Dua Jiwa Yang Tertukar

Anya yang khawatir dengan Arka segera menyusulnya.

Arka sudah berpakaian. Ia mengenakan kemeja putih dan celana jeans, serta menguncir tinggi rambutnya.

Anya sedikit tercengang melihatnya. Arka sudah bisa menyesuaikan diri dengan kondisinya sekarang.

"Kau banyak kemajuan, ya. Sekarang gaya pakaianmu jauh lebih baik, bahkan lebih modis daripada aku dulu," ujar Anya sambil memperhatikan pakaian Arka.

Arka menyodorkan wajahnya. "Cepat pakaikan makeup. Shofia sudah menungguku."

"Tapi apa kau yakin akan pergi? Ini masalah yang aku buat, tapi kau yang harus menyelesaikannya," ucap Anya ragu dan tampak merasa bersalah.

"Ya, makanya, kau harus lebih melayaniku dengan baik. Sebenarnya aku malas melakukan ini, tapi mau bagaimana lagi," sahut Arka.

Anya segera mengoleskan skincare dan makeup pada Arka, menghias wajahnya tipis-tipis.

"Arka! Di mana kau?"

Tiba-tiba terdengar suara Shofia dari luar kamar. Anya dan Arka terkesiap. Anya meletakkan semua makeup di tangannya dan segera keluar kamar.

Arka pun segera mengikutinya. Shofia membelalak melihat mereka berdua keluar kamar.

Shofia menunjuk ke arah mereka berdua. "Kenapa kalian keluar dari kamar yang sama? Bukannya ini kamarmu, Arka? Jangan bilang kalian pacaran?"

"Jangan bicara hal yang tidak mungkin. Ayo cepat berangkat," sergah Arka. Ia segera berjalan meninggalkan mereka, turun ke lantai bawah.

Shofia berkacak pinggang, melotot melihat Arka dalam tubuh Anya yang semakin aneh dan berani. "Lihatlah dia. Sekarang makin kurang ajar."

Anya tersenyum, tapi senyumnya tampak dipaksakan. "Lebih baik Miss segera pergi."

Mereka mengikuti Arka ke lantai bawah. Arka sudah keluar dari penthouse terlebih dahulu, dan Shofia segera menyusulnya.

Sebelum pergi, Shofia berbalik dan berkata, "Kau harus pikirkan lagi untuk tidak tinggal dengannya. Bagaimana jika dia mengambil keuntungan darimu?"

Anya hanya mengangguk pelan.

Shofia lalu pergi dari sana. Tentu saja hal itu membuat Anya meradang. Ia dituduh memanfaatkan situasi.

"Enak saja, memangnya aku wanita seperti itu," gumamnya kesal.

Anya baru saja ingin kembali ke dalam, tapi tiba-tiba pintu kembali terbuka. Anya berbalik dan melihat Arka di depan pintu.

"Ingat, saat aku pergi, jangan pernah masuk ke ruangan sebelah kamarku. Jika aku tahu kau sampai masuk ke sana, aku tidak akan pernah memaafkanmu," ucap Arka dengan nada mengancam.

Lalu Arka pergi begitu saja setelah mengatakan itu. Anya hanya bisa bengong, belum bisa mencerna perkataan Arka barusan.

Anya menggeleng pelan, mencoba mengabaikannya. Ia kembali ke kamar Arka untuk merapikannya.

Ia harus membereskan penthouse Arka. Sebab saat ia datang, Anya tidak melihat seorang pembantu pun.

Dia juga tidak berani bertanya. Mungkin memang Arka sengaja menyuruhnya mengerjakan semuanya.

Satu per satu anak tangga dinaikinya. Saat hendak masuk ke kamar, ia berhenti sejenak dan menoleh ke arah pintu dekat kamar Arka.

"Sebenarnya ada apa sih di balik pintu itu? Kenapa aku tidak boleh masuk, dan dia terlihat sangat serius tentang ini," gumamnya.

"Sudahlah, lagipula aku gak mau kena masalah."

Anya lalu masuk ke kamar dan membereskannya. Setelah selesai, ia kembali ke bawah untuk latihan koreografi lagu baru Rhapsody.

Anya memutar musik dan mulai mengikuti gerakan mereka. Awalnya Anya merasa kesulitan, namun lama-lama ia mulai memahaminya dan bisa mengikuti gerakan, walaupun belum sempurna.

Anya terduduk di lantai marmer yang mengkilap. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, dan napasnya terengah-engah.

"Ternyata jadi seorang idola melelahkan juga. Aku hanya tahu melihat mereka perform tanpa tahu bagaimana lelahnya mereka," gumamnya.

Anya perlahan bangkit. Ia hendak mengambil air minum, namun bel pintunya kembali berbunyi.

Anya sedikit membungkuk sambil menghela napas lelah. "Hah ... siapa lagi sih!"

Ia berjalan gontai ke arah pintu dan membukanya. Anya menatap heran ke arah wanita paruh baya yang tengah berdiri di depannya.

Tiba-tiba wanita itu masuk begitu saja. "Halo, Tuan, bagaimana kabarnya? Maaf, saya baru kembali," katanya sambil meletakkan tasnya di atas meja dapur.

Anya masih melongo, matanya mengikuti gerak-gerik wanita itu.

"Hari ini saya sudah mulai bekerja lagi. Tapi kalau malam saya harus pulang. Tidak apa-apa kan, Tuan?" ujar Lisa, pembantu Arka yang beberapa hari cuti.

'Siapa dia? Apa dia pembantu Arka sebelumnya?' batin Anya bertanya-tanya.

Lisa adalah wanita yang bekerja dengan Arka cukup lama, bahkan sejak Arka masih SMA. Dulu dia bekerja di keluarga Arka. Namun, saat Arka memilih tinggal sendiri, ia lebih memilih bekerja dan menjaga Arka.

"Saya akan masak buat Tuan Arka, ya? Saya buatkan sup spesial," ucap Lisa sambil mengeluarkan bahan dari dalam kulkas.

Anya menghampirinya dan duduk di kursi. "Iya, terima kasih."

Anya tersenyum. Ia merasa senang ternyata selama ini Arka tidak tinggal sendiri.

"Oh ya, lebih baik hari ini jangan keluar rumah dulu, ya? Soalnya di luar sedang hujan deras," jelasnya.

Anya mengerutkan kening, menatapnya heran. "Memangnya kenapa? Kan cuma hujan, lagipula nanti aku ada pertemuan."

"Loh, Tuan ini bagaimana sih! Bukannya Tuan sangat takut hujan? Apa mungkin trauma Tuan sudah sembuh?"