Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepotong Cerita Bersama Mama
Mama Mala datang berkunjung. Biasa begitu kalau ada makanan yang ingin ia bagi untuk cucu-cucunya.
“Semalam baru rewang tempat Bu Sari, mantu anaknya yang ke tiga,” ucapnya memberi informasi dari mana ia memperoleh makanan-makanan itu.
Mala diam saja tak merespons. Dia tahu beberapa warga berkumpul di rumah Bu Sari. Sudah umum bantu-bantu memasak jika ada warga yang hendak mengadakan hajatan.
“Banyak yang nanyain kamu, Mala. Pada heran kok Mala makin jarang kumpul sama warga sekitar,” imbuhnya.
Mala masih diam. Pikirannya melayang kepada deadline gambar yang harus ia kejar agar cepat mendapatkan uang. Sangat malas untuk meminta uang pada Bram, bukannya uang yang didapatkan malah penghinaan saja yang terlontar dari mulut Bram. Belum lagi jika dimintai uang, Bram menjadi besar kepala. Susah memang menghadapi sifat Bram yang seperti itu. Bila Mala diam saja tidak meminta uangnya, Bram keenakan dan menginap di luar rumah untuk beberapa hari. Dan Mala yakin, menginapnya itu pastilah mengeluarkan uang tidak sedikit. Padahal seharusnya Bram lebih memprioritaskan kebutuhan anak-anak yang setiap harinya pasti membutuhkan biaya.
“Mala! Melamun saja!” tegur Mama.
Mala memijit pelipisnya, gerakan itu membuat ibunya tahu Mala sedang banyak pikiran. Maksud kedatangannya siang-siang begini―pas tidak ada orang lain―juga ingin menyampaikan bisik-bisik tetangga yang didengar semalam. Sebagai ibu, jika terjadi sesuatu pada rumah tangga Mala, tentunya ia akan ikut merasa malu.
“Di mana suamimu sekarang?”
Mala menggelengkan kepala, ini bukan saat yang tepat untuk ditanyakan soal Bram.
“Kamu jaga suamimu baik-baik, dulu … kamu yang ingin menikahinya. Sekarang sudah risiko yang kamu tanggung jika pernikahanmu mengalami guncangan. Tidak ada pernikahan tanpa mengalami guncangan, Mala!”
Mala terperangah, curiga ibunya mengetahui sesuatu sampai menyampaikan peringatan untuk pernikahannya.
“Bram ‘kan bukan anak kecil, Ma! Mala nggak selalu tahu apa kegiatannya.”
“Nah, itu! Kamu terlalu cuek, Mala! Pantesan suami kamu cari wanita di luar rumah!”
“Mama??” Mala pucat pasi, tak menyangka ibunya mengatakan hal demikian. Wanita yang melahirkan Mala itu, tahu betul putrinya sedang kecewa, tapi malah tega menyudutkan.
“Laki-laki kalau sedang puber ke dua itu memang menyebalkan, Mala! Dulu bapakmu juga begitu ‘kan? Abaikan saja semua itu, jangan mau kalah sama pelakornya. Kamu harus bisa memikat hati suamimu kembali!”
Kening mala berkerut, kali ini ia tak setuju dengan perkataan Mama. “Ma, kenapa harus Mala yang memikat hati suami, bukankah pernikahan itu dua orang saling menghargai dan saling mengusahakan?”
“Kalau kamu cuek, kamu bisa ditinggal!"
“Ya, memang kenapa kalau ditinggal?”
“Tidak ada perceraian di kamus keluarga kita, malu Mala … malu!”
Mala tertegun, ibunya tidak mengkhawatirkan kondisi mental Mala, hanya mencemaskan bila anaknya menjadi janda.
“Ja-jadi kalau aku diselingkuhi apa aku harus tetap melayaninya dengan penuh kemesraan, Ma? Ini sungguh tidak adil.” Netra Mala hampir sepenuhnya menumpahkan air mata.
“Itulah ganjaran dari anak pembangkang seperti kamu, Mala!”
“Ma!! Apa harus sekarang mengatakan itu??”
Mala tak percaya dengan pendengarannya.
“Dulu ‘kan aku sudah bilang, cari kerja dulu, berbakti dulu sama orang tua. Bukannya cepat menikah dan cepat punya anak!”
“Ma!!!” Menatap nanar pada wajah ibu yang melahirkan dirinya, Mala sungguh tak menyangka kalimat itu meluncur dari Sang Mama.
Soal itu lagi yang diungkit, usai kebangkrutan bisnis membuat pikiran mama amat culas. Inginnya, Mala gantian membalas budi dan mensejahterakan keluarga. Namun, pernikahan, kehamilan, dan keinginan Mala untuk merawat anaknya sendiri membuat segala harapan orang tua pada Mala musnah.
