NovelToon NovelToon
Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Anak Genius / Aliansi Pernikahan / Anak Kembar / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.

Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.

"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.

Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 13

Sarapan pagi itu terasa hangat. Meski tubuh Zamara belum sepenuhnya pulih dari "serangan cinta" semalam, wajahnya tetap berseri. Ia duduk perlahan di samping Yassir, sambil sesekali memijat pinggangnya sendiri dengan ekspresi yang tak bisa disembunyikan.

Tapi tak ada keluhan berlebihan. Tak ada drama berlebihan. Mereka tetap seperti sebelumnya dua insan yang saling menghormati, saling menjaga dan saling memuliakan.

“Mas, kamu mau bubur ayam atau roti panggang?” tanya Zamara sambil menunjuk ke arah buffet.

Yassir melirik, lalu menjawab santai, “Apa aja yang kamu ambilin, insyaAllah enak.”

Zamara bangkit pelan lalu berhenti sejenak.

“Aduh…” keluhnya lirih, membuat Yassir refleks berdiri.

“Mau aku aja yang ambil?” tawarnya.

Zamara mengangguk. “Iya deh, kamu aja. Aku masih berasa kayak ada yang copot,” gumamnya pelan dengan pipi memerah.

Yassir tertawa kecil, lalu beranjak menuju meja makanan. Ia tahu betul batas Zamara, dan tidak pernah memaksa. Justru dari canggung dan ngilu seperti ini, keduanya makin paham cara menjaga satu sama lain.

Tak lama, Yassir kembali dengan nampan berisi bubur, potongan buah, dan dua cangkir teh hangat.

“Makannya pelan-pelan. Kamu dokter, tapi pagi ini pasiennya ya kamu sendiri,” selorohnya sambil menyuapkan sendok kecil ke arah istrinya.

Zamara tersenyum sambil menepis manja, “Aku bisa makan sendiri. Tapi makasih ya semalam, pagi ini, dan nanti-nanti.”

Yassir menatap lekat. “Aku juga makasih. Karena kamu tetap jadi Zamara yang aku kenal kuat, kalem, tapi tetap manja kalau sama suaminya.”

Mereka tertawa kecil, saling menyuap, dan berbincang ringan tentang rencana ke depan. Meski status sudah berubah, namun cara mereka memandang satu sama lain tetap sama.

Tak ada jarak. Tak ada kekakuan mereka tetap seperti dulu, hanya kini lebih utuh dengan cinta yang tumbuh dari doa, tawa, sakit yang jujur, dan janji untuk saling menjaga, dalam keadaan apa pun.

Usai sarapan dan bercengkerama ringan, Zamara menyandarkan tubuhnya sejenak di bahu Yassir. Wajahnya tenang, meski lelah masih tersisa.

Namun ada cahaya baru dalam matanya cahaya seorang istri yang siap mendampingi, bukan hanya sebagai pasangan, tapi juga penopang kehidupan bersama.

Perlahan ia menatap suaminya dan berkata pelan, “Mas, habis ini kita pulang ke rumah dulu ya, pamitan sama semua yang di rumah. Aku juga mau suruh mereka siap-siap berkemas.”

Yassir menoleh alisnya sedikit naik. “Siap-siap? Maksudnya?”

Zamara menggenggam tangannya erat, lalu tersenyum lembut. “Rumah yang aku beli itu udah siap ditinggali. Cukup besar kok. Muat buat adik-adik angkatmu, dan juga keempat orang tua angkatmu. Aku pengen kita kumpul di satu rumah, bareng. Supaya nggak ada yang merasa ditinggal. Supaya semua bisa ngerasain kehangatan rumah yang baru, tapi tetap dalam satu lingkaran keluarga.”

Yassir terdiam. Suaranya tercekat. Ia tak menyangka istrinya yang baru saja resmi bersamanya, begitu cepat mengerti hatinya, dan langsung mengajaknya menjemput kehidupan baru bukan hanya berdua, tapi juga membawa semua yang ia cintai.

“Kamu yakin, Zam?” bisiknya perlahan.

