Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13, Kepala logistik
Angin malam di istana terasa berat, seolah membawa sesuatu yang busuk.
Elara berjalan pelan di sepanjang koridor belakang, mengenakan jubah abu-abu yang menutupi wajahnya. Suara langkahnya nyaris tak terdengar di antara dinding batu.
Di tangannya ada kunci kecil, hadiah diam-diam dari seorang pelayan tua yang pernah diselamatkan Kaen.
Kunci itu hanya bisa membuka satu tempat gudang logistik di balik Gerbang Timur, wilayah yang bahkan penjaga biasa enggan datangi karena terkenal “berhantu”.
“Hantu tidak menakutkan,” bisik Elara pada dirinya sendiri, “manusia yang berkhianat jauh lebih menyeramkan.”
Ia menunduk, menyusup di antara bayangan pilar, dan berhenti di depan pintu besi besar.
Kuncinya masuk dengan sedikit gesekan klik.
Di dalam, udara lebih lembap dan bau besi tercium kuat.
Tumpukan peti besar berjajar di sepanjang dinding, sebagian terbuka memperlihatkan minyak senjata, kain, dan bahan makanan yang tidak semestinya ada di situ.
Elara mengangkat lentera kecil.
Matanya menyapu ruangan, mencari sesuatu yang aneh.
Dan ia menemukannya.
Sebuah peti kecil di pojok, berbeda dari yang lain lebih tua, dengan cap kerajaan yang sudah pudar.
Ketika ia membuka penutupnya, lembaran surat berserakan, sebagian sudah kering terkena darah.
Tulisan di salah satu surat membuat dadanya menegang
“Persediaan minyak akan dikirim ke perbatasan utara, sesuai perintah Kepala Logistik dan tanda tangan Kaen Vare.”
Ia terdiam.
Itu bukan tulisan Kaen. Ia tahu betul gaya tulisannya Kaen menulis dengan tekanan ringan dan huruf miring kecil.
Surat itu tegas, kasar, dan ditulis oleh tangan lain.
“Mereka memalsukan perintahnya…” gumamnya pelan. “Kaen dijebak.”
Tapi sebelum ia sempat melanjutkan, suara langkah berat terdengar dari luar pintu.
Elara memadamkan lentera dan bersembunyi di balik tumpukan peti.
Dua orang pria masuk sambil bercakap pelan.
Salah satunya mengenakan seragam penjaga tinggi, yang satu lagi berjubah hitam dengan lambang kecil di bahu kanan simbol logistik kerajaan.
“Semua barang sudah dikirim?” tanya si berjubah hitam.
“Sudah, Tuan. Besok tinggal kirim laporan palsu ke Kaisar. Setelah itu, semua tanggung jawab jatuh ke pengawal permaisuri itu.”
“Bagus,” jawab pria itu sambil tertawa pelan. “Dengan begitu, tak ada yang curiga pada kita. Kaisar terlalu sibuk memperhatikan wanita barunya.”
Elara menahan napas.
Wanita barunya.
Ia tahu siapa yang dimaksud dirinya sendiri.
Saat kedua pria itu berbalik, Elara menggeser tubuhnya perlahan, menyiapkan pisau kecil yang diselipkan di pergelangan tangan. Tapi pintu mendadak terbuka dari luar, dan seseorang masuk.
Suara itu… membuat darahnya berhenti mengalir.
“Aku pikir kalian terlalu berisik untuk malam sepi seperti ini.”
Itu suara Kaelith.
Para pria langsung berlutut.
“Yang Mulia! Kami hanya memeriksa persediaan—”
“Persediaan?” potong Kaelith datar. “Atau bukti yang seharusnya sudah kalian bakar?”
Ia mengangkat tangan, dan dalam sekejap dua penjaga pribadinya menodongkan pedang ke leher mereka.
Kaelith melangkah masuk sepenuhnya, menatap sekeliling dengan tatapan tajam.
“Lucu,” katanya dingin. “Aku baru saja mendengar laporan bahwa semua minyak di gudang ini sudah dikirim seminggu lalu. Tapi lihat, masih penuh.”
Salah satu pria mulai gemetar.
“Kami hanya mengikuti perintah Kepala Logistik, Yang Mulia—”
“Bagus.”
Kaelith tersenyum dingin. “Karena sekarang, aku ingin mendengar perintah itu langsung dari mulutnya.”
Elara nyaris menahan diri untuk tidak keluar dari persembunyian.
Namun saat Kaelith berbalik hendak pergi, kakinya tersandung sesuatu sebuah gulungan kertas yang jatuh dari rak saat ia bersembunyi tadi.
Kaisar menoleh cepat.
“Siapa di sana?”
Elara menelan napas, menunduk, dan berusaha mundur diam-diam. Tapi mata Kaelith lebih tajam dari dugaan. Ia langsung menatap ke arah bayangan tempat Elara bersembunyi.
“Keluar,” ucapnya tegas. “Atau aku akan menarikmu sendiri.”
Elara berdiri perlahan, wajahnya tenang, meski jantungnya berdentum kencang.
“Aku hanya mencari kebenaran,” katanya pelan.
Kaelith menatapnya lama, lalu berkata, “Kau seharusnya tidak ke sini sendirian.”
“Kau juga,” balas Elara datar. “Kaisar atau bukan, tempat ini berbahaya.”
Ia mengangkat surat berlumur darah itu dan meletakkannya di tangan Kaelith.
“Lihat siapa yang menandatangani ini.”
Kaelith membaca cepat, lalu matanya menyipit.
“Tanda tangan Kaen… tapi tulisan orang lain.”
“Aku tahu,” bisik Elara. “Dan mereka yang di sini juga tahu.”
Kaisar menatap dua pria itu, wajahnya berubah kelam.
“Bawa mereka ke penjara bawah tanah. Jangan biarkan siapa pun tahu malam ini terjadi.”
Penjaga mengangguk dan menyeret kedua pria itu keluar.
Ruangan kembali sunyi, hanya tersisa mereka berdua.
“Kau tahu,” kata Kaelith akhirnya, “kau membuatku hampir gila.”
“Kenapa?” Elara menatapnya.
“Karena setiap kali aku mencoba menjauh darimu, kau malah muncul di tempat paling berbahaya di dunia ini.”
Elara tersenyum kecil, tapi matanya tetap tajam.
“Mungkin karena aku tidak tahu cara hidup dengan aman.”
Kaelith menatapnya lama, lalu berkata pelan:
“Atau mungkin karena kau memang lahir untuk mengacaukan dunia ini.”
Elara mendekat satu langkah.
“Kalau begitu,” bisiknya lembut tapi menusuk, “semoga kau siap menghadapi kekacauannya.”
Dan sebelum ia pergi, ia menatapnya satu kali lagi mata keduanya saling menantang, namun juga saling menahan sesuatu yang belum berani diucapkan.
Sementara itu, jauh di bawah tanah, Kaen mendengar langkah-langkah datang dari koridor.
Ia menegakkan tubuhnya, lalu tersenyum samar ketika melihat salah satu penjaga yang menyeret dua orang berdarah-darah ke sel sebelahnya.
“Sepertinya Permaisuri berhasil,” gumamnya lirih.
“Dan sekarang… giliran aku keluar dari sini.”