
Naren mengangguk mengerti dan meninggalkan kamar utama. Pria itu duduk di depan tv ditemani oleh laptop di pangkuannya.
"Mas?"
Naren menoleh ke sumber suara, ternyata istrinya menyusul setelah berganti baju. Ia menutup laptopnya ketika sang istri duduk di sampingnya.
"Kenapa Sayang?"
"Mas belum dapat pekerjaan juga?"
"Belum, sekarang susah banget dapat pekerjaan. Apalagi dengan posisi yang sama. Mungkin karena alasan mas berhenti kerja nggak baik."
"Mas benaran nggak korupsi? Nggak selingkuh?"
"Nadira?" Naren menatap istrinya, mengenggam kedua tangan wanita itu. "Mas berani bersumpah nggak melakukan dua hal itu. Mas juga nggak mengerti kenapa semuanya bisa terjadi. Tapi jangan khwatirkan apapun, jalani hidupmu seperti biasa biar kebutuhan rumah dan anak-anak mas yang memikirkan. Kalau kamu bekerja untuk membantu keuangan keluarga nggak usah bekerja Sayang. Tapi jika itu untuk menyenangkan hatimu maka lakukan."
"Bagaimana kalau mas nggak dapat pekerjaan secepatnya? Aku ngasih mas waktu 1 bulan, bisa?"
"Insyah Allah." Naren tersenyum. Pria itu mengecup kening istrinya. "Tidurlah, kamu pasti lelah."
"Iya."
Sepeninggalan Nadira, Naren kembali berselancar di media sosial. Bahkan tanpa malu bertanya pada teman-temannya tentang lowongan yang mungkin sesuai bidangnya.
Jarum jam sudah menunjukkan angka tiga dini hari, tetapi Naren tidak kunjung menyudahi aktivitasnya. Hingga di mana ia terlelap dengan posisi duduk.
"Ayah bangun!" teriak Darian tepat di telingan Naren, membuat pria itu terkejut.
Ia memandang sekitar dan ternyata sudah pagi. Ia memegangi kepalanya yang terasa pusing, mungkin karena kurangnya jam tidur.
"Ayah, adek Seren menangis tapi ibu belum bangun," ujar Naresa.
"Ayah ke sana sekarang, Nak. Naresa sama adek Darian mandi ya biar nggak telat sekolahnya."
"Iya ayah," sahut Naresa dan Darian.
Naren pun bergegas ke kamar untuk mengambil Seren. Ternyata pempres balita satu tahun itu sudah penuh, sehingga merasa tidak nyaman.
"Aduh-aduh putri cantik ayah jadi nggak nyaman nih. Ayah sih malah ketiduran," ujar Naren yang dengan telaten mengurus Seren. Sudah kepalang, pria itu sekalian memandikan putrinya agar lebih segar dan siap bermain.
Seren tertawa lepas mendengar suara bersin ayahnya. Tawanya semakin menjadi kala bersin Naren terdengar secara berturut-turut.
"Ayah sakit?" tanya Naresa.
"Nggak Sayang."
"Tapi ayah bersin-bersin terus. Ayah harus minum obat. Mau Naresa ambilkan?" tanya si sulung. "Tapi sebelum minum obat ayah makan dulu. Naresa panggil ibu."
"Nggak usah, biar ayah yang masak sarapan untuk kalian. Ibu lelah, semalam pulang telat."
Naren menurunkan Seren dari gendongannya membiarkannya bermain sedangkan ia mulai menyiapkan sarapan untuk buah hatinya. Seperti biasa, Naren baru membangunkan Nadira jika sarapan sudah ada di atas meja.
"Ibu kok nggak pernah bantu ayah?" tanya Naresa.
"Kan sekarang ayah nggak kerja jadi banyak waktu mengurus kalian," jawab Nadira.
"Ibu, ayah sakit." Kali ini Darian ikut bicara.
"Mas sakit?"
"Nggak Sayang."
"Kalau mas nggak sakit nggak usah manja-manja gitu di depan anak-anak. Mas mau mereka benci sama aku? Kan mas sendiri janji mau urus anak-anak selama nggak kerja," gerutu Nadira.
...
Semakin teriak matahari, semakin pusing pula kepala Naren, bahkan suhu tubuhnya mulai naik dan badannya merasa pegal. Alhasil pria itu memilih untuk pulang dan istirahat sejenak.
Namun, sepertinya keputusan untuk pulang ke rumah tidak begitu baik sebab kedatangannya disambut dengan tatapan tidak suka oleh sang istri.
"Mas kok jam segini sudah pulang? Gimana mau dapat pekerjaan kalau malas-malasan," omel Nadira.
"Mas nggak enak badan Sayang, nanti mas keluar lagi kalau sudah enakan."
"Terserah mas lah."
Nadira berlalu tanpa mempertanyakan kondisi suaminya. Tidak lama wanita itu muncul lagi dengan penampilan lebih rapi dari biasanya.
"Sekalian saja mas menemani Seren di rumah dan jemput anak-anak di sekolah. Aku ada pemotreran."
"Iya hati-hati."
Naren menyandarkan tubuhnya pada sofa sambil memejamkan mata, sesekali ia mengawasi pergerakan Seren. Memastikan putrinya tidak dalam bahaya.
Merasa tidak bisa menjemput anak-anaknya di sekolah, Naren dengan terpaksa menghubungi ibunya agar menjemput mereka.
Sedangkan Nadira sendiri baru tiba di Agensy Rafka. Wanita itu memang ada pemotretan tapi sebenarnya bisa ditunda kalau saja meminta izin bahwa suaminya tidak enak badan.
"Cepat banget datangnya, pemotrerannya dua jam lagi loh," celetuk Rafka. "Berasa banget nggak betahnya di rumah. Padahalkan pasti nggak kesepian soalnya punya tiga anak."
"Iya sih nggak kesepian, tapi bikin kesal," gumam Nadira.
Rafka mengerutkan keningnya. "Kesal gimana?"
"Aku tuh kesal sama suami aku. Udah tau punya tiga anak, kebutuhan banyak. Eh malah nggak hati-hati sampai dipecat. Mana sampai sekarang belum kerja lagi."
"Loh jadi ini alasan kamu mau jadi model?"
"Salah satunya. Tapi jangan bilang siapa-siapa kalau suami aku nggak kerja."
"Santai saja kali, kayak siapa saja. Bahkan kalau kamu butuh dana darurat buat kebutuhan keluarga kamu, nggak usah sungkan ngomong ke aku."
"Terimakasih tawarannya tapi suamiku kayaknya masih mampu."
"Syukurlah." Rafka tidak bicara lagi, ia mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya sembari memperhatikan Nadira diam-diam.
Sedangkan yang diperhatikan tampak fokus pada benda pipihnya. Rafka senyum miring membayangkan kalau saja Nadira menjadi kekasihnya.
.
.
.
.
.
Kebangetan sih kalau Nadira main belakang. Orang suaminya ijo dan ganteng banget
udah kmu sm shanaya aja aku dukung pake bgtttt😄
tapi jangan Leona deh orang tuanya konglomerat takut Nanti Naren nya juga minder
dan takutnya orang tua Leona ga mau menerima anak2 Naren
jadi sama shanaya aja
semoga Naya juga sayang anak2 Naren