Zamara mengangguk mantap. “Kita udah halal. Hidup kita nggak cuma tentang kita berdua. Mereka juga bagian dari kamu, Mas. Jadi, bagian dari aku juga. Aku pengen rumah itu jadi tempat kita tumbuh bareng-bareng.”

Yassir menghela napas dalam. Matanya berkaca, tapi bibirnya tersenyum. Ia lalu menarik tangan istrinya dan menciumnya lembut.

“Kalau gitu ayo. Kita pulang. Kita jemput mereka semua. Kita pindah sama-sama.”

Dan hari itu, setelah menyelesaikan urusan check-out, mereka meluncur kembali ke rumah yang selama ini menjadi tempat tinggal bersama adik-adik angkat dan orang tua angkat Yassir.

Sesampainya di sana, suasana mendadak ramai. Zamara langsung mengumpulkan semuanya di ruang tamu.

“Bapak Mahmud, Bu Sarah, Bu Salamah, Pak Lukman dan adik-adiknya juga ya, Bayu, Salsabila, Salwa, Faris, Gilang, Annisa, Aliyah…” panggilnya dengan suara lembut.

Mereka semua duduk, memperhatikan Zamara yang kini berdiri di samping suaminya.

“Mulai hari ini, kita semua pindah ke rumah baru. Rumah itu cukup besar. Udah aku siapkan sejak lama. Aku mau kita tinggal bareng, satu atap. Biar lebih dekat, biar lebih saling jaga.”

Mereka semua saling pandang, beberapa terharu, yang lain tampak kaget tapi senang.

Pak Mah tersenyum, “Rumah besar bukan soal ukuran, tapi soal hati yang cukup luas buat nerima semua yang datang. Dan kamu udah buktiin itu, Nak.”

Yassir menggenggam tangan istrinya lebih erat.

Hari itu bukan hanya tentang pindahan rumah, tapi juga pindahan hati ke tempat yang lebih luas, lebih hangat, dan lebih penuh cinta.

Sore itu, suasana ruang tamu masih hangat setelah pengumuman dari Zamara dan Yassir.

Semua yang ada di rumah terlihat saling berbisik, setengah tak percaya, setengah gembira.

Bu Salamah yang duduk di ujung sofa, menatap Zamara dengan senyum kecil. Wanita paruh baya itu sudah menganggap Yassir seperti anak sendiri, dan Zamara kini seperti putrinya.

Tiba-tiba Zamara mendekat, lalu berkata dengan nada tenang, tapi mantap.

“Lagian rumah yang sekarang ini kan cuma rumah sewa, Bu.”

Bu Salamah mengangguk pelan, lalu mengelus lututnya yang mulai kaku karena usia.

“Iya, Nak… Ibu juga pernah bilang ke Yassir, udah waktunya punya tempat tinggal sendiri, bukan numpang terus. Tapi anak itu selalu bilang, ‘belum waktunya, Bu’. Eh, ternyata kamu yang dateng dan bukain pintu rumah baru buat kami semua,” katanya lembut.

Zamara tersenyum kecil. Ia lalu menoleh ke arah Yassir. “Mas, sekarang kamu yang bilang ke mereka biar mereka tahu, kamu juga yang siapin semuanya sama aku.”

Yassir mengangguk. Ia berdiri, lalu memandang ke sekeliling ruangan, menatap satu per satu wajah yang begitu ia cintai.

“Bapak Mah, Bu Salamah, Bu Sarah, Pak Lukman, adik-adik semua rumah baru itu bukan sekadar tempat. Tapi awal dari kehidupan yang lebih utuh. Zamara udah siapin semuanya, dan aku setuju. Kita nggak tinggal di rumah kontrakan lagi, kita pindah ke rumah yang insyaAllah jadi tempat tumbuh, belajar, dan saling jaga. Bukan cuma untuk kami berdua, tapi untuk kita semua.”

Tangis haru mulai terdengar. Faris dan Gilang saling pukul pelan di bahu, pura-pura nggak terharu padahal mata mereka basah.

