gara-gara nonton cek khodam online yang lagi viral membuat Deni tertarik untuk mengikutinya. Ia melakukan segala macam ritual untuk mendapatkan khodam nya. Bukannya berhasil Deni justru diikuti setan berdaster, tapi sayang wujudnya kurang keren
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ef f, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, sepulang kerja mereka hendak bertemu Deni. Mereka ingin meluruskan dan mencari tau permasalahan sebenarnya. Hanya saja keberangkatan mereka berdua dimulai saat surup tiba, yang diyakini memiliki kekuatan magis sendiri sebab gerbang alam gaib terbuka.
"Kita jadi ke rumah Deni Gar?" Tanya Dimas
"lah iya, aku udah gak sabar pengen tanya sama dia, apalagi sikap pak haji tadi pagi membuat aku makin curiga"
"Tapi ini udah surup Gar. Kamu gak inget kata orang tua? Waktu surup itu banyak demit-demit keluar"
"Iya juga sih, lagi pula kita cuma ke desa sebelah, lagi pula gak ada 10 kilometer"
Setelah meyakinkan diri, mereka segera tancap gas menuju lokasi. Mereka memacu kendaraan dengan cepat, di iringi dengan suara adzan berkumandang.
Selama perjalanan mereka tak mendapat suatu kendala, namun setelah tiba di perbatasan desa, mereka merasa suasana seketika berubah. Suara adzan tak lagi terdengar, kabut tebal nampak menggantung di ujung jalan hingga keduanya menghentikan perjalanan.
"Gar, kita gak salah jalan ta?" tanya dimas mulai dirambati rasa gusar
"Perasaan nggak, aku masih ingat ini jalannya. Tapi kok bentuknya beda ya?"
"Jadi gimana, masuk gak?"
"Ya wes, ayo bismillah aja"
Sembari berdoa sebisanya, mereka kembali meneruskan perjalanan menembus kabut. Suasana wingit semakin terasa ketika mereka melihat jajaran rumah yang sepi bagai tak berpenghuni.
"Perasaan belum malam-malam amat, tapi kampungnya Deni kok sepi banget ya Dim. Berhenti dulu"
"Ada apa Gar?"
"Rumahnya Deni sebelah mana sih? Kamu ingat gak?"
"Seingatku, kita ngelewatin masjid terus belok kiri. Tapi dari tadi kita gak nemu masjid ya"
"Nah kita sepemikiran. Apalagi dari tadi gak ada orang lewat"
"Mending kita lanjut aja, mungkin gak jauh dari sini." Tegar menyetujui saran Dimas, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Namun lebih dari 30 menit mereka menyusuri jalan desa, Dimas dan Tegar hanya mendapati jalan yang sama. Sampai akhirnya, mereka yang kebingungan itu, berpapasan dengan seorang wanita yang membawa bakul berisi jamu.
"Gar, ada tukang jamu, kita tanya dia aja" tak terbesit rasa curiga, bahkan Tegar bertanya dengan ramahnya.
"Mbok, numpang nanya, ini desa Sekar Arum kan?" tanya Tegar hingga wanita itu mengangguk.
"Panjenengan orang sini?" tanya Dimas dan wanita itu mengangguk lagi
"Kalo gitu, njenengan pasti tau rumahnya Deni?" tanpa mengeluarkan sepatah kata, wanita itu kembali mengangguk dan menujuk ke arah depan.
"Oh, masih lurus. Kalo gitu saya permisi dulu, monggo"
Sesaat setelahnya mereka kembali melanjutkan perjalanan, namun entah mengapa perasaan Dimas terdorong untuk menoleh ke belakang.
Pria itu tersentak, matanya membulat sempurna saat melihat wanita itu berubah jadi pocong tanpa ikat kepala.
Dimas semakin begidik, ia terus membunyikan klaksonnya. Akan tetapi Tegar tak mendengarnya
"Gar! Berhenti dulu"
"Apa sih Dim?"