“Huft, sudahlah. Nasi sudah jadi bubur. Makanya kamu jangan di rumah saja, bergaul sana! Ada banyak informasi dan gosip mengenai suami kamu yang kamu lewatkan!”
Seandainya saja Mama tahu, salah satu alasan Mala menarik diri dari lingkungan sekitar karena Mala malu, aib suaminya menjadi gunjingan tetangga dalam grup whatsapp, serta pandangan mengasihani dari orang-orang yang bertemu dengannya.
Ini pertama kalinya Mama mengungkapkan yang ia ketahui tentang rumah tangga Mala, meski pendapatnya justru di luar keinginan Mala. Mama tidak mendukungnya, mengusap punggungnya, Mama terlalu kuat untuk meratapi keadaan. Yang Mala yakini, Mama hanya mau menyelamatkan nama baik keluarga, bukan mental putri semata wayangnya.
“Hmm, malu. Apa ini juga alasanmu dulu … tidak bercerai dengan Ayah?”
Mama melirik tajam, luka lama di angkat lagi. Dia mengasihani putrinya. Bernasib sama dengan dirinya. Penyakit berulang dari lelaki tak bertanggung jawab. Selingkuh.
“Takdir Mama menjumpaiku, apa karena dulu … aku turut serta mendatangi wanita selingkuhan Ayah, Ma?”
Mama Mala membuang muka, kenangan yang tak ingin ia ingat.
“Apa Mama tahu, saat tanganmu menarik lenganku dan membawaku melakukan perjalanan satu jam dengan bis kota menuju rumah wanita itu, rumah yang ternyata ada ayah kita di dalamnya. Itu salah satu hari yang menyisakan trauma dalam hidupku, Ma.”
Mama Mala menggerakkan jari-jarinya kaku. Lidahnya kelu untuk sekadar menanggapi kisah lama yang kembali terkuak.
Ia ingat betul, mimpi buruk di hidupnya setelah kedatangan Hermin, wanita simpanan suaminya yang membuat; bukan saja rumah tangganya kacau, tetapi juga menghancurkan bisnis yang lama dirintisnya.
Sepotong cerita yang terjadi saat Mala kelas dua SMA. Telah lama menaruh curiga dengan karyawannya sendiri yang memegang bagian keuangan—Hermin. Wanita yang terlihat lugu, memiliki bekas sumbing yang telah di operasi dan bersuara sengau itu, sama sekali tak pernah terbayangkan akan mampu menumbangkan kejayaan yang dibangunnya dengan tangan dingin.
Hari-hari di mana amat keras mendidik Mala, meninggalkan suami dan sibuk mencari klien. Akhirnya bermuara pada kata percuma.
Dimanfaatkan oleh suami yang bersengkongkol dengan karyawan yang dipercaya. Paling tidak masuk akal ketika Mama Mala akhirnya tahu, bahwa hubungan terjalin antara suami dan karyawannya bukan saja hubungan yang tercipta untuk merampok keuangannya tetapi juga mencuri ranjangnya.
Hubungan yang mampu menggelapkan uang projek, memanipulasi data, serta membawakan Mama Mala tanah sengketa yang akhirnya menjadi ujung dari kebangkrutan usaha.
Setelah Mala lulus dari SMA, kondisi ekonomi sangat kembang kempis. Apalagi krisis moneter baru terjadi. Memilih untuk memecat Hermin, dan kembali memaafkan suami yang berperangai buruk … membuatnya terpaksa menelan kepahitan. Tidak melaporkan tindak kejahatan itu pada pihak berwenang karena dirinya lelah berurusan dengan hukum dan tak mau Mala berayahkan mantan narapidana.
Banyak pengorbanan yang ia lakukan hanya agar Mala tetap bisa berkuliah. Berusaha kehidupan Mala tetap berjalan seperti biasa seperti saat-saat sebelum kebangkrutan. Sekali lagi ia berjuang sendirian. Memiliki suami yang hanya pintar membual dan menipu sana-sini, membuat ia tegas mengatakan pada sang suami untuk diam saja. Setidaknya jika tidak bergerak, tak membuat kekacauan makin bertambah.
Kebanggan yang dirasakan ketika Mala memakai toga wisuda dan memperlihatkan dirinya sebagai lulusan terbaik tak berlangsung lama. Kepintaran Mala yang dianggap akan mampu mengangkat derajat keluarga lagi, pupus sudah dengan keputusan Mala yang ingin cepat menikahi pacar yang telah empat tahun menjalin hubungan dengannya. Harapan itu makin lenyap setelah Mala mengumunkan hamil dan hanya ingin fokus menjadi ibu saja.
Alasan Mala yang berkata “tak ingin menjadi seperti Mama” menampar relung hatinya, menghancurkan mimpinya berkeping-keping.
...----------------...