Annisa memeluk Salma. Aliyah menggandeng tangan Bu Sarah.

Bu Salamah menarik tangan Zamara dan mengecup punggungnya. “Terima kasih, Nak. Nggak semua menantu bisa selegowo kamu. Ibu bangga punya kamu di keluarga ini.”

Zamara menggeleng pelan, “Bukan soal bangga, Bu. Ini soal tanggung jawab. Karena menikahi Mas Yassir artinya aku juga menikahi apa pun yang Mas Yassir cintai.”

Dan hari itu, mereka pun bersiap. Koper-koper mulai diangkat. Barang-barang dibereskan. Tapi bukan sekadar barang yang dipindahkan melainkan cinta, harapan, dan mimpi-mimpi kecil yang akan hidup di rumah yang baru. Rumah yang bukan lagi disewa tapi milik mereka semua.

Sore itu, ruang tamu terasa sesak oleh rasa haru yang tak bisa disembunyikan. Semua mata tertuju pada Zamara dan Yassir yang berdiri berdampingan, wajah mereka teduh penuh ketulusan.

Bu Salamah yang duduk di ujung sofa, matanya berair. Ia menggenggam tangan Zamara erat.

“Nak, Ibu sudah lama kepingin lihat Yassir punya rumah sendiri. Tapi Allah kasih lebih dari itu bukan cuma rumah, tapi istri yang hatinya selebar langit. Terima kasih ya, Zamara.”

Zamara tersenyum, mengusap lembut punggung tangan mertuanya itu.

“Jangan bilang terima kasih, Bu. Ini rumah kita bersama. Aku nggak mau ada yang merasa numpang atau jadi beban. Kita semua keluarga.”

Pak Mah menghela napas panjang, matanya berkaca.

“Dulu Bapak pikir hidup Bapak sama Bu Sarah, Bu Salamah, sama Pak Lukman bakal berakhir di rumah kontrakan sederhana. Tapi ternyata Allah kirim kamu, Nak, yang bikin semua berubah. Rumah itu nanti bukan cuma tempat tidur, tapi tempat doa-doa kita berkumpul.”

Bayu yang duduk bersila sambil menahan senyum ikut bersuara, “Asli, aku sampai merinding dengarnya. Kak Zamara, terima kasih. Rumah baru pasti jadi tempat aku rajin belajar, biar Kak Yassir nggak pusing lagi mikirin nilai aku yang naik turun.”

Salsabila menepuk bahu kakaknya, matanya basah tapi bibirnya tersenyum lebar.

“Aku janji bakal bantuin Kak Zamara nanti di rumah. Mau masak bareng, mau jaga rumah. Rasanya kayak mimpi bisa punya tempat seluas itu. Rasanya kayak punya istana.”

Salwa yang biasanya pendiam, kali ini suaranya lirih namun jelas.

“Aku… aku bahagia banget. Dari dulu aku sering takut ditinggal sendiri. Tapi ternyata kita malah makin dekat. Kak Zamara, Kak Yassir… makasih udah mikirin kita semua.”

Faris dan Gilang yang biasanya suka bercanda, saling melirik lalu pura-pura menahan tangis.

“Woy, jangan lebay ah,” kata Gilang sambil cepat-cepat mengusap mata.

Faris menimpali, “Lebay apaan. Aku cuma kaget aja, ternyata beneran ada yang kayak di film-film, pindahan bareng satu keluarga besar. Ini gila, tapi gila yang bikin bahagia.”

Annisa langsung memeluk Salma erat.

“Kak Zamara, kamu bukan cuma kakak ipar. Kamu kayak kakak kandung aku sendiri. Terima kasih udah bikin rumah baru yang pastinya bakal jadi tempat kita curhat bareng.”

Aliyah ikut bersuara sambil menggenggam tangan Bu Sarah.

“Bu, kita nggak usah khawatir lagi. Sekarang kita punya rumah sendiri, rumah yang ada cinta di dalamnya. Kak Zamara, Kak Yassir… Allah pasti berkahi kalian berdua karena udah mikirin semua orang, bukan diri sendiri aja.”