"Tahu gak, mbok penjual jamu tadi bukan manusia. "
"Hah? Yang bener kamu?"
"Iya, aku liat dia berubah jadi pocong" ucap Dimas lirih
Keduanya terdiam, tak ada satupun yang bersuara, mereka mulai merasakan kejanggalan sebab tak ada aktivitas sama sekali
"Perasaanku kok gak enak ya Dim"
"Sama. Jadi gimana? Lanjut apa pulang?"
"Mending lanjut aja, gak mungkin desa ini gak ada ujungnya"
Baru beberapa meter mereka berjalan, keduanya kembali berpapasan dengan seorang pemuda yang nampak kepayahan.
"Loh itu siapa?"
"Mas? Ada apa? Kok kamu lari-lari" mendengar panggilan itu, si pria langsung berhenti. Dengan ketakutan ia berujar.
"Stop! Jangan ke sana. Disana sarang demit. Pergi! Pergi dari tempat ini kalo kalian mau selamat"
Sontak saja mereka saling berpandangan. Bahkan sebelum mereka bertanya, pemuda itu langsung pergi begitu saja.
"Terus gimana nih Dim?" Tanya Tegar
"Kamu sih dibilangin ngeyel"
Sesaat mereka adu mulut. Hingga keduanya mendengar suara tawa cekikikan dari atas pohon.
"Hi hi hi hi, kesasar ya mas?"
Dengan serempak mereka mendongak ke atas, hingga mereka melihat Wewe gombel tengah duduk di atas dahan sambil mengayunkan kaki.
"Hwaaa lari Dim!"
Mereka langsung kocar kacir. Namun semakin mereka berlari, perkampungan yang sebelumnya mereka temui tiba-tiba menghilang, semua berubah menjadi hamparan hutan dengan pohon yang menjulang tinggi di kanan-kiri
"Ini kita dimana Dim?"
"Gak tau Gar! Pokoknya trabas aja, jangan lupa kita berdoa sama yang di atas"
Mereka melaju dengan kencangnya hingga tanpa sadar, mereka tiba di tengah kuburan.
"Hah! Kok jadi gini?"
Keduanya kebingungan saat mereka berada di antara jajaran batu nisan, bahkan secara tak terduga, lampu kendaraan mereka menyorot ke arah sebuah nisan.
"SATIYEM" mereka mengeja nama secara bersamaan sambil melihat tanah yang nampak masih basah dengan kelopak bunga mawar di sekitar
"Dim, kamu inget cerita Deni gak? Yang tukang jamu itu?"
"Iya inget. Apa mungkin ini kuburannya? Terus orang yang kita temui itu?"
Setelah dugaan itu, aroma melati seketika menusuk rongga hidung hingga membuat mereka kian ketakutan. Dengan serempak Tegar dan Dimas menoleh ke belakang. Benar saja, sosok pocong gundul itu telah berdiri sambil tersenyum menyeringai ke arah mereka.
Kedua kalinya mereka lari kocar-kacir tanpa memperdulikan kondisi jalan. Beruntung mereka masih bisa kembali ke perbatasan desa.
"Gar, aku gak kuat, sebaiknya kita telpon Deni suruh dia jemput kita. Aku gak mau kita nyasar lagi."
Dimas mengangguk, ia segera menghubungi Deni dan tak berselang lama Deni datang menemui keduanya.
"Tumben banget kalian jalan kaki?" tanya Deni dengan santainya
"Jalan kaki matamu! Motor kita ada di kuburan. Kita habis di kejar hantu"
"Hah? Kalian di kejar-kejar hantu?"
"Ya iyalah, masa kita yang ngejar hantu. Cepet pulang ke rumahmu. Kaki ku udah lemes ini"
Deni mengangguk, kemudian membawa keduanya, dan sampainya di rumah, mengalirlah semua cerita yang dialami Dimas dan Tegar.