Bu Sarah menahan air mata, suaranya bergetar.

“Nak Zamara, Nak Yassir… apa yang kalian lakukan ini nggak semua orang bisa. Biasanya orang kalau baru nikah pengennya enak-enakan berdua, tapi kalian malah ngumpulin semua orang. Ibu nggak tahu harus bilang apa lagi, selain mendoakan semoga rumah baru itu jadi surga kecil kita.”

Pak Lukman yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara dengan suara berat.

“Kalian berdua sudah nunjukkin arti keluarga sebenarnya. Rumah itu nanti bukan cuma bangunan, tapi tempat kita jatuh, bangkit, dan tetap saling rangkul. Bapak bangga.”

Zamara menatap semua satu per satu, lalu menunduk pelan.

“Kalau boleh aku jujur, aku takut nggak bisa jadi sebaik yang kalian harapkan. Tapi aku janji, aku bakal berusaha sekuat tenaga. Karena menikahi Mas Yassir berarti aku menikahi semuanya juga cinta, tanggung jawab, dan keluarga besar ini.”

Yassir yang berdiri di sampingnya menepuk lembut tangan istrinya.

“Zamara… kamu nggak usah takut. Mereka lihat sendiri kan, kalau kamu bukan cuma istriku, tapi juga cahaya baru buat keluarga ini. Mulai hari ini, kita semua bukan lagi penghuni rumah kontrakan. Kita pindah ke rumah baru, rumah penuh cinta. Kita isi dengan doa, tawa, dan kebersamaan.”

Tangis pecah, tapi bukan tangis sedih, tangis syukur dan bahagia.

Faris bersorak sambil berdiri, “Yuk, kita mulai angkat koper! Aku paling semangat kalau soal pindahan. Rumah baru, hidup baru, suasana baru!”

Gilang menimpali sambil tertawa, “Asal jangan kamu yang ngatur kamar ya, Far. Nanti isinya penuh poster bola sama gitar rusak.”

Salsabila ikut tertawa, “Kalau gitu biar aku aja yang dekor kamar. Rumah baru harus cantik, biar Kak Zamara senang.”

Dan sore itu, suara langkah, tawa, dan obrolan memenuhi seluruh rumah kontrakan yang sebentar lagi akan ditinggalkan. Mereka mengemas bukan hanya barang-barang, tapi juga harapan, doa, dan cinta yang akan mereka bawa ke rumah baru yaitu rumah yang akan jadi milik semua, tanpa ada yang tertinggal.

Mampir Baca Pawang Dokter Impoten, Dipaksa Menjadi Istri Kedua.

1
Abel Incess
nangis bombay pagi" Thor 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: nggak tanggung tissu yah kakak 🤣🤭🙏🏻
total 1 replies
Abel Incess
Asli ini sangat menyakitkan 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: sabar kak ini ujian 🤣☺️🤗🙏🏻
total 1 replies
Enz99
jangan lama-lama sedihnya Thor.... balikin zamara nya y
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Mami Pihri An Nur
Wooowww,, perempuan egois, menantang bpknya sndri masalh keturunan, tp dia sndri yg utamakn keturunan laki2 buat penerus trs ditingglkn ank ceweknya,, aku kecewa thour di tengh crtanya ko gini, dikira Setelah punya ank akn bhgia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: masih panjang kak ceritanya 🤭😂
total 1 replies
Isma Isma
apa zamara punya penyakit bikin penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: tungguin selanjutnya
total 1 replies
Abel Incess
apa sih tujuannya Zamara, makin penasaran
Enz99
bagus bangettt.... lanjut thor
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak
total 1 replies
darsih
zamara penuh teka teki JD penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak sudah mampir baca
total 1 replies
darsih
JD penasaran SM zamara penuh teka- teki
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: baca lanjutannya kakak biar kejwab
total 1 replies
Eva Karmita
ada misi apa kamu Zamara...dalam satu Minggu harus bisa menaklukkan ustadz Yassir...??
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: rahasia 😂🤣
total 1 replies